Senin, 29 April 2019

23.28 -

Luk 2:22-40

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)



Penanggalan liturgi

Minggu, 31 Desember 2017: Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yusuf - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: Sir 3:2-6, 12-14; Mzm 128:1-2, 3, 4-5; Kol 3:12-21; Luk 2:22-40

Sabtu, 2 Februari 2019: Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah - Tahun C/I (Putih)
Bacaan: Mal 3:1-4 atau Ibr 2:14-18; Mzm 24:7, 8, 9, 10; Luk 2:22-40



Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah", dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.

Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.

Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."

Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia.

Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan -- dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri --, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang."

Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.

Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.



Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, (*) mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah", dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.


Renungan


1. Ketaatan Maria dan Yusuf

(*) Mengapa Maria dan Yusuf mempersembahkan Yesus ke bait Allah? Padahal mereka tahu dari Malaikat bahwa "Yesus adalah Anak Allah" (Luk 1:30-33). 

Karena mereka ingin masuk dalam rencana besar Allah, yaitu Anaknya sungguh-sungguh menjadi manusia dan masuk aturan yang harus diikuti oleh manusia. Dengan demikian terjadilah peristiwa Inkarnasi (Yoh 1:1, 14). 

Allah yang menjadi manusia memberikan teladan yang sangat baik bagi manusia, yaitu Ia adalah pembuat hukum namun Ia juga melaksanakan hukum yang dibuat-Nya.


2. Keluarga Kristiani yang ideal

Setiap anggota keluarga haruslah senantiasa mengenakan Kristus untuk bisa saling mengasihi, sebagaimana Kristus mengasihi Gereja sebagai mempelai-Nya.

Disinilah titik tolak Pesta Keluarga Kudus. Gereja mengajak kita untuk merayakan kehidupan Yesus, Maria dan Yusuf, karena dalam hidup Keluarga Kudus Nazaret, kita menemukan gambaran Keluarga Kristiani yang ideal, yang sejati.

Hidup mereka adalah hidup yang senantiasa terbuka terhadap sapaan dan kehendak Allah. Ketaatan dan kasih mereka kepada Allah senantiasa ditunjukkan dalam hidup sehari-hari, yang sekalipun sederhana dan tersembunyi, tetapi memancarkan cahaya cintakasih yang menerangi seluruh dunia.

Dalam kehidupan keluarga kudus yang sederhana ini kita melihat bagaimana Yesus, Putra Allah, menundukkan diri dalam hormat dan cinta bakti kepada orangtua-Nya, Maria dan Yusuf.

Kita melihat ketaatan iman Maria, yang selalu menjawab “Ya” kepada Allah, di tengah kegelapan iman akan segala janji-Nya. Kita melihat akan kebesaran hati dan kebapaan Yusuf, yang menjaga dan mencukupkan semua kebutuhan keluarganya, karena ketaatan dan cintanya kepada Allah.

Oleh karena itu, Pesta Keluarga Kudus ini bukanlah sekedar perayaan akan sebuah keluarga yang seolah tidak pernah melakukan suatu kesalahan di mata Tuhan, melainkan suatu perayaan iman akan sebuah keluarga yang tidak pernah meragukan cinta dan kesetiaan Tuhan, meskipun hidup yang mereka jalani setiap hari seolah-olah menunjukkan hal yang sebaliknya.

Sebuah keluarga yang selalu memandang Tuhan dengan penuh cinta, membuka diri seluas-luasnya untuk dipenuhi kasih Allah dalam hidup mereka, sebuah keluarga yang senantiasa melangkah bersama Tuhan melalui semua badai pergumulan hidup, karena keyakinan bahwa rancangan Tuhan bukanlah rancangan kecelakaan, melainkan damai sejahtera. Itulah yang hendak ditunjukkan oleh Gereja Katolik dalam perayaan ini.

Pesta Keluarga Kudus merupakan suara Gereja untuk mengingatkan setiap keluarga Kristiani agar setia pada panggilan luhurnya, dan tidak berkompromi dengan dunia yang semakin memalingkan wajahnya dari Tuhan.

Kita dipanggil untuk meneladani hidup keluarga kudus, untuk membawa cahaya iman dan menghalau kegelapan dunia. Masa depan dunia, masa depan Gereja, ditentukan oleh keluarga.

Jadilah keluarga yang hidup dalam kasih Allah, yang selalu bersekutu dalam doa, yang menjadikan Kristus sebagai pusat hidup. Dengan demikian, dari keluarga-keluarga Kristiani yang sejati, akan terlahir putra-putri Gereja, sebagai tanda pengharapan dan sukacita, dimana karenanya kita berseru, “Imanuel" (Allah beserta kita).