Kamis, 28 Juli 2016

Re-inkarnasi

Ajaran tentang inkarnasi Allah Putera menjadi manusia adalah salah satu pokok iman Gereja Katolik. Inkarnasi ini hanya terjadi pada Allah Putera. Tidak ada inkarnasi lain.


Sedang re-inkarnasi adalah ajaran Budhisme dan Hinduisme yang mengatakan bahwa setiap manusia akan dilahirkan kembali ke dalam dunia menurut tingkat kebaikan yang dia lakukan pada hidup sebelumnya.



Jika hidupnya baik, maka dia akan dilahirkan kembali (re-inkarnasi) menjadi "sesuatu" yang lebih tinggi derajatnya. Sebaliknya, jika hidupnya jahat, maka dia akan dilahirkan kembali (re-inkarnasi) menjadi "sesuatu" yang lebih rendah derajatnya.



Proses reinkarnasi akan berlangsung terus-menerus mengikuti lingkaran samsara dan baru akan selesai ketika seseorang sudah mencapai derajat yang tertinggi sehingga dibebaskan lingkaran samsara dan masuk ke dalam keabadian (Nirwana). 

Kitab Suci menyajikan kepercayaan yang jelas bahwa hidup itu hanyalah satu kali dan tidak terulang.; penghakiman terjadi langsung sesudah kematian.

Biarkanlah aku, supaya aku dapat bergembira sejenak, sebelum aku pergi, dan tidak kembali lagi, ke negeri yang gelap dan kekam pekat (Ayb 10:20-21).

Manusia membunuh dalam kejahatannya, tapi ia tak mampu mengembalikan roh yang sudah keluar, dan tak dapat melepaskan jiwa yang sudah diterima dunia orang mati (Keb 16:14).

Iman kita mengajarkan bahwa mereka yang sudah meninggal memasuki alam lain, yaitu keabadian.

Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan

Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.

Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham

Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.

Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.

Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita

Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.

Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini.

Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. Jawab orang itu: Tidak, bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat.

Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati (Luk 16:19-31).

» Ketika orang kaya itu memohon untuk kembali ke dunia, Yesus tidak menunjuk pada kemungkinan reinkarnasi untuk memurnikan dirinya, tetapi menunjukkan bahwa orang itu harus segera membayar kesalahan-kesalahan dengan penderitaan.

Demikian pula di atas kayu salib, terhadap permintaan penyamun yang bertobat (Luk 23:42 - Santo Dismas Pengaku Iman » dihormati sebagai pelindung orang-orang yang perlu bertobat secara sempurna dan santo pelindung orang yang dihukum mati).

Yesus tidak menunjuk pada reinkarnasi sebagai sarana pemurnian, tetapi langsung berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga engkau ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus. Katahari inimenegaskan bahwa tidak ada reinkarnasi.

Ajaran yang paling gamblang dan mantab melawan reinkarnasi ialah surat kepada orang Ibrani: “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja dan sesudah itu dihakimi (Ibr 9:27).

Gereja Katolik dengan tegas menolak ajaran reinkarnasi karena tidak sesuai dengan ajaran Yesus

Ajaran reinkarnasi mengingkari adanya neraka, sebab melalui reinkarnasi yang berturut-turut semua manusia akhirnya akan diselamatkan.

Ajaran reinkarnasi juga mengingkari ajaran penebusan, sebab menurut ajaran itu, manusia diselamatkan karena usaha moral dan rohaninya sendiri, bukan karena rahmat Allah.

Ajaran reinkarnasi mengurangi keseriusan kebebasan manusia, sebab keputusan-keputusan orang dalam hidup ini selalu dapat ditinjau kembali. Mungkin mentalitas main game dewasa ini, melahirkan juga gagasan bahwa hidup ini bisa diulang-ulangi (replay) setelah "game-over".

Ajaran reinkarnasi mengingkari kebangkitan badan sebab reinkarnasi mengajarkan orang berganti-ganti pribadi dan badan (Bdk Peter C. phan, 101 Tanya-jawab tentang kematian & Kehidupan Kekal, Yogyakarta: Kanisius 2005).

Penolakan ajaran reinkarnasi ini menggaris bawahi keseriusan hidup kita di dunia ini, sekaligus menekankan sifat kematian, yaitu final, definitif dan tak terbatalkan.

Karena itu orang-orang Kristiani harus menjalani hidup ini secara serius, karena tidak ada "second chance". Jadi, harus dibedakan antara inkarnasi dan reinkarnasi.

Kesadaran akan keseriusan hidup ini bisa membantu kita merencanakan dan menentukan pilihan yang lebih bijaksana dan sesuai dengan tujuan akhir hidup kita. Kita perlu selalu berjaga-jaga, tanpa menjadi lumpuh karena ketegangan.

Yohanes Pembaptis adalah reinkarnasi dari Elia?

Identitas Yohanes Pembaptis (Mat 11:12-14) bisa kita mengerti dengan lebih baik kalau kita menyimak Luk 1:17: "dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada ..."

Roh dan kuasa di sini tidak bisa diartikan sebagai jiwa Elia yang be-reinkarnasi dalam diri Yohanes Pembaptis. Ayat ini menunjukkan bahwa semangat atau roh yang menggerakkan Yohanes sama dengan semangat Elia. Misi Yohanes sama dengan misi Elia.

Jadi, Yohanes Pembaptis bukanlah reinkarnasi Elia, atau jiwa Elia menjelma kembali dalam diri Yohanes Pembaptis. Hal ini juga jelas ketika Yohanes ditanya secara gamblang, apakah dia adalah Elia. Jawab Yohanes jelas, "Bukan" (Yoh 1:21).

(Sumber: Seri hidup di balik kematian – Seri Konsultasi Iman 4, Dr Petrus Maria Handoko, CM).

06.39 -

7 Pilar dasar kehidupan Kristiani



Keutamaan-keutamaan Katolik adalah cara untuk menjalani suatu kehidupan moral yang unggul dan baik menurut standar yang ditentukan oleh Kitab Suci dan Tradisi Gereja Katolik.

Menurut Gereja Katolik, ada dua jenis keutamaan (= kebajikan). Pertama, kebajikan ilahi (1 Kor 13:13 – iman, harapan dan kasih). Kedua, kebajikan manusiawi (Keb 8:7 - kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan penguasaan diri

Kebajikan adalah suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Ia memungkinkan manusia bukan hanya untuk melakukan perbuatan baik, melainkan juga untuk menghasilkan yang terbaik seturut kemampuannya, dengan segala kekuatan moral dan rohani. Ia berusaha untuk mencapainya dan memilihnya dalam tindakannya yang konkret.

Memelihara keutamaan-keutamaan dalam kehidupan seorang Kristen berarti menjadi serupa dengan Kristus. Sebaliknya, menciptakan ruang bagi hal-hal yang berlawanan dengan kedua jenis keutamaan itu berarti memelihara kehancuran diri.

Lawan dari kehidupan berdasarkan keutamaan dapat ditemukan pada daftar tradisional mengenai tujuh dosa pokok, yaitu: sombong, kikir, cabul, gelojoh, iri hati, marah dan malas).

Meskipun ketujuh dosa ini bukan lawan seperti bayangan dalam cermin terhadap keutamaan-keutamaan, namun kehidupan yang membuka diri kepadanya tidak sesuai dengan kehidupan yang berdasar pada keutamaan.

Tujuan kehidupan yang berkebajikan
ialah menjadi serupa dengan Allah.
(Gregorius dari Nisa)

Kebajikan Manusiawi adalah sikap yang teguh, kecenderungan yang dapat diandalkan, kesempurnaan akal budi dan kehendak yang tetap, yang mengarahkan perbuatan kita, mengatur hawa nafsu kita dan membimbing tingkah laku kita supaya sesuai dengan akal budi dan iman.

Mereka memberi kepada manusia kemudahan, kepastian dan kegembiraan untuk menjalankan kehidupan moral secara baik. Manusia yang berkebajikan melakukan yang baik dengan sukarela.

Kebajikan moral diperoleh oleh usaha manusia. Ia adalah buah dan sekaligus benih untuk perbuatan baik secara moral; ia mengarahkan seluruh kekuatan manusia kepada tujuan, supaya hidup bersatu dengan cinta ilahi.

Kebajikan manusia yang diperoleh melalui pendidikan, latihan, dan ketekunan dalam usaha, dimurnikan dan diangkat oleh rahmat ilahi. Dengan bantuan Allah menggembleng watak dan memberi kemudahan dalam melakukan yang baik.

Kalau seseorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan keberanian (Keb 8:7).

Kebijaksanaan adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. Kebijaksanaan langsung mengatur keputusan hati nurani.

Berkat kebajikan ini kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan mengatasi keragu-raguan tentang yang baik dan buruk yang harus dielakkan.
- Orang yang bijak memperhatikan langkahnya (Ams 14:15).
- Kebijaksanaan ialah akal budi benar sebagai dasar untuk bertindak (St. Tomas).

Keadilan sebagai kebajikan moral adalah kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka.

Keadilan terhadap Allah dinamakan orang ‘kebajikan penghormatan kepada Allah (virtus religionis). Keadilan terhadap manusia mengatur, harmoni yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.
- Engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran (Im 19:15).
- Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga (Kol 4:1).

Keberanian adalah kebajikan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan ketekunan dalam mengejar yang baik. Ia meneguhkan kebulatan tekad, supaya melawan godaan dan supaya mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral.

Kebajikan ini memungkinkan untuk mengalahkan ketakutan terhadap kematian dan untuk menghadapi segala pencobaan dan penghambatan. Ia juga membuat orang rela untuk mengurbankan kehidupan sendiri bagi suatu hal yang benar.
-  Tuhan itu kekuatanku dan mazmurku (Mzm 118:14).
-  Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia (Yoh 16:33).

Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat.

Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak indrawinya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai.
- Janganlah menuruti segenap keinginanmu, melainkan jauhkanlah dirimu dari segala nafsumu (Sir 18:30).

Kebajikan ilahi adalah dasar jiwa, dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. Mereka membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral.

Mereka dicurahkan oleh Allah ke dalam jiwa umat beriman, untuk memungkinkan mereka bertindak sebagai anak-anak Allah dan memperoleh hidup abadi. Mereka adalah jaminan mengenai kehadiran Roh Kudus dalam kemampuan manusia. 

Ada tiga kebajikan ilahi (1 Kor 13:13):

Iman adalah kebajikan Allah, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri.
- Dalam iman ‘manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah (DV 5). Karena itu manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah.
- Orang benar akan hidup oleh iman  (Rm 1:17).
- Hanya iman yang bekerja dalam kasih (Gal 5:6).
- Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:26).
- Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga kan menyangkalnya di depan Bapa-Ku di sorga (Mat 10:32-33).

Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat
(Ibr 11:1)

Iman merupakan Misteri agung yang sulit dipahami. Satu-satunya cara untuk memahami iman adalah hidup dalam iman.

Beriman kepada Yesus berarti memutar haluan untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya dan menemukan di dalamnya kegembiraan yang lebih besar daripada semua kegembiraan dan penderitaan yang sementara dalam kehidupan ini.

Iman tumbuh karena pengalaman akan iman orang lain dengan mengambil bagian dalam kehidupan komunitas iman.

Pertumbuhan iman diukur bukan oleh pendapat atau harapan orang lain tetapi hanya dengan ukuran-ukuran Injil.

Hidup menjadi rapuh bila iman lemah atau tidak ada sama sekaliMemiliki iman hidup akan lebih berarti dan memiliki tujuan.

Pandangan yang keliru bahwa iman pada dasarnya menghendaki kita untuk mematikan daya nalar supaya dapat menerima sesuatu yang tidak masuk akal yang disebut “iman buta” tidak mendapat tempat di sini.

Iman buta” seperti ini dapat ditemukan dalam ucapan orang yang mengatakan, “hanya dengan iman kamu akan memahaminya» kalimat ini berarti kita tidak perlu bertanya dan memiliki keraguan. Pandangan ini seringkali digunakan orang sebagai penjelasan atas pertanyaan mengapa kita harus menerima dokrin agama.

Untuk beriman kita perlu bukti, iman tanpa bukti tidak bisa dipertanggungjawabkan. Allah selalu menjawab iman yang mempertanyakan (Adrienne vor Speyr).

Ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya.

Untuk menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/menyimpang, Gereja mengadalan Konsili. Dan Konsili menghasilkan Magisterium (Wewenang mengajar Gereja).

Iman bukanlah “penopang”, “tempat pelarian”, atau “jaket pengaman” sebagaimana anggapan orang. Iman lebih sebagai kaki untuk melompat daripada tiang untuk bertaut; lebih sebagai dorongan untuk mengambil resiko daripada pelarian; lebih sebagai sumber ketidakamanan daripada sumber keamanan.

Kadangkala orang berpikir tentang iman sebagai sumber keamanan yang mutlak. Padahal iman sejati menjadi sumber keamanan hanya dalam pengertian yang sama seperti cinta dalam suatu perkawinan yang baik menjadi sumber keamanan, atau hubungan saling menyayangi di antara dua sahabat menjadi sumber keamanan. Kita tidak tahu ke mana perkawinan atau persahabatan itu membawa kita.

Dalam pengertian ini, iman paling tepat digambarkan sebagai sebuah petualangan. Atau juga dapat dilihat sebagai paradoks: menghibur yang menderita dan membuat menderita yang nyaman.

Iman adalah suatu pengalaman jatuh bangun, dan bukan sekali jadi. Iman tidak memastikan ke mana anda akan melangkah tetapi memastikan bahwa anda akan melangkah ke mana pun. Ibaratnya perjalanan tanpa peta. Keraguan bukanlah musuh iman tetapi elemen iman (Tilich)

Apa yang tidak disadari orang adalah resiko agama. Mereka menganggap iman sebagai selimut penghangat di tengah cuaca yang dingin membeku, padahal iman adalah salib, jauh lebih sulit untuk percaya daripada tidak percaya. ... Jangan berharap iman akan memuluskan semuanya bagimu. Iman adalah kepercayaan, bukan kepastian (Flanerry O’Connor).

Kita benar-benar menghayati iman kita hanya dalam dan dengan dan melalui orang-orang beriman yang adalah Gereja, komunitas umat beriman.

Tujuan utama dari komunitas iman bukan untuk menyediakan rahim hangat bagi setiap orang untuk mengungsi dari dunia, tetapi untuk membangun komunitas doa dan pelayanan.

Hubungan yang paling penting dalam kehidupan iman bukan hubungan dalam pengertian “persekutuan”, melainkan hubungan antara orang-orang beriman dan yang terpanggil oleh iman untuk saling peduli.

Komunitas iman bukan sekedar berkumpul bersama orang lain saat perayaan Ekaristi atau minum kopi bersama. Tetapi itu suatu realitas yang jauh lebih dalam. Komunitas perlu bagi iman dan merupakan ekspresi iman.

Iman yang dangkal adalah iman yang tidak dapat bertahan dalam keheningan, yang tidak dapat bertahan tanpa disibukkan terus menerus oleh interaksi dalam komunitas.

Iman menuntut kita mampu menyendiri dengan Allah, karena hanya ketika kita dapat menemukan Allah dalam kesendirian, kita dapat menemukan Allah dalam komunitas.

Sesungguhnya tanpa kesendirian tidak mungkin bisa menjalani suatu kehidupan rohani. Kesendirian diawali dengan menyediakan waktu dan tempat untuk Tuhan. Jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan tidak hanya ada, tetapi juga secara aktif hadir dalam hidup kita – menyembuhkan, mengajarkan, dan membimbing – maka kita perlu menyediakan waktu dan tempat untuk memberi Dia perhatian yang tidak terbagi-bagi (Henry Nouwen).

Ketika kita mampu mengenal Roh Allah pemberi kehidupan di tengah kesendirian kita, dan oleh karenanya mampu menegaskan identitas sejati kita, kita pun dapat melihat Roh Allah yang sama itu berbicara kepada kita melalui sesama kita. Dan ketika kita telah mampu mengenal Roh Allah pemberi hidup sebagai sumber dalam kehidupan bersama kita, kita pun akan lebih siap untuk mendengar suara-Nya dalam kesendirian (Henry Nouwen).

Komunitas yang dimaksud tidak dalam pengertian yang dangkal, tempat orang-orang sekedar berkumpul untuk pelarian dan pengungsian.

Komunitas sebagai disiplin merupakan upaya untuk menciptakan ruang bebas dan hampa di antara manusia yang bersama-sama melaksanakan ketaatan sejati. Melalui disiplin komunitas kita mencegah diri kita dari kebersamaan dalam ketakutan dan kesendirian dan menyiapkan ruang bebas untuk mendengarkan suara Allah yang membebaskan (Henry Nouwen).

Komunitas tidak harus berkumpul bersama secara fisik,  .... Ruang bagi Allah dalam komunitas melebihi semua batasan waktu dan tempat (Henry Nouwen).

Orang sederhana tidak melihat iman yang ada dalam dirinya, tetapi Allah membiarkan orang lain yang melihatnya dengan jelas.

Harapan  adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita rindukan Kerajaan Sorga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus dan tidak mengandalkan kekuatan kita, tetapi dengan bantuan rahmat Roh Kudus.

Dalam tiap situasi kita harus berharap, agar dengan rahmat Tuhan kita ‘dapat bertahan sampai akhir... dipersatukan bersama Kristus, mempelai-Nya, dalam kemuliaan sorga’.
- Marilah kita berpegang teguh kepada pengakuan tentang harapan kita, sebab Ia yang menjanjikannya, setia (Ibr 10:23).
- Allah telah melimpahkan Roh Kudus kepada kita melalui Yesus Kristus, Juru Selamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima kehidupan abadi, sesuai dengan pengharapan kita (Tit 3:6-7).
- Harapan Kristen dibentangkan langsung pada awal kotbah Yesus dalam Sabda Bahagia. Pengharapan tidak mengecewakan (Rm 5:5).
- Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita (Ibr 6:19-20).
- Ia juga merupakan senjata yang membela kita dalam perjuangan keselamatan kita: “Baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tes 5:8).
- Harapan memberi kepada kita kegembiraan dalam pencobaan sekalipun: Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan (Rm 12:12).
- Ia mengungkapkan diri dalam dan dikuatkan oleh doa, terutama doa Bapa Kami.

Keutamaan pengharapan adalah pokok dalam seluruh Kitab Suci. Pengharapan adalah keutamaan yang memampukan kita untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti. Pengharapan bukan sifat alami manusia. Pengharapan berakar dalam hubungan kita dengan Allah dan keterbukaan kita kepada cinta Allah.

Di sinilah letak perbedaan mendasar antara pengharapan dan optimisme. Jika optimisme percaya bahwa hanya ada yang baik-baik saja dalam hidup ini, maka pengharapan justru percaya bahwa kehidupan itu pantas untuk dijalani entah keadaannya menyenangkan ataupun tidak.

Pengharapan mempunyai cakupan makna yang lebih luas daripada sekedar optimisme belaka. Makna pengharapan itu kekal-abadi, sementara optimisme dibatasi oleh ruang dan waktu di sini dan kini. Pengharapan tampil di malam yang paling gelap, lama setelah optimisme menghilang.

Pengharapan memampukan kita untuk bertahan dalam setiap kesulitan maupun penderitaan yang mungkin dialami dalam hidup sekarang ini.

Ketika kita sedang berada dalam situasi sulit, pengharapan akan berbisik kepada kita, “Ini juga pasti akan berlalu.” Jadi, pengharapan membuat mungkin bagi kita untuk tetap setia kepada janji-janji kita.

Pengharapan menuntut kita untuk menjadi orang yang bebas, orang yang dibebaskan dari ketergantungan pada hal-hal lain selain Allah. Pengharapan memperlihatkan dirinya dalam pengetahuan bahwa kita hanya dapat berusaha semampu kita untuk membawa perubahan, tetapi yang menentukan adalah Allah. Allah pasti bekerja menurut waktu-Nya yang tepat, yang seringkali tidak dipahami oleh manusia.

Pengharapan sejati menjadi sangat luar biasa karena bersumber hanya pada kepercayaan akan Sabda Allah dan janji-Nya, bukan pada bukti nyata (Rm 4:18-19).

Pengharapan Kristiani didasarkan pada kemurahan cinta Allah yang dinyatakan kepada kita secara terus-menerus dan teristimewa dengan pengorbanan Yesus untuk mati di Kayu Salib.

Pengharapan tidak mengharapkan apapun; tidak menuntut kepada Allah hasil tertentu. Pengharapan tidak mengatakan, “Inilah yang saya harapkan, dan jika saya tidak mendapatkannya, Engkau keterlaluan Tuhan.”

Sebaliknya, pengharapan mengatakan, “Inilah hidupku, kuserahkan ke dalam tangan-Mu, terjadilah kehendak-Mu, karena hanya Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagiku.”

Pengharapan yang sesungguhnya adalah jika kita bersedia membuka hati selebar-lebarnya terhadap penyelenggaraan Tuhan, yakni apapun kehendak-Nya, pasti yang terbaik.

Pertanyaan mendasar adalah bagaimana memelihara pengharapan dalam kehidupan kita sehari-hari di dunia. Kita ingin menjadi orang berpengharapan, tetapi kita harus melawan godaan kesombongan dan keputusasaan.

Bagaimana kita memelihara pengharapan sejati tanpa bersikap sombong? Bagaimana kita bisa menjadi orang berpengharapan tanpa menjadi orang optimis belaka, yang dapat dengan mudah menghantar kita kepada keputusasaan?

Dengarklan! Pengharapan tidak berasal dari keinginan yang besar dan terus-menerus, secara desakan batin untuk “bersikap penuh pengharapan”.

Pengharapan tidak datang dari sikap berpura-pura menganggap tidak ada kegelapan, penderitaan, ketidakadilan, kemiskinan, kesakitan atau kemalangan yang terjadi sehari-hari.

Pengharapan tidak tumbuh dalam masyarakat yang mengajarkan kita untuk hidup bagi diri sendiri dan dalam budaya yang menyombongkan sebuah pencapaian sebagai cara satu-dsatunya mengalami kebahagiaan sejati.

Pengharapan juga tidak tumbuh dalam dunia yang mengutamakan individualisme dan yang mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita percaya dan andalkan adalah diri sendiri.

Keutamaan pengharapan bertahan dan bertumbuh ketika kita tahu dari pengalaman bahwa hidup kita bernilai hanya jika kita melayani dan peduli pada orang lain; jika kita tahu dari pengalaman sendiri bahwa kebahagiaan dialami manusia ketika ia lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada mencintai diri sendiri, dan pengharapan akan memenuhi hati manusia ketika kita belajar dari pengalaman pribadi tentang apa artinya mencintai Allah.

Kasih adalah kebajikan ilahi yang paling utama (1 Kor 13:13), dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri dan karena kasih kepada Allah kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.

Yesus membuat kasih menjadi suatu perintah baru. Karena Ia mengasihi orang-orang-Nya ‘sampai pada kesudahannya’ (Yoh 13:1), Ia menyatakan kasih yang Ia terima dari Bapa-Nya.

Melalui kasih satu sama lain para murid mencontoh kasih Yesus, yang mereka terima dari Dia. Karena itu Yesus berkata: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku (Yoh 15:9). Dan juga: “Inilah perintah-Ku: yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihimu (Yoh 15:12).

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7).

Cinta Kristiani, agape, memberikan pelayanan demi kebaikan orang lain, dan “kesukaan” sering tiidak berhubungan dengan itu. Keutamaan cinta sejati Kristiani bukan cinta romantis, walaupun tentu saja tersedia tempat bagi cinta semacam itu. Keutamaan cinta merupakan dasar mutlak bagi kehidupan Kristiani, sehingga kita harus memberi perhatian penuh kepadanya.

Cinta adalah suatu tindakan atau aksi, bukan suatu perasaan: Cinta adalah perhatian yang aktif terhjadap kehidupan dan pertumbuhan dari sesuatu yang kita cintai. Ketika perhatian yang aktif ini tidak ada maka tidak ada cinta (Erich Fromm, seorang psikolog).

Kunci untuk mencintai adalah pengalaman dicintai, dan pengalaman yang terpenting sehubungan dengan ini adalah pengalami dicintai Allah. Tidak ada suatu pun yang bisa menggantikan kenyataan saya dicintai tanpa syarat oleh Allah.

Sekali pengalaman dicintaioleh Allah, oleh orang lain, atau oleh keduanya – terjadi yang membentuk perspektif kita tentang hidup dan dunia, segala sesuatu menjadi berbeda.

Allah adalah awal sumber cinta. Dalam seluruh Kitab Suci, Allah tampil sebagai kekasih yang setia bagi umat-Nya, dan hubungan antara Allah dengan setiap pribadi digambarkan sebagai hubungan intim penuh kasih. Cinta sebagai hati dan jiwa hidup Kristen.

Cinta Allah menopang dan mendukung semua cinta yang lain. Bahkan sebelum kita mencintai dengan baik, kita harus membuka hati kepada cinta Allah sehingga cinta kita mampu membawa pengaruh yang menyembuhkan kita dari dalam. Tujuannya supaya memberi ruang kepada apa yang disebut “doa cinta kontemplatif”.

Doa ini dapat berupa membiarkan Sabda Allah meresap masuk dan tinggal di dalam hati kita dengan membaca Kitab Suci secara perlahan dan merenungkannya, duduk dan berlutut dengan tenang beberapa saat, sekedar membuka diri kepada cinta Allah. Kosentrasi harus dijaga dengan berulang-ulang mengucapkan doa singkat atau ayat Kitab Suci secara perlahan: ,”Tuhanku dan Allahku”; “Ya Allah, Engkaulah Allah yang kucari”; “Cinta Allah memenuhi hatiku.”

Orang yang menjalankan doa cinta kontemplatif secara teratur setiap hari akan menemukan kemampuan baru yang lebih hidup untuk mencintai dan dicintai.

Keutamaan cinta akan menjadi sejati hanya jika cinta itu bersifat aktif, dalam arti cinta itu harus membantu orang yang dicintai untuk merasa dicintai. Tanpa memberi dan menerima cinta, hidup kita akan hampa dan tanpa tujuan. Dengan cinta, tidak soal apa pun yang terjadi, hidup ini sangat berharga.

(Sumber: Warta KPI TL No.135/VII/2016 » 7 Pilar dasar kehidupan Kristiani, Mitch Finley: KGK  No.1803-1829).

06.12 -

06.11 -

Hidup dalam kasih karunia


Kasih karunia berarti mendapatkan sesuatu yang tidak layak untuk kita dapatkan tetapi kita dapatkan  (yaitu keselamatan) sekaligus kita tidak mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan (yaitu hukuman atas dosa).

Kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya karena kemiskinan-Nya (2 Kor 8:9).

Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita (Tit 3:5-7).

Keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya (Rm 13:11). Ketika kamu percaya dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu (Ef 1:13).

Kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus (1 Ptr 1:18-19).

Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya (Ef 1:7; Kol 1:14).

Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Rm 5:8). Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2 Kor 5:21). Oleh kasih karunia dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus (Rm 3:24).

Kasih karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita(Rm 6:23)

Marilah kita belajar dari Rm 6:1-14

Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak!

Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?

Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.

» Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia (1 Tes 5:9-10).

Kebangkitan Kristus telah menjadi bukti bahwa Dia benar-benar tidak mati tapi hidup kembali (Rm 14:9) menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat 28:20).

Melalui kematian Kristus, Tuhan menawarkan jalan melalui diri-Nya (Yoh 14:6Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku).

Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.

Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa. Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.

Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.

Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.

Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.

Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.

Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup.

Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.

» Katakan tidak untuk kembali kepada dosa. Cara membalas kasih Tuhan dengan berhenti berbuat dosa.

Di Golgota Yesus disalibkan bersama-sama dengan dua orang penjahat, ketiga salib  berbeda kisahnya (Luk 23:39-43).

Salib yang berada di sebelah kiri Yesus » orang ini mati dalam dosanya, tidak mau bertobat.

Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!”

Salib yang berada di sebelah kanan Yesus » salib orang yang mati terhadap dosa, menggunakan waktunya yang singkat untuk bertobat (Santo Dismas, Pengaku Iman » dihormati sebagai pelindung orang-orang yang perlu bertobat secara sempurna dan santo pelindung orang yang dihukum mati).

Tetapi yang seorang menegor dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”

Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Kata Yesus kepadanya: “ Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Salib yang berada di tengah-tengah adalah salib Yesus
Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Rm 5:8). Kristus yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita (2 Kor 5:21 » Kata Pilatus: “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada orang ini – Luk 23:4).

Kunci kemenangan seorang Kristiani adalah kasih karunia Tuhan, sebab Tuhan yang bekerja bagi kita melakukan hal-hal yang mustahil, yang tidak mampu kita lakukan secara daging.

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah (Ibr 12:2).

(Sumber: Warta KPI TL No.135/VII/2016 » Renungan KPI  TL Tgl 23 Juni 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).

06.01 -

Hargai apa yang kita miliki


Ada seekor anjing mendapatkan tulang dari tong sampah. Wow…. Makanan yang sedap. Si anjing berlari sambil membawa tulang di mulutnya, melewati jembatan.

Dia terpukau melihat bayangan anjing membawa tulang yang kelihatan lebih besar dan nampak lebih nikmat, terpampang pada bayangan di air yang jernih.

Jangan mengabaikan apa yang Anda miliki sekarang, Karena bergairah menginginkan apa yang tidak Anda miliki; Namun ingatlah, bahwa apa yang Anda miliki sekarang, Dulu juga merupakan salah satu dari yang Anda inginkan dengan penuh hasrat pula.

Sabtu, 02 Juli 2016

05.49 -

Penyembuhan kesombongan



Dalam penyembuhan kesombongan ini, kita temui dua sarana:

1. Merenungkan kebesaran Tuhan – kesadaran akan siapakah diri kita di hadapan Tuhan (tanpa Aku kamu tidak bisa berbuat apa-apa – Yoh 15:5), tidak ada seorangpun yang lebih baik dari yang lain kecuali kehendak Allah, karena Allah mempunyai rencana dan menghendakinya. 

Jadi jangan bangga dengan karunia-karunia kodrati/adikodrati yang kita miliki (kepandaian, kemampuan, kesehatan, dsb. Itu semuanya datangnya dari Allah – Flp 2:13).

2.Pemurnian pasif melalui karunia Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam diri kita.

Orang merasa hebat selama ia belum diterangi oleh cahaya Roh KudusBegitu terang Allah meneranginyaia akan melihat kekotorannya sendiri.

Oleh karena itu, kerendahan hati yang sejati akan lebih dalam dan besar jika dicapai melalui pengalaman Allah.

Allah pun kadang-kadang merendahkan kita dengan berbagai macam caraMisalnyadifitnahorang memandang rendah kita – itu sebenarnya suatu rahmat

Dengan bersikap pasrah terhadap pemurnian yang dilakukan Allahmaka perlahan-lahan dampak dari kesombongan itu akan menghilang dari dalam diri kita, sehingga kita tidak terganggu lagi oleh kesombongan dan kita beristirahat di dalam kerendahan hati (tidak dipengaruhi lagi oleh apa yang dikatakan orangbaik berupa sanjungan-sanjungan, maupun kritikan).

Di sinilah kita mulai mengerti bahwa betapa berharganya penderitaan dan salib di dalam kehidupan kita. Bahkan bila kita direndahkan dan difitnah, kita mengerti bahwa kita sedang dimurnikan.

(Sumber: Warta KPI TL No. 06/X/2004 » Penyembuhan kesombongan, HDR Januari-Februari 2004).

05.42 -

Kesombongan (St. Bernadus dari Clairvaux)



Ajaran rohani ini diberikan St. Bernadus dari Clairvaux, seorang abas biara sistersian yang termasyur, memiliki hati yang  lemah lembut dan penuh kasih.

Atas permintaan seorang rahibnya, St. Bernadus menguraikan kebajikan kerendahan hati dan dosa kesombongan.

Tahap-tahap kesombongan :

I.Penghargaan yang kurang terhadap saudara-saudara/memandang remeh saudara-saudara yang lain

1. Rasa ingin tahu

Orang seperti ini tidak lagi memeriksa batin-nya, tetapi sebaliknya mulai memeriksa orang lain. Seringkali membiarkan panca indranya untuk melihat dan mendengar apa saja; lalu timbul suatu pembelaan diri: “Mengapa tidak boleh melihat, bukankah Tuhan telah memberikan mata untuk melihat:”

Pandangan itu bukanlah dosa, tetapi dosa mengintip dibelakangnya. Maka jika ada godaan-godaan kita harus hentikan segera dan tidak berdialog dengan godaan tersebut.

Kita tahu kelihaian setan yang tahu kelemahan manusia dimana ia tidak menggoda secara langsung tetapi perlahan-lahan, sedikit demi sedikit hingga jatuh ke dalam dosa.

Contoh : Hawa mulai memandang buah pengetahuan itu, setan mulai menggoda dengan licik dan berkata: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1). Maka setan telah memberikan buah terlarang kepada Hawa dan mengambil  kehidupan dalam diri Hawa (firdaus).

2. Pikiran dan sikap yang sembrono

Tidak memperhatikan dirinya sendiri, melainkan ingin tahu tentang orang lain (pikirannya tidak terarah kepada Allah yang hadir dalam dirinya, perhatiannya tercerai-berai keluar).

Mudah iri hati/dengki/meremehkan orang lain yang dianggap rendah darinya/sering menghakimi/kadang-kadang menunjukkan kesedihan atas kesalahan-kesalahannya, tetapi pada saat lain berbangga-bangga seperti anak kecil akan kehebatannya/bersedih hati, kalau melihat orang lain lebih baik daripada dia (ini menunjukkan pribadinya yang tidak seimbang).

3. Suka bersenang-senang

Perhatiannya hanya terarah bagaimana supaya ia bisa tampak lebih baik daripada orang lain (melihat kebaikan pada orang lain, ia tidak senang; tidak segan-segan menghancurkan orang lain yang mulai bertumbuh).

Seperti pelawak yang hanya memperhatikan penampilannya saja, tidak pernah mengingat-ingat sesuatu yang merendahkan dia dan karena itu tidak pernah memikirkan kegagalan/apapun (hanya mengarahkan pandangannya kepada jasa-jasanya sendiri dan senang membicarakan dirinya sendiri).   Inilah gambaran orang yang mengisi pikirannya dengan sesuatu yang kosong dan murahan.

4. Suka membual

Jika orang ini mempunyai kesempatan untuk berbicara, ia akan mengungkapkan ide-ide dan gagasan-gagasannya supaya pada akhirnya orang tahu ia hebat, ia melakukan untuk mendapatkan pujian (kalau tidak ia akan stress--menyalurkan sesuatu dalam dirinya/menyalurkan betapa hebatnya dia itu).

Orang seperti ini suka melontarkan pertanyaan-pertanyaan dan dijawab sendiri, tidak peduli dan tidak berminat untuk menambah pengetahuan orang lain, kalau orang lain berbicara suka dipotongnya untuk mendengarkan dia dan ia senang memberikan nasehat-nasehat.

5. Suka berbuat aneh-aneh

Orang ini membanggakan diri, seolah-olah ia lebih baik dari orang lain dan ingin melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain, agar tampak kelebihannya bahwa ia lebih superior”.

Contoh: Perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan perpuluhan dari segala penghasilanku” (Luk 18:10-12).

Orang-orang seperti ini senang melakukan devosi-devosi pribadi agar kelihatan kesalehannya, tetapi dia malas beribadat bersama.

6. Suka menerima sanjungan

Ingin dipuji dan disanjung, jika dipuji ditelannya bulat-bulat (merupakan sanjungan kosong/sebagai racun). Suka memuji pekerjaannya sendiri dan tidak memperhatikan motivasinya (lebih percaya pandangannya sendiri daripada orang lain—walaupun suara hatinya menuduh dia, dia akan mengabaikan suara hatinya).

Bagi orang rendah hati sanjungan itu tidak ada artinya.

II. Meremehkan kewibawaan

1. Kecandangan/presumsi

Bila seseorang mengira bahwa dia itu lebih baik daripada orang lain, maka ia akan berusaha untuk tampil ke depan umum agar selalu menjadi yang nomer satu dalam pertemuan maupun diskusi.

Kalau ada persoalan/diskusi yang sudah selesai ia selalu mengungkit-ungkit lagi dan membahas hal-hal yang sudah selesai. Karena ia mengira tidak ada sesuatu yang baik, semuanya dicela/hal apapun selalu dikritiknya.

Kalau diberi tugas yang tidak begitu penting, maka dia akan marah-marah dan memberontak. Suka mengambil tugas-tugas yang melampaui kekuatannya, sehingga akhirnya melakukan kesalahan-kesalahan. Umumnya tidak mau mengakui kesalahan/tidak mau ditegur.

2. Pembelaan/pembenaran diri

Banyak sekali  cara-cara untuk melakukan pembelaan diri yang sebenarnya pembelaan terhadap dosa. Bila melakukan kesalahan besar, akan memberikan alasan bahwa ia tidak bermaksud melakukan kesalahan itu.

3. Pengakuan yang tidak jujur

Orang melakukan pengakuan pura-pura supaya dilihat rendah hati, tetapi sebenarnya menunjukkan kesombongan yang lebih besar (memakai topeng kerendahan hati, supaya tidak diketahui orang lain).

Pengakuan ini lebih berbahaya daripada membela kesalahan dengan keras kepala. Orang seperti ini tidak berusaha membela kesalahannya, tetapi justru melebih-lebihkan kesalahannya

Kemudian ia mengakukan kejahatan seolah-olah kesalahan yang dilakukannya tersebut tidak dapat diampuni, sehingga orang yang menegurnya menjadi bingung karena timbul suatu pertanyaan, “Benarkah ia melakukan kesalahan itu, mungkinkah tuduhan itu keliru.”

4.Pemberontakan

Hanya rahmat Tuhan yang besar saja, dapat memberikan orang ini kemampuan untuk menerima hukuman dengan tenang. 

Kalau sebelumnya ia memperlakukan saudara-saudaranya dengan kesopanan yang pura-pura, sekarang ia terang-terangan menyatakan ketidaktaatan dengan meremehkan wibawa pimpinan

Orang yang mencintai Allah harus sungguh taat dan segenap hati patuh kepada pimpinannya.

III. Penghinaan kepada Allah.

1. Berbuat dosa dengan bebas.

Bila Allah dalam kerahiman-Nya yang besar tidak mencegah orang tersebut, maka dia akan sampai kepada suatu keadaan untuk “meremehkan Allah”. 

Kita jumpai orang-orang yang murtad dan keluar dari Gereja Katolik cukup sering terjadi karena pemberontakan-pemberontakannya, misalnya seorang imam/suster yang murtad akan menjadi jauh lebih jahat daripada awam yang jahat (karena kepahitan dan kebencian).

2. Kebiasaan untuk berbuat dosa.

Orang ini sedikit demi sedikit kehilangan rasa “Takut akan Allah” karena seringkali berbuat dosa. Orang ini diperbudak hawa nafsunya, sehingga perlahan-lahan suara hatinya mati (tidak memperdulikan orang lain).

Marilah dengan bantuan rahmat Tuhan, untuk mengalahkan kesombongan ini dan bertumbuh dalam kerendahan hati yang sejati.


(Sumber: Warta KPI TL No. 06/X/2004 & No. 07/XI/2004 » Tahap-tahap kesombongan, HDR Januari-April 2004).

Artikel terkait

Penyembuhan kesombongan