19.26 -
*K Panggilan Allah*
Panggilan Allah
Keluarga besar saya mayoritas beragama Islam. Pada waktu kecil saya diajari mengaji, tetapi saya tidak bisa. Meskipun demikian, orang tua saya tidak marah. Setiap menjelang tidur malam, ibu saya selalu menceritakan riwayat para nabi, cerita Nabi Isa yang berkesan di hati saya.
Ada seorang paman saya yang beragama Katolik. Di desa saya pada waktu itu belum ada gereja, sehingga Romo Paroki St. Yoseph datang untuk mempersembahkan misa sebulan dua kali di rumah umat secara bergiliran.
Ketika kelas 4 SD, paman saya selalu minta tolong saya untuk membagikan konsumsi sesudah misa, baik misa di rumahnya maupun di rumah umat yang lainnya.
Karena seringnya mengikuti misa, lama kelamaan saya tertarik menjadi seorang Katolik, tetapi saya tidak berani mengungkapkan keinginan saya kepada siapapun.
Sesudah lulus SD, saya mengikuti pendidikan di Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), suatu perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan tanpa harus meninggalkan agama yang telah dianut. Di sana saya diajarkan “budi pekerti” dan “pengolahan jiwa”, paguyuban ini mengutamakan persatuan di dalam relasi dengan sesama dan relasi dengan Tuhan.
Sesudah menikah, saya mengikuti katekumen selama satu setengah tahun. Ketika dibaptis, kedua orang tua saya menghadiri upacara tersebut.
Mereka ditanya oleh Romo J. van Menvoort CM: “Apa pesan-pesan untuk anak bapak dan ibu?” Ibu saya menjawab: “Nabi yang diikuti anak saya itu nabi yang paling sengsara. Jadi, anak saya harus berani menderita menanggung kesengsaraan seperti nabi yang diikutinya.”
Di dalam kehidupan ini saya banyak menghadapai tantangan, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan sehingga saya merasa putus asa dan ingin kembali ke agama saya yang lama.
Ketika saya menceritakan pergumulan saya, tiba-tiba ada yang menyarankan saya untuk mengikuti retret awal di Tumpang. Pada sesi Pencurahan Roh Kudus, tiba-tiba ada tangan yang kuat dan lembut yang merangkul saya dan membimbing saya untuk maju ke depan agar didoakan oleh suster.
Jamahan kasih-Nya benar-benar membuat hati saya damai dan saya benar-benar merasakan suatu perubahan yang luar biasa sesudah mendapatkan Pencurahan Roh Kudus tersebut.
Sejak saat itu saya merasakan bahwa Allah memberikan hati yang baru dan roh yang baru di dalam batin saya sehingga saya mampu bersyukur.
Sekarang, ketika mengalami gesekan-gesekan dalam kehidupan, saya tidak mudah berputus asa lagi karena saya tahu bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita, Dia menginginkan saya menjadi lebih indah di hadapan-Nya.
Selain itu saya menyadari bahwa tidak ada kejadian yang terjadi secara kebetulan. Ketika mengalami gesekan-gesekan, saya belajar sabar dan lemah lembut serta mendoakan mereka.
Karena saya tahu, mereka melakukan sesuatu tanpa mereka sadari, mereka terjerat oleh kehendak Iblis.
Jadi, sebagai pengikut Kristus saya belajar menuntun mereka mengenal kebenaran dari apa yang pernah saya dengar di KPI TL, saya belajar membagikan pengajaran pada setiap orang yang saya jumpai.
Pada suatu ketika ada seorang (X) yang berjualan karpet keliling menawarkan dagangannya ke tetangga saya (A), katanya: “Bu, beli karpet saya, bisa dicicil selama setahun harganya Rp 250.000. Saya butuh uang Rp 50.000 untuk pulang ke Bojonegoro.”
Terjadilah tawar menawar antara X dan A, akhirnya terjadi kesepakatan harganya Rp 50.000. Tiba-tiba ada dorongan di hati saya untuk membeli satu karpet yang dijual X, bahkan saya disuruh membayarnya dengan harga Rp 55.000.
Pikiran saya berkata: “Tuhan, aku tidak mengerti dengan rancangan-Mu, tetapi aku mau belajar taat dengan apa yang aku dengar.
Meskipun saat ini saya hanya mempunyai uang untuk belanja besok pagi dan sayapun saat ini masih bingung antara datang atau tidak menghadiri undangan pernikahan nanti malam.”
Akhirnya saya memutuskan membeli satu karpet dengan harga Rp 55.000, X sangat gembira dan berkata: “Terima kasih bu, dengan uang lima ribu ini saya bisa membeli secangkir teh dan kue. Karena uang lima ribu tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi.”
Mendengar itu saya langsung menawari X makan. Tetapi X tidak mau makan di rumah saya, katanya: “Bu, nasinya dibungkus aja untuk bekal diperjalanan. Uang yang Rp 5.000 ini akan saya berikan kepada keponakan saya.”
Sesudah X pulang, tiba-tiba datang seseorang yang memberikan amplop berisi uang sebesar Rp 300.000.
Di sinilah saya mengerti kebenaran firman di 1 Ptr 3:9 bahwa kita dipanggil untuk memperoleh berkat dan memberkati sesama kita.
Tetapi untuk taat dengan apa yang kita dengar tidaklah mudah, sebelum Tuhan menjamah hati kita dengan memberikan hati yang baru dan roh yang baru.
(Sumber: Warta KPI TL No.121/V/2014.