Rabu, 29 Juni 2016

19.26 -

1 Raj 19:9a, 11-16

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. 
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Jumat, 10 Juni 2016: Hari Biasa Pekan X; Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 19:9a, 11-16; Mzm 27:7-8a, 8b-9ab, 13-14; Mat 5:27-32)


1. Keheningan

Di sana masuklah Elia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan!"

Maka Tuhan lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului Tuhan. Tetapi tidak ada Tuhan dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada Tuhan dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada Tuhan dalam api itu.

Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-basa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?"

Renungan:

Angin sepoi-sepoi melambangkan keheningan. Angin besar dan kuat, gempa dan api melambangkan keramaian, kemeriahan dan kegaduhan.

Pengalaman Elia menunjukkan bahwa di dalam keheningan, orang dapat merasakan kehadiran Tuhan dan mendengarkan suara-Nya.

Keheningan tidak hanya ditandai oleh situasi lahiriah semata, seperti tidak berbicara dan duduk diam. Sebab seseorang bisa saja diam, namun pikirannya berkeliaran ke mana-mana. keheningan lebih berkaitan dengan situasi batin.

Orang yang hening memiliki pikiran teratur dan mudah dikontrol. Ia bisa menguasai keinginan manusiawi.

Orang yang batinnya hening, mampu mendengarkan suara Tuhan. Selain itu ia dengan mudah berkomunikasi dengan Tuhan.

Hidup kita sering penuh dengan keramaian bahkan kegaduhan. Situasi demikian seringkali membuat batin kita kurang peka terhadap suara Tuhan.

Marilah kita melatih diri untuk mengontrol pikiran kita agar kita mampu mendengarkan suara Tuhan dengan jelas.

Tuhan Yesus memberkati.



19.12 -

Mat 5:20-26


Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu
(Yak 1:21)



Penanggalan liturgi

Jumat, 23 Februari 2018: PW St. Polikarpus, Uskup dan Martir - Tahun B/II (Merah)
Bacaan: Yeh 18:21-28;.Mzm 130:1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8; Mat 5:20-26

Kamis, 14 Juni 2018: Hari Biasa X - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 18:41-46; Mzm 65:10abcd, 10e-11, 12-13; Mat 5:20-26

Kamis, 9 Juni 2016: Hari Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan1 Raj 18:41-46; Mzm 65:10abcd, 10c-11, 12-13; Mat 5:20-26




Maka Aku berkata kepadamu: Jika (1A) hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, (1B) jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan (2) engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 




Renungan


1. Penghayatan hidup keagamaan

Manakah hidup keagamaan yang lebih benar itu? Rupanya penghayatan hidup keagamaan itu tidak cukup sampai pada pengetahuan dan ketaatan pada perintah dan hukum-hukum Tuhan, apalagi yang merupakan warisan dan tradisi keagamaan.

Semuanya harus dihayati dalam semangat dasar yaitu cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus dengan hidup keagamaan yang lebih benar.

Bila orang sungguh-sungguh menghayati hidup keagamaannya atas dasar cinta kasih, maka jangankan membunuh, marah pun tidak boleh. Cinta kasih itu membawa sukacita dan damai; dalamnya ada pengampunan.

Maka tidak ada artinya beribadah dan membuat persembahan, bila ada amarah, benci dan dendam dengan sesama.

Sebab, pada akhirnya, bukan orang yang tahu banyak tentang Tuhan, menghayati secara harafiah segala perintah dan hukum-Nya yang masuk Kerajaan Sorga, melainkan mereka yang hidup dalam cinta kasih.




2. Bijaksanalah dalam berkata-kata

Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar kata membunuh? Dapat dipastikan yang terbayang adalah darah yang tertumpah, parang atau golok, senjata dan bagian tubuh terpenggal.

Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang dengan tindakan fisik. Apakah membunuh hanya berhubungan dengan tindakan fisik manusia? Tuhan Yesus memberikan pemahaman yang lebih luas. Ia mengutip Kel 20;13. ‘Jangan membunuh'.

Selanjutnya, Ia menegaskan bahwa membunuh bukan saja soal aktifitas fisik, tetapi juga ketika mengeluarkan amarah kepada orang lain. Juga pada saat mengatakan orang lain sebagai kafir dan jahil.

Itu semua bentuk perbuatan membunuh sebab dengan amarah, dengan mengatakan kafir, atau jahil, pada saat bersamaan kita membunuh pribadi orang lain. Yang menjadi korban bukan fisik lahiriah, tetapi perasaan dan psikis sesama. Dan bukan tidak mungkin perbuatan tersebut memancing terjadinya pertumpahan darah.

Ketiga hal di atas marah, kafir, dan jahil, terungkap melalui kata-kata yang terucap dari mulut kita. Itu berarti kata-kata yang keluar dari mulut kita memiliki potensi untuk membunuh orang lain. Setiap kata-kata negatif punya potensi untuk membunuh, mematikan dan menghancurkan hidup orang. Oleh karena itu bijaksanalah dalam berkata-kata.



3. Praktek keagamaan tanpa dilandasi iman yang benar

Banyak orang yang mengaku dirinya beragama. Namun seringkali praktek hidupnya tidak mencerminkan mereka sungguh beragama. Kalau begitu apa yang salah? Hidup berimannya yang salah. Iman berhubungan erat sekali dengan agama. Jika menghayati iman secara keliru, maka hidup keagamaan juga ikut keliru.

(1AB) Praktek keagamaan (2) Praktek hidup beriman yang benar, berdamai dengan orang yang disakiti karena Allah menghendaki saling mengampuni.

Praktek keagamaan yang dilandasi dengan iman yang benar akan menunjukkan hidup keagamaan yang lebih baik daripada praktek keagamaan yang tidak dilandasi oleh iman yang benar.

Dalam kehidupan menggereja seringkali kita tanpa sadar jatuh pada hidup keagamaan saja. Akibatnya, kita merasa bosan, kering dan malas untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Itu berarti praktek keagamaan kita tanpa dilandasi iman yang benar.

Oleh karena itu, mintalah Allah untuk membantu kita dalam menghayati iman yang benar agar kita tidak jatuh pada runinitas keagamaan belaka,

18.55 -

Mat 5:17-19

Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Rabu, 13 Juni 2018: Pw St. Antonius dari Padua, Imam dan Pujangga Gereja - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: 1 Raj 18:20-38; Mzm 16:1-2a, 4, 5, 8, 11; Mat 5:17-19; RUybs.

Rabu, 27 Maret 2019: Pekan III Prapaskah - Tahun C/I (Ungu)
Bacaan: Ul 4:2, 5-9; Mzm 147:12-13, 15-16, 19-20; Mat 5:17-19

Rabu, 8 Juni 2016: Hari Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 17:29-39; Mzm 16:1-2a, 4, 5, 8, 11; Mat 5:17-19


"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan (A) untuk menggenapinya.

Karena Aku berkata kepadamu: (B) Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.


Karena itu (C) siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.



Renungan


1. Apa artinya menggenapi?

Kata "menggenapi" mempunyai dua arti: (1) mewujudkan suatu nubuat atau firman ilahi. (2) melakukan sesuatu secara sempurna. 

Kedua arti ini berlaku bagi ucapan Yesus (A). Tidak ada yang hendak dibatalkan, tidak ada yang perlu disingkirkan dari Kitab Suci. Pikiran Yesus bergema (B): Semuanya harus "terjadi", seolah-olah tercipta. Yang selama ini belum ada, akhirnya harus terjadi, ibarat dunia yang dulunya tidak ada dan akhirnya ada atas firman ilahi.

Jadi, kata "menggenapi" mengandung arti "berkembang sehingga menjadi". Proses penggenapan itu berlangsung lama, hingga Yesus datang. Jelas, Yesus datang bukan untuk meniadakan Kitab Suci. Seandainya itulah tujuan-Nya, maka Ia benar seorang perusak.

Namun, cobalah Anda berpikir sejenak: Apakah Kitab Suci itu? Sebuah buku berisikan huruf, bukan? Buku itu, biar isinya luhur sekali, tidak berarti selama tidak dihayati manusia.

Jadi, dalam arti tertentu dapat dikatakan: Ada dua macam Kitab Suci, yaitu Kitab Suci berupa buku dan Kitab Suci yang hidup dalam hati manusia. Yesus datang untuk menggenapi kedua-duanya. Terutama yang kedua, yaitu supaya roh, jiwa dan semangat Kitab Suci dengan segenap-genapnya merasuki jiwa manusia.

Jadi, kehadiran Allah di dunia adalah untuk menyempurnakan hidup manusia.



2. Penggenapan hukum

Hukum dan aturan pada dasarnya bukan untuk mengekang atau membatasi gerak-gerik kita, tetapi untuk mengingatkan kita agar hidup benar di hadapan Tuhan dan sesama, t

etapi juga untuk mengingat jangan sampai kita melewati batas sedemikian rupa sehingga mengusik atau mengganggu sesama dalam skala kecil maupun skala besar.

Pada zaman Yesus, beberapa oknum kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat menghidupi dan menekankan hukum Taurat bagi orang lain

Banyak orang merasa terbebani karena mereka melaksanakannya semata-mata demi hukum dan takut akan hukum bila tidak melaksanakannya.

Yesus berbeda dengan mereka. Ia justru menghidupi hukum Taurat dan mengajarkannya tanpa paksaan. Jika orang Farisi dan beberapa ahli Taurat menekankan hukum maka Yesus menekankan belas kasih.

Jika mereka menjadikan hukum Tuhan sebagai beban maka Yesus menjadikan hukum Tuhan sebagai sumber sukacita karena kebebasan hati dalam melaksanakannya.

Yang Yesus kehendaki adalah supaya kita hidup sungguh-sungguh menghayati dengan hati setiap peraturan dan hukum yang telah Tuhan nyatakan.

Jadilah insan yang taat hukum dan bukan pelanggar hukum, insan yang setia melaksanakannya dan bukan selalu mencari kekecualian dan keistimewaan.


3. Jadilah pelaku Firman

Bagi para ahli Taurat dan orang Farisi banyak pengajaran Yesus yang bertentangan dengan hukum Taurat. Contoh: ketika Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, mereka mengkritik Yesus karena Taurat melarang melakukan hal tersebut. 

Maka pada saat kotbah di bukit, Yesus menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya. Bahkan secara keras Yesus menegaskan bahwa (C).

Bagi Yesus, hukum Taurat tidak memiliki arti apa-apa jika hanya dipandang sebagai peraturan keagamaan semata. Yesus menggarisbawahi bahwa yang terpenting bukan soal menjaga kemurnian ajaran Taurat, tetapi bagaimana Taurat ini dijalani dan dihayati dalam hidup setiap hari. 

Taurat akan bermakna ketika perilaku dan sikap hidup benar-benar dijiwai olehnya. Dengan demikian. Taurat menjadi inspirasi yang menuntun orang kepada kebaikan dan menjadi sumber moral dalam bertindak dan berbuat apa pun dalam hidupnya. Orang yang demikian, menurut Yesus, akan menduduki tempat tertinggi dalam Kerajaan Sorga.

Kata–kata Yesus ini amat relevan dengan kehidupan kita. KItab Suci adalah Firman Tuhan yang menjadi pelita dalam hidup keberimanan kita. Saat ini, sering kali ayat Kitab Suci dipakai untuk membenarkan perilaku menyimpang. Seolah–olah Tuhan mengizinkan umat manusia melakukakn apa pun sesuai dengan keinginannya. 

Sebagai pengikuti Kristus, acapkali kita hanya tampil sebagai pendengar atau pembaca firman. Sabda Allah yang dibaca dan didengar belum meresap dan menjiwai seluruh pola laku hidup keberimanan dan sosial kita. Hari ini Tuhan Yesus mengajak kita untuk tidak saja menjadi pendengar atau pembaca Firman, tetapi terutama menjadi pelaku Firman.

18.35 -

Mat 5:13-16

Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Selasa, 12 Juni 2018: Hari Biasa X - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 17:7-16; Mzm 4:2-3, 4-5, 7-8; Mat 5:13-16

Selasa, 7 Juni 2016: Hari Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 17:7-16; Mzm 4:2-3, 4-5, 7-8; Mat 5:13-16



(1) Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

(2) Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."



Renungan




1. Kamu adalah garam dunia

Apa pun jenis makanannya dengan resep yang berbeda-beda, hampir selalu ada garam yang menjadi salah satu bahan utamanya. 

Selain sebagai penyedap untuk setiap masakan, garam berfungsi untuk mengawetkan sesuatu yang telah mati agar tidak membusuk dan berbau.  Makanan tanpa garam akan terasa hambar.

Dunia ini penuh dengan kebobrokan dan bisa dikatakan dalam proses membusuk karena dosa. Ada banyak orang percaya yang hidupnya setali tiga uang dengan orang-orang dunia; mereka berkompromi dengan dosa, terlibat narkoba, seks bebas, perselingkuhan, korupsi dan perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Adakah karena kesaksian hidup kita mereka bertobat?

Keberadaan orang percaya sebagai 'garam dunia' sangat dibutuhkan. Orang Kristen yang hidupnya tidak menjadi kesaksian sama dengan garam yang tawar. Keadaan ini sungguh memalukan

Sebagaimana Kristus  "... datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang."  (Luk 19:10), begitu pula tugas kita sebagai garam dunia adalah menebarkan pengaruh bagi jiwa-jiwa di sekitar kita.

Menjadi garam dunia berarti menjadi kesaksian bagi orang lain. Melalui hidup kita seharusnya banyak jiwa yang diselamatkan sehingga proses pembusukan dunia karena dosa dapat diperlambat.


2. Kualitas hidup umat beriman

(1) Garam adalah salah satu zat yang memiliki banyak manfaat. Dalam dunia kuliner, garam merupakan salah satu bahan penyedap yang menghasilkan rasa tersendiri pada makanan. Sedangkan dalam dunia produksi, garam dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Misalnya dalam pembuatan ikan asin.

Bahkan dalam kaitan dengan iman, kita menggunakan garam sebagai penangkal, sebagai salah satu pendukung doa-doa kita untuk mengusir kuasa kegelapan.

(2) Alat penerang digunakan untuk membantu melancarkan aktifitas manusia dan memperluas pandangan manusia.

Kualitas hidup umat beriman hendaknya seperti garam (bisa memberikan rasa dan warna tersendiri bagi sesama, menjadi penolong dan kekuatan bagi yang lemah serta menjadi penangkal untuk melawan kuasa kegelapan) dan terang (menuntun dan memimpin sesama pada kebenaran).

Konkretnya, kalau sesama kita melakukan kesalahan, misalnya korupsi, berdusta, atau malas berdoa, hendaknya kita berani menegur serta mengarahkan mereka pada kebenaran. Kita bisa memberi inspirasi atau nasehat kepada mereka yang berputus asa supaya bangkit lagi.


18.20 -

Mat 5:1-12

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
 (Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Kamis, 1 November 2018: Hari Raya Semua Orang Kudus - Tahun B / II (Putih)
Bacaan: Why 7:2-4, 9-14; Mzm 24:1-2, 3-4ab, 5-6; 1 Yoh 3:1-3; Mat 5:1-12a

Senin, 6 Juni 2016: Hari Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 17:1-6; Mzm 121:1-2, 3-4, 5-6, 7-8; Mat 5:1-12



Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:

"Berbahagialah (1) orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah (2) orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah (3) orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

Berbahagialah (4) orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah (5) orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah (6) orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

Berbahagialah (7) orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah (8) orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga.


Renungan


1. Pedoman hidup

Menjadi kudus adalah panggilan setiap orang Kristen. Cara-cara untuk mencapai kekudusan (1-8). Bahagia yang dimaksudkan Yesus adalah sukacita karena mereka yang setia akan mendapatkan hidup kekal bersama para kudus di sorga.

Mahatma Gandhi pernah berkata: “Ini (sabda bahagia) adalah sabda seorang suci (Yesus) yang pernah ada. Beruntunglah orang Kristen yang memiliki Guru yang demikian hebat. Dan seandainya semua orang Kristen mengikuti perkataan ini dengan baik, saya yakin sekali 90% manusia di dunia ini akan menjadi kristen, termasuk saya.”

Seringkali orang-orang Kristen sendiri menjadi penghalang besar bagi orang-orang yang ingin mendekati Kristus karena kita seringkali berkotbah tentang injil yang tidak kita hayati. Inilah alasan mendasar mengapa begitu banyak orang di dunia ini yang tidak percaya (Mother Teresa).

Marilah kita menghayati pedoman hidup ini (KGK 2764 – kotbah di bukit) agar hidup kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. 


2. Kekudusan = kebahagiaan sejati

Semua orang diundang untuk memasuki dan mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Yesus pun membuat semua orang mengetahui jalan kekudusan Allah. Ia bersabda: "Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun yang datang kepada Bapa tanpa melalui Aku" (Yoh 14:6). Lagi, sabda-Nya: "Datanglah kepada-Ku ... belajarlah dari pada-Ku sebab Aku lemah lembut dan rendah hati" (Mat 11:29).

Kelemahlembutan dan kerendahan hati adalah jalan kepada kekudusan, jalan kepada keadaan mengalami kelegaan di dalam Kristus. Mereka yang mengalami kelegaan. mengalami kebahagiaan.

Para Kudus adalah orang-orang yang dipuji bahagia oleh Yesus Sang Guru oleh karena mereka menjalani butir-butir dalam Sabda Bahagia tersebut.

Jadi, semua orang mendapat undangan untuk memasuki kekudusan Allah. Bahkan orang yang mempunyai reputasi sebagai pendosa pun juga mendapatkan belas kasih-Nya (semua orang suci mempunyai masa lalu dan semua pendosa mempunyai harapan. Allah terus-menerus memcurahkan belas kasih-Nya baik bagi orang baik maupun yang tidak).

Kekudusan sama dengan kebahagiaan sejati. Keduanya tidak tergantung kepada harta benda, kekayaan, kekuasaan, kejayaan, kepandaian ataupun kehebatan manusiswi. Kekudusan terjadi sebagai bentuk berkat Allah, artinya datang karena kemurahan Allah. Orang kudus adalah orang yang menanggapi karunia itu dengan setia melakukan tugas-tugas keseharian dengan cinta dan menjadi orang yang berkenan di hati Allah.

Mereka tidak menghabiskan waktu dan energi untuk mengeluh dan bersungut-sungut, menyebar fitnah dan tukang nyinyir terhadap kesalahan-kesalahan orang lain ataupun untuk menjadi hamba rasa iri hati serta insan-insan yang tidak memiliki rasa belas kasih kepada semua makhluk. Oleh karena itu hendaklah kita saling mengasihi satu terhadap yang lain.


3. Menemukan kebahagiaan

Konon Tuhan memanggil tiga malaikat. Sambil memperhatikan sesuatu Tuhan berkata, “Ini namanya kebahagiaan. Ini sangat bernilai. Ini dicari dan diperlukan oleh manusia. Simpanlah di suatu tempat supaya manusia itu sendiri yang menemukan. Jangan di tempat yang terlalu mudah, sebab nanti kebahagiaan ini disia-siakan. Tetapi jangan pula di tempat yang terlalu susah sehingga tidak bisa ditemukan. Dan yang penting, letakkanlah kebahagiaan ini di tempat yang bersih."

Ketiga malaikat itu langsung turun ke bumi untuk meletakkan kebahagiaan. Tetapi di mana meletakkannya? Malaikat pertama mengusulkan, “Letakkan di puncak gunung yang tinggi.” Tetapi yang lain kurang setuju. Malaikat kedua, “Letakkan di dasar samudera.” Yang lain pun kurang setuju. Akhirnya malaikat ketiga membisikkan usulnya, dan disepakati. Malam itu juga ketika semua orang sedang tidur, ketiga malaikat itu meletakkan kebahagiaan di tempat yang dibisikkan tadi.

Sejak hari itu kebahagiaan untuk manusia tersimpan rapi di tempat itu. Rupanya tempat itu cukup susah ditemukan. Dari hari ke hari, tahun ke tahun manusia terus mencari kebahagiaan.

Kita semua ingin menemukan kebahagiaan. Kita ingin merasa bahagia. Tetapi di mana mencarinya? Ada yang mencari kebahagiaan sambil berwisata ke gunung, ada yang mencarinya di pantai. Ada yang mencari di tempat yang sunyi ada pula yang mencari di tempat yang ramai. Ada yang ingin bahagia lalu mencari pacar, ada yang mencari gelar.

Ada banyak hal yang manusia lakukan untuk menemukan kebahagiaan itu. Ada yang menghubungkan kebahagiaan dengan pernikahan, padahal menikah tidaklah identik dengan bahagia. 

Juga kekayaan sering dihubungkan dengan kebahagiaan. Kita berpikir, alangkah bahagianya kalau kita punya barang ini dan itu. Tetapi ketika kita sudah memilikinya, kita tahu bahwa benda tersebut tidak memberi kebahagiaan.

Kita menganggap bahwa yang berbahagia adalah orang yang mempunyai banyak kemampuan di hadapan Allah atau orang yang unggul dalam urusan rohani.

Tuhan Yesus mempunyai beberapa kriteria tentang kebahagiaan. Namun kriteria Yesus sangat berbeda dengan kriteria kita (Mat 5:1-12).

Kebahagiaan itu diletakkan oleh tiga malaikat secara rapi di dalam hati manusia, hati yang bersih (Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah).

07.44 -

Luk 7:11-17

Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
 (Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Senin, 27 Agustus 2018: Pw St. Monika, Wanita Kudus - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: 2 Tes 1:1-5, 11b-12; Mzm 96:1-2a, 2b-3, 4-5; Luk 7:11-17 (Injil khusus); Ruybs

Selasa, 18 September 2018Hari Biasa XXIV - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: 1 Kor 12:12-14, 27-31a; Mzm 100:2, 3, 4, 5; Luk 7:11-17

Minggu, 5 Juni 2016: Hari Minggu Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 17:17-24; Mzm 30:2, 4, 5-6, 11, 12a, 13 b; Gal 1:11-19; Luk 7:11-17

Selasa, 17 September 2019: Hari Biasa XXIV - Tahun C/I (Hijau)
Bacaan: 1 Tim 3:1-13; Mzm 10:1-2ab, 2cd-3ab, 5, 6; Luk 7:11-17




Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid-Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong. Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu.

Dan  (3) ketika Tuhan melihat janda itu, (2) tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya:  (1) "Jangan menangis!" Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: "Hai anak muda, (4A) Aku berkata kepadamu, bangkitlah!"

(4B) Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: "Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita," dan "Allah telah melawat umat-Nya." Maka tersiarlah kabar tentang Yesus di seluruh Yudea dan di seluruh daerah sekitarnya. 


Renungan


1. Ungkapan simpati

Sang utusan ilahi itu adalah seorang manusia yang ikut merasakan kesedihan dan tidak tahan melihat sesama yang kehilangan satu-satunya harapan kehidupannya (anak tunggal sang janda tadi).

Kata-kata yang berasal dari Yang Mahakuasa, yang disampaikan oleh utusan-Nya memiliki kuasa yang amat besar, mampu memanggil orang yang sudah mati. 

Orang mati tersebut bisa mendengar perkataan-Nya dan menaati-Nya. Jadi, kematian tidak menghalangi pendengaran orang yang sudah mati.

Sebagai  pemimpin ketika menyaksikan kejadian itu, Yesus mendatangi yang membutuhkannya, Dia bertindak sebagaimana layaknya seorang yang wajib melindungi.

Kisah Yesus menghidupkan kembali anak seorang janda di Nain ini bukanlah semata-mata sebagai kisah mujizat melainkan pula sebagai ungkapan simpati, belarasa Yesus terhadap ibu yang sudah janda itu.


2. Memenuhi hukum Kristus 

(1) Tangisan janda tersebut pada esensinya mau mengatakan ketidaksanggupan kehilangan anak satu-satunya yang dimilikinya. Apakah mungkin ada bantuan yang datang dan melampaui apa yang dipikirkannya?

(2) Tindakan yang dilakukan Yesus merupakan “rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk membantu”. Ini adalah teladan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain yang mengalami kesusahan.

Sebentuk hati yang penuh kasih akan tetap berempati ketika melihat orang yang butuh bantuan. Hatinya akan gelisah ketika melihat ada orang yang membutuhkan bantuan, dan akan penuh dengan sukacita ketika bisa berbuat sesuatu untuk membantu mereka. Sikap ini pada hakikatnya lahir dari hati yang mengasihi sesama tanpa syarat, tercipta dari pancaran pribadi yang telah mampu keluar dari ego.

Kerinduan untuk membantu adalah salah satu perwujudan nyata dari adanya kasih Kristus dalam hidup kita (Ef 4:2) sehingga kita dapat memenuhi hukum Kristus (Gal 6:2). Ketika kehidupan kita didasari oleh bela-rasa Kristus, maka sesungguhnya kita telah merayakan kehidupan ini dengan mempermuliakan nama Allah.


3. Bangkit dari kematian

Yesus membangkitkan anak muda di Nain karena hati-Nya tergerak oleh belas kasihan melihat kesedihan ibu dari anak satu-satunya itu, yang sudah janda pula. Tiada terkira, betapa janda itu amat bersukacita karena anak satu-satunya yang telah mati kini hidup kembali berkat kuasa Tuhan Yesus.

Sukacita yang sama juga dialami Santa Monika, yang pestanya kita rayakan hari ini. Monika mengalami betapa Tuhan telah “membangkitkan” anaknya Agustinus dari kematian akibat dosa. Hidup Agustinus berubah total, bahkan kemudian ia menjadi seorang pemikir besar Gereja, yang kita kenal dengan Santo Agustinus. Hal ini terjadi berkat doa seorang ibu bagi pertobatan anaknya.

Santa Monika lahir tahun 331 dari keluarga Kristen di Tagaste, Afrika Utara. Salah seorang anaknya, Agustinus, paling mencemaskan hati ibunya karena keras kepala menjalani gaya hidup yang liar. Pengalaman dugem (dunia gemerlap) tidak asing bagi Agustinus. 

Bertahun-tahun Monika, ibunya, tekun berdoa agar ia bertobat dan kembali ke jalan Tuhan. Tuhan mengabulkan doa ibu yang saleh ini pada saat-saat terakhir menjelang kematiannya, yakni dengan dibaptisnya Agustinus. Sejak saat itu Agustinus mengikuti jalan Tuhan dengan tekun dan setia.

Hidup Santa Monika biasa-biasa saja sebagaimana lazimnya ibu-ibu yang lain. Ia juga mengalami kesulitan dan tantangan dalam hidup perkawinannya, mengalami kecemasan akan masa depan anak-anaknya, dsb. 

Namun, Monika menghadapinya dengan sikap seorang Kristiani: membawa semuanya di dalam doa dan memasrahkan sepenuhnya kepada campur tangan Tuhan untuk segala masalah yang di hadapinya. Ia percaya bahwa Tuhan Yesus akan hadir pada saat yang tepat dan menjawab doanya. Semoga iman Santa Monika ini meresapi kita semua.



4. Belas kasihan 

(3) Yesus melihat ke dalaman hati seseorang, sehingga Ia dapat merasakan dengan sungguh betapa sakitnya perasaan kehilangan itu. Respon Yesus hanya satu (1, 4A), karya Allah dinyatakan (4B).

Yesus memberikan teladan betapa pentingnya untuk menjadi sehati dan seperasaan dengan orang lain. Dengan demikian kita dapat sungguh memahami orang lain tanpa berprasangaka.

Sebagai pengikut Kristus, hendaknya kita mudah tergerak melihat situasi orang lain yang mungkin sedang membutuhkan pertolongan, tanpa berusaha menghakiminya.


07.37 -

Luk 2:41-51

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh -Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Minggu, 30 Desember 2018: Pesta Keluarga Kudus: Yesus, Maria, Yusuf - Tahun C/I (Putih)
Bacaan: 1 Sam 1:20-22, 24-28; Mzm 84:2-3, 5-6, 9-10; 1 Yoh 3:1-2, 21-24; Luk 2:41-52

Sabtu, 4 Juni 2016: Peringatan Hari Tersuci Santa Perawan Maria - Tahun C/II (Putih)
Bacaan: 2 Tim 4:1-8; Mzm 71:8-9, 14-15a, 16-17, 22; Mrk 12:38-44 atau Yes 61:9-11; MT 1 Sam 2:1, 4-5, 6-7, 8abcd; R 1a; Luk 2:41-51


Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. 

Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. 

Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. 

Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." 

Jawab-Nya kepada mereka: (1) "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (2A)Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. 

Lalu (3) Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan (2B) ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.


Renungan



1. Teladan keluarga kudus


Allah telah menetapkan beberapa hal untuk kebaikan rohani kepada Israel. Yusuf dan Maria secara teratur melaksanakannya bersama-sama.

Hal ini seharusnya juga terjadi dengan semua suami dan istri Kristiani. Mereka harus saling membantu dalam hal-hal rohani, dan mendorong satu sama lain dalam melayani Tuhan.

Jika kita berdoa, membaca Alkitab, pergi ke rumah Allah bersama-sama, dan berbicara satu sama lain mengenai hal-hal rohani, kita akan menjadi sarana rahmat bagi satu sama lain.

Ingatlah! Perkawinan adalah suatu keadaan hidup yang memiliki pengaruh terbesar pada jiwa orang-orang yang masuk ke dalamnya, membuat mereka lebih dekat ke sorga atau lebih dekat ke neraka. Itu semua sangat tergantung pada pasangan kita. 

Karakter kita dibentuk oleh orang-orang yang bersama kita dalam melewati waktu-waktu dalam hidup kita.



2. Salah didik, berakibat fatal

Kelahiran Putra Allah di dalam keluarga Yusuf dan Maria menunjukkan kepada kita bahwa keluarga adalah suatu tempat di mana Allah tinggal dan berkarya.

(1, 2AB, 3) Yusuf dan Maria menyadari bahwa ditengah-tengah mereka ada Putra Allah, tetapi mereka tetap memberikan pembelajaran yang sangat berharga di dalam keluarga.

Mereka berusaha menjadi seorang ayah dan ibu yang baik dengan memberikan penghidupan dan pembelajaran spiritual, walaupun kadang mereka bingung dan tidak tahu apa yang akan terjadi.

Sebagai seorang ayah dan ibu di zaman now ini juga membutuhkan bentuk dan cara tepat dalam mendidik anak, terlebih-lebih lagi menyangkut permintaan mereka.

Jadi, pendidikan bukan hanya berkaitan dengan pemenuhan apa yang disenangi atau menyenangkan anak, tetapi termasuk kebutuhan hati, mental dan etika. Salah asuh dan salah didik dari orang tua akan berakibat fatal bagi anak di kemudian hari.