Senin, 23 April 2018

00.40 -

Melakukan silih

Bunda Maria dalam penampakannya di Fatima, menunjukkan kepada Lucia, Yashinta dan Francisco neraka yang sangat mengerikan, dan meminta mereka melakukan banyak silih untuk menyelamatkan jiwa-jiwa para pendosa agar tidak masuk neraka. Ketiga anak kecil itu memanfaatkan semua kesempatan yang ada untuk melakukan silih bagi jiwa-jiwa; mereka berpuasa, banyak berdoa, bahkan rela menyiksa diri dengan mengikatkan tali rami yang kaku di pinggang mereka. 

Seorang biarawati dalam biara St. Theresia dari Avila, menyadari pentingnya melakukan silih atas dosa dan tidak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk memperolehnya. Ketika biarawati itu meninggal, St. Theresia sangat terkejut melihat jiwa biarawati tersebut langsung naik menuju sorga tanpa melalui api penyucian

Karena biarawati tersebut tampaknya biasa-biasa saja, St. Theresia bertanya kepada Yesus apa sebabnya jiwa biarawati tersebut dapat langsung menuju sorga. Yesus menjawab bahwa itu semua karena semua silih yang dengan setia dilakukannya, sang biarawati telah membayar lunas semua hutang dosanya kepada Tuhan, sehingga jiwanya bersih dan tak bernoda pada saat kematiannya

Silih (reparation) merupakan konsep teologis dalam iman Kristiani yang berkaitan dengan penebusan dan keadilan. Manusia telah jatuh dalam dosa, tetapi melalui inkarnasi, sengsara dan wafat-Nya, Yesus telah menyilih dosa umat manusia. Ia telah menebus dan memulihkan harkat manusia seperti semula. 

Karena Dosa Asal, manusia cenderung berbuat dosa daripada melakukan yang baik (concupiscentia). Setiap dosa melukai jiwa kita dengan membuatnya lebih sulit untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa yang sama di waktu mendatang. 

Bahkan setelah kita bertobat, kita masih harus mengatasi kecenderungan ini dengan melakukan silih. Para kudus memahami hal ini dengan baik sekali; mereka seringkali melakukan matiraga atau silih agar dapat lebih menguasai keinginan-keinginan mereka

Dengan ketaatan yang dilakukan dengan sukarela untuk menderita dan wafat di kayu salib, Yesus Kristus menebus ketidaktaatan dan dosa kita. Dengan demikian Ia membuat silih terhadap keagungan Tuhan yang telah terganggu oleh kekejaman manusia ciptaan-Nya. Kita dikembalikan kepada kondisi rahmat melalui jasa kematian Kristus. 

Rahmat itu memampukan kita untuk menambahkan/menggabungkankan doa-doa kita, perbuatan baik kita, dan pencobaan yang kita alami, kepada segala yang dialami oleh Kristus, seperti dikatakan oleh Rasul Paulus: “menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24). 

Oleh karena itu kita dapat membuat silih demi keadilan Tuhan, bagi pelanggaran dosa kita sendiri, dan dengan adanya persekutuan para kudus yang tergabung dalam Tubuh Mistik Kristus, kita sebagai sesama anggota Kristus, dapat juga membuat silih bagi dosa-dosa sesama kita. 

Misa Kudus, yaitu penghadiran kembali akan kurban Yesus oleh kuasa Roh Kudus, dipersembahkan untuk membuat silih dosa umat manusia. Ekaristi itu dipersembahkan juga untuk pengampunan dosa orang-orang hidup dan mati (in reparation for the sins of the living and the dead) dan untuk memperoleh karunia rohani dan jasmani dari Tuhan (KGK 1414). 

Dengan demikian, dengan mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi, kita mengambil pula bagian dalam kurban silih yang dilakukan Kristus demi menebus dosa umat manusia. Oleh karena itu, kita yang tergabung dalam Tubuh Mistik Kristus dapat juga mempersembahkan kepada Tuhan doa-doa silih, baik bagi pengampunan dosa-dosa kita sendiri, maupun bagi pengampunan dosa sesama, di dunia maupun di api penyucian, dan semuanya ini tentu mengambil sumber dari jasa pengorbanan Kristus. 

Dengan melakukan silih, kita dapat memperoleh banyak manfaat

- Memperoleh rahmat pengampunan dan pertobatan bagi diri sendiri dan orang lain 

- Melatih sikap lepas-bebas. Semakin meningkatkan penguasaan diri, melepaskan manusia jasmaniah kita dari godaan kenikmatan dan keserakahan dunia, dan semakin menguatkan manusia batiniah kita. 

- Dengan menyangkal diri dan melakukan silih, roh kita akan semakin peka akan kehendak Allah, dan semakin dikuatkan untuk melakukan hanya apa yang Allah kehendaki, bukan yang kita kehendaki. 

- Melakukan silih seperti puasa dan matiraga memperkuat iman harapan dan kasih kita, sehingga kita dapat lebih kuat dalam berperang mengalahkan musuh abadi kita yaitu si jahat. Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa (Mat 17:21) 

Silih dapat dilakukan dengan bermacam cara

1. Dengan perbuatan: melakukan kewajiban kita ‘seperti untuk Tuhan’ (Kol 3:23), dan menanggung pencobaan-pencobaan hidup dengan rela, mengangkat hati dengan penuh percaya dan rendah hati kepada Tuhan, dan menyerukan – bahkan jika hanya dalam batin – seruan-seruan saleh (misalnya dengan Doa Yesus, “Yesus aku mengasihi-Mu”, “Bunda Maria, doakanlah kami”, dsbnya). 

2. Dengan doa silih: dapat dilakukan kapan saja, namun jika ingin dikaitkan dengan devosi tertentu, dapat dilakukan secara khusus setiap hari Jumat sepanjang tahun (yang bertepatan dengan hari wafat Kristus), terutama pada setiap hari Jumat pertama setiap bulan, seperti yang dikatakan Kristus dalam wahyu pribadi St. Margaret Alacoque, tentang devosi kepada Hati Kudus Yesus. 

Doa silih yang paling sempurna adalah Misa Kudus, selanjutnya adalah adorasi Sakramen Mahakudus, doa novena Hati Kudus Yesus, doa Koronka Kerahiman Ilahi, Doa Rosario, maupun doa- doa lainnya yang intinya mempersembahkan hidup kita dan doa pujian kepada Tuhan demi pengampunan dosa kita maupun dosa sesama kita. 

3. Dengan berkurban: dengan semangat iman dan belas kasihan memberikan diri atau harta milik untuk melayani sesama yang membutuhkan 

Dengan pantang dan puasa : dengan semangat silih secara sukarela menjauhkan diri dari segala sesuatu yang disenangi (matiraga). 

(Sumber: holytrinitycarmel.com).

Ambisi yang salah

Pada dasarnya memiliki ambisi itu bagus selama masih bisa dikendalikan dengan baik. Jika tidak, ambisi tersebut akan menghasilkan sikap ambisius. Ambisi yang positif mendorong seseorang untuk menghasilkan karya yang lebih baik dan meraih prestasi lebih baik dari sebelumnya. 

Sebaliknya, ambisi yang negatif adalah ambisi yang tidak sebanding dengan potensi yang dimilikinya sehingga seseorang akan menempuh segala cara untuk mewujudkan ambisinya itu. 

Di balik ambisi yang negatif, seseorang tak mau kalah dengan orang lain, ingin memperoleh popularitas, ingin memperoleh pujian dari dunia, ingin memperoleh kedudukan yang tinggi dengan kekuatan sendiri dan sebagainya. 

Kalau ambisi sudah melampaui kehendak Tuhan dan sudah keluar dari jalur firman Tuhan, ambisi ini tidak benar dan akan mendatangkan kehancuran. Tuhan mengatakan, "Masakan engkau mencari hal-hal yang besar bagimu sendiri?" (Yer 45:5a). 

Tuhan tidak senang terhadap orang-orang yang memiliki ambisi untuk mencari hal-hal yang besar bagi dirinya sendiri hal ini akan mendatangkan dosa, karena orang yang mencari hal-hal bagi dirinya senidiri tentu tak mau disaingi oleh orang lain sehingga timbullah iri hati, kebencian dan fitnah. 

Pula tidak menutup kemungkinan bahwa dia ingin menjatuhkan lawannya dengan berbagai usaha yang konkrit maupun secara tidak langsung. Maka kita harus dapat membedakan antara ambisi dan kehendak Tuhan. 

Kehendak dan rencana Tuhan dalam setiap hidup orang percaya akan terjadi tanpa suatu ambisi. Kalau Tuhan merencanakan tak seorang pun dapat menggagalkannya. Namun jika Tuhan merendahkan kita, siapa pula sanggup menghalangi Dia? Begitu juga jika Tuhan yang mengangkat kita, siapa gerangan yang mampu menahan kehendak-Nya atas kita? 

Kedudukan tinggi, popularitas atau kelimpahan tak perlu dikejar dengan ambisi! Asal kita hidup seturut kehendak Tuhan, berkat-Nya tersedia untuk kita! 

(Sumber: Renungan Harian Air Hidup).