Sabtu, 29 Desember 2018

Janda dari Sarfat - memberi dalam kekurangan dan keterbatasan



“Perempuan itu menjawab: "Demi Tuhan, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati." 

Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. 

Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi." (1 Raja-Raja 17:12-14)


Sarfat terletak di wilayah Sidon, kira-kira 13 km di sebelah selatan Sidon, Fenisia. Ke kota kecil itulah Elia pergi selama masa kekeringan dalam pemerintahan raja Ahab. Hampir dua pertiga isi 1 Raja 17 berisi kisah nabi Elia dan seorang janda di Sarfat. 

Alkitab tidak memberi gambaran tentang nama, sejarahnya, penampilan fisiknya, usianya; Alkitab hanya memberi gambaran secara tidak langsung tentang kemiskinannya (ayat 12). Pertemuan dan selanjutnya persahabatan nabi Elia dan janda Sarfat sendiripun merupakan rancangan Tuhan buat keduanya (ayat 9), dalam hal ini Elia mengetahuinya dengan jelas. 

Alkitab tidak memberitahukan secara jelas, siapa nama perempuan itu, hanya dikatakan bahwa Allah memerintahkan janda Sarfat untuk memelihara kehidupan Elia (ayat 9) entah dengan cara bagaimana, entah secara langsung atau sekedar kegerakan hati dengan diberi kemurahan hati untuk menerima Elia. Perjumpaan pertama janda Sarfat dengan Elia sendiri dapat dikatakan bukanlah sebuah bentuk perjumpaan yang spektakuler. 

Jika pada awal pasal ini digambarkan perjumpaan pertama nabi Elia dengan raja Ahab yang membawa berita penghukuman, kali ini Elia berhadapan dengan seorang janda. 

Elia, yang dikenal sebagai nabi Allah, datang dari sebuah perjalanan yang jauh dan itu terjadi di musim yang tidak ada hujan turun sama sekali. Pastinya sungai-sungai sepanjang perjalanan itu kering, akibatnya Elia tidak mandi berhari-hari. Apalagi penampilan Elia yang digambarkan dalam 2 Raja 1:8, “memakai pakaian bulu dan ikat pinggang kulit terikat di pinggangnya”, jauh dari gambaran kemewahan.

Ada sesuatu yang menarik dari kisah ini, yaitu kemurah-hati seorang janda di musim kemarau, di musim tidak ada hujan yang turun. Mungkin kemurah hatia janda Sarfat akan dipandang sebelah mata oleh banyak pembaca dengan mengatakan, “pastilah, kan Tuhan yang memerintahkan di ayat 9”. Namun dengan melihat situasi dunia saat itu, tidaklah mudah untuk melakukan apa yang dilakukan janda Sarfat

Apa yang dilakukan janda Sarfat disebut dengan hukum hospitality, yaitu mau menerima kedatangan seorang asing di rumahnya, dalam arti memelihara hidup tamu asingnya tersebut. 

Hal ini nampak ketika Elia pertama kali bertemu dengan janda itu di pintu gerbang kota (semacam alun-alun kota); ia sedang mengumpulkan kayu untuk membuat api. Ketika Elia meminta air dari kendinya untuk minum, wanita ini bisa saja menolak (menolak melakukan hukum Hospitality), namun wanita ini dengan segera mengambilkan air untuk Elia yang merupakan bahasa untuk mengatakan “aku menerima engkau sebagai tamuku”. Yang lebih mengagumkan lagi, hal itu terjadi di masa ketika air sulit dicari. 

Namun ketika Elia meminta sepotong roti, janda itu dengan jujur (dia berkata semacam sumpah “demi Tuhan Allahmu yang hidup” yang mengindikasikan dia tahu jika Elia adalah orang Israel) mengatakan bahwa persediaan makanan yang dimilikinya saat itu adalah persediaan terakhir, setelah memakannya, dia dan anaknya akan mati. Dengan kata lain, tidak ada jatah lebih untuk Elia.

Ketika Elia meyakinkan bahwa Tuhan Allahnya akan terus memelihara hidup mereka (ayat 13-14), janda itu percaya kepada Elia, orang asing yang baru dikenalnya. Dan ketika dia percaya dan melakukan apa yang diperintahkan Elia, benar saja, persediaan makanan untuk dia, anaknya dan Elia terus berlangsung hingga Tuhan menurunkan hujan (ayat 14,16). 

Walaupun Alkitab tidak memberikan indikasi respon orang-orang Sarfat terhadap kedatangan Elia dan keberadaannya di rumah janda Sarfat, namun keberadaan janda Sarfat dipakai Tuhan untuk memelihara keberlangsungan hidup hamba-Nya, Elia. 

Namun hanya untuk itukah Elia harus jauh-jauh datang dari sungai Kerit ke Sarfat? Apakah Tuhan tidak bisa memelihara keberlangsungan hidup hamba-Nya dengan cara yang lain, yang mungkin lebih sederhana dan tidak berbelit-belit? Tidak, masih ada misi lain yang dilakukan Allah dengan menyuruh Elia pindah dari sungai kerit ke Sarfat. Tapi setidaknya, janda ini dipakai Tuhan untuk memelihara hidup Elia selama musim kemarau yang panjang (sekitar 3 tahun; 1 Raja-Raja 18:1).

Tuhan adalah kasih, dan Tuhan murah hati. Dia selalu memberi segala sesuatu yang terbaik bagi kita, bahkan anak-Nya yang tunggal pun Dia relakan untuk menebus kita semua dari kebinasaan menuju keselamatan yang kekal. 

Lihatlah bagaimana sikap hati Allah sendiri sebagai The Giver atau Sang Pemberi. Hal seperti inilah yang harus mewarnai sikap hati kita sebagai orang percaya.

Kisah Janda dari Sarfat ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang harus ditunggu agar mampu memberi? Tunggu kaya dulu? Tunggu berlebih dulu? Tunggu sampai semua kebutuhan yang tidak pernah ada habisnya itu tercukupi? Sesungguhnya tidak. 

Kita tetap bisa memberi dalam kekurangan dan keterbatasan kita, kita bisa melakukannya dengan penuh sukacita apabila sikap kemurahan tumbuh subur dalam hati kita. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk memberi puluhan juta kepada orang lain yang kelaparan, tapi sudahkah kita melakukan sesuatu bagi orang disekitar kita meski nilainya sedikit? 

Atau sudahkah kita memberikan waktu, perhatian, kasih sayang kepada keluarga kita sendiri? Sudahkah kita berada dengan mereka di saat mereka butuh kehadiran kita? Sudahkah kita memberi senyum kepada orang yang sudah lama tidak merasakan indahnya sebuah senyuman? Sudahkah kita memberi kelegaan kepada mereka yang tengah sesak menghadapi tekanan hidup? Itupun termasuk dalam kategori memberi. Kalau begitu, kapan kita sebaiknya mulai memberi? Mengapa tidak sekarang juga?

(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).

Izebel - terkenal karena kejahatannya



Ahab, anak Omri, menjadi raja atas Israel dalam tahun ketiga puluh delapan zaman Asa, raja Yehuda. Dan Ahab bin Omri memerintah dua puluh dua tahun lamanya atas Israel di Samaria. Ahab bin Omri melakukan apa yang jahat di mata Tuhan lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya. Seakan-akan belum cukup ia hidup dalam dosa-dosa Yerobeam bin Nebat, maka ia mengambil pula Izebel, anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya. Kemudian ia membuat mezbah untuk Baal itu di kuil Baal yang didirikannya di Samaria.” (1 Raja-Raja 16:29-32)


Sidon sering disebut-sebut dalam Alkitab sebagai kota penting di Tanah Kanaan. Menurut cerita tradisi, Sidon adalah kota Kanaan pertama yang didirikan dan menjadi kota pertahanan yang penting di Tanah Kanaan. Dari kota inilah asal Izebel. Izebel adalah anak Etbaal, raja Sidon, yang kemudian diperisteri oleh Ahab, raja Israel. 

Nama Izebel sendiri berarti “di manakah pangeran”. Nama ini mungkin berasal dari nama Fenisia yang berartiBaal adalah pengeran.” Nama ayahnya, yaitu Etbaal, berarti “bersama dia adalah Baal.”

Dari arti nama ayah dan anak ini, sudah jelas bahwa mereka adalah pengagung Baal, penyembah berhala. Raja Ahab tentu sudah mengetahui bahwa wanita yang bakal menjadi isterinya dan laki-laki yang bakal menjadi ayah mertuanya adalah penyembah Baal. 

Alkitab menyebutkan bahwa Ahab melakukan apa yang jahat di mata Tuhan lebih dari orang-orang yang mendahuluinya. Kejahatannya itu ditambah lagi dengan menikahi Izebel, orang yang digambarkan sebagai wanita berkarakter paling buruk di dalam Alkitab.

Sudah sangat umum orang mengenal Izebel sebagai wanita dengan reputasi yang sangat buruk dalam Alkitab, ia adalah wanita terjahat. Wanita yang kemudian menjadi ratu di Israel setelah menikah dengan Ahab ini dikenal sebagai pembunuh dan penentang Allah Israel

Begitu buruknya citra Izebel, sehingga di dunia era modern namanya kemudian diadopsi menjadi merek peluru pada perang dunia kedua.

Pakar Alkitab sudah mencoba menyelidiki kembali figur-figur wanita yang diceritakan dalam Alkitab, mungkin saja ada sisi baik yang bisa diangkat dari mereka. Tetapi, sangatlah sulit menemukan yang baik dalam diri Izebel. Dia tidak dapat disamakan dengan wanita-wanita lain dalam Alkitab, bahkan dengan Delila atau isteri Potifar sekalipun. Kita tahu kelicikan Delila atau kebejatan isteri Potifar, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang dapat dibandingkan dengan Izebel. Ada wanita-wanita berperangai buruk, tetapi Izebel adalah yang terburuk.

Nama-nama seperti Nero, Hitler, Stalin dan Idi Amin, adalah tokoh-tokoh dunia yang menjadi terkenal bukan karena kebaikan dan kemuliaan hati mereka, melainkan karena kejahatan dan sikap diktator mereka. Alkitab pun mencatat Izebel yang terkenal bukan karena kesetiaan, iman, kasih dan kejujurannya, melainkan karena kejahatannya.

Anda sendiri ingin dikenal orang sebagai pribadi yang bagaimana? Menjadi terkenal karena kebaikan yang kita lakukan seperti halnya Mother Teresa, merupakan hal yang membahagiakan. Para pujangga berkata, “Apa yang kita lakukan selama masih hidup, itulah yang akan terukir di batu nisan kita kelak.” Hidup kita bagaikan pelukis, kita bebas melukis apa saja di atas kanvas kehidupan kita. 

Warnailah hidup ini dengan sesuatu yang indah, yang akan mengharumkan nama kita dari generasi ke generasi, dan yang lebih penting lagi, hiduplah di dalam kebenaran sehingga nama kita terukir di Sorga.

(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).

Batsyeba - ibu Salomo



“Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya. Lalu Daud menyuruh orang bertanya tentang perempuan itu dan orang berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu." Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia. Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengan dia. Perempuan itu baru selesai membersihkan diri dari kenajisannya. Kemudian pulanglah perempuan itu ke rumahnya.” (2 Samuel 11:2-4)


Siapakah Batsyeba? Setiap orang Kristen pasti banyak yang tahu siapa itu Batsyeba. Ia adalah anak perempuan Eliam (ayat 3), cucu Ahitofel, penasehat Daud. Suami Batsyeba adalah Uria, orang Het, yang menjadi komandan pasukan Daud, dibawah panglima perang Yoab

Ketika terjadi peperangan, Daud yang sedang bersantai di rumah, melihat Batsyeba sedang mandi sehingga ia sangat menginginkannya, kemudian merayunya. 

Kitab 2 Samuel 11:4 mencatat: Perempuan itu datang kepadanya. Sekalipun yang berdosa adalah Daud, Batsyeba juga bukan tanpa salah. Dia datang atas panggilan Daud, rupanya tanpa ragu-ragu, dan tidak menolak keinginan Daud (setidak-tidaknya sejauh apa yang tercatat). Kenyataan bahwa dia sedang mandi di wilayah yang tanpa atap dari sebuah rumah di pusat kota sehingga setiap orang bisa memandangnya dari atap rumah juga tidak membuat orang berpikir bahwa dia itu sopan, sekalipun dia tidak memiliki motivasi tertentu, sebagaimana pendapat sejumlah penafsir. 

Setelah akhirnya Batsyeba mengandung akibat perzinahan itu, maka Daud mengatur rencana jahat agar Uria terbunuh dalam peperangan. Rencana jahat itu berhasil, Uria terbunuh dalam pertempuran, dan tanpa menunggu lama, Daud segera mengambil Batsyeba sebagai istrinya sehingga memungkinkan mereka sudah menikah sedini mungkin sebelum melahirkan. Daud dengan demikian berharap untuk mencegah kemungkinan timbulnya kecurigaan adanya hubungan jasmaniah sebelum pernikahan. 

Kisah selanjutnya Tuhan melalui nabi Natan menegur Daud yang jatuh dalam dosa besar itu. Daud sadar dan menyesali dosanya. Karena Daud menyesali dosanya maka Tuhan tidak menghukumnya dengan menimpakan malapetaka kepadanya dan keturunannya, tapi Tuhan tetap menghukum dia. Anak hasil perzinahannya dengan Batsyeba mati. Daud memang betul-betul menyesali perbuatannya. Dia berdoa dan berpuasa memohon agar Tuhan mau menyelamatkan anak itu. Tetapi Tuhan tak bergeming dari keputusan-Nya. Itulah kasih yang sejati. Kasih Tuhan tegas kepada Daud dinyatakan dengan cara menghukum Daud. Hukuman itu bertujuan membuat Daud bertanggungjawab dan didisiplin.

Satu hal yang kadang sulit untuk bisa dimengerti dan dipahami, mengapa Batsyeba termasuk dalam salah satu garis silsilah Yesus Kristus. Bila melihat serangkaian perjalanan hidup Batsyeba, mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa Batsyeba yang terpilih menjadi nenek moyang Yesus. 

Injil Matius 1:6 mencatat dengan jelas, “Isai memperanakkan raja Daud, Daud memperanakkan Salomo, dari isteri Uria.” Walaupun nama Batsyeba tidak dicantumkan secara langsung, tetapi itu merupakan suatu hal yang istimewa. Mengapa dari beberapa isteri Daud, justru Batsyeba yang terpilih? Batsyeba yang bisa dikatakan menjadi awal kehancuran bagi kehidupan Daud? Mengapa bukan Abigail yang terpilih padahal ia pun seorang wanita yang bijak, bukan pula Maakha, istreri Daud yang merupakan anak raja?

Di dalam silsilah Yesus, hanya ada empat wanita yang disebutkan, yaitu Tamar, Rahab, Rut dan Batsyeba. Batsyeba memang tidak disebutkan secara langsung, hanya dikatakan sebagai “yang pernah menjadi isteri Uria.” 

Pemilihan Batsyeba sebagai nenek moyang Yesus, pasti bukanlah sesuatu yang terjadi semata-mata karena kehendak dan kedaulatan Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan menggenapkan janji-Nya kepada Daud dengan memulainya melalui tindakan perzinahan antara Daud dan Batsyeba. Dan, kalaupun secara bodoh kita meyakini semuanya sudah ditetapkan oleh Tuhan karena Ia yang memegang kekuasaan, lalu pertanyaannya adalah: mengapa anak yang terlahir kemudian itu harus mati? Ini artinya, semuanya mengikuti hukum alam dalam hal kehamilan dan kelahiran anak tersebut, dan mengikuti hukum rohani dalam hal kematiannya.

Dari masuknya Batsyeba dalam jajaran nenek moyang Yesus, kita belajar bahwa Tuhan dapat memakai seseorang bukan berdasarkan nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia. Bukan didasarkan pada siapakah kita, apa kita, bagaimana masa lalu kita, dan apa pekerjaan kita. Bukan pula berdasarkan bersih tidaknya maupun terhormat tidaknya status seseorang di muka bumi ini. 

Tuhan melihat hati dan iman yang tertuju kepada-Nya. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7). 

Tentu ada pertobatan di dalam hati dan kehidupan Batsyeba, ini terlihat jelas dari didikan yang ia berikan kepada Salomo sehingga Salomo bertumbuh menjadi seorang yang tidak serakah akan harta dunia ini bahkan mempunyai hati untuk menjadi pemimpin yang berkenan di hadapan Tuhan (1 Raja-Raja 3:10-12).

Tuhan pasti mempunyai rencangan yang indah bagi kita. Ia tidak pernah menjadikan manusia secara acak tanpa alasan yang jelas, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, “Tuhan tidak pernah bermain dadu.” Hanya saja, rancangan indah itu tidak dapat kita peroleh begitu saja, namun harus ada respon dari kita yang sesuai dengan kehendak-Nya. Bukan karena siapa Anda maka Tuhan memilih Anda, tetapi karena kasih-Nya dan respons Anda atas kasih-Nya itu. 

Untuk itu bersyukurlah jika kita dipakai Tuhan menjadi alat-Nya. Dan tetaplah berkarya sampai rancangan Tuhan yang indah itu digenapi secara penuh di dalam hidup kita. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin setiap langkah kita agar berjalan seturut dengan rencana-Nya.

Abigail - bijaksana



“Lalu berkatalah Daud kepada Abigail: "Terpujilah Tuhan, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini; terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan. Tetapi demi Tuhan, Allah Israel yang hidup, yang mencegah aku dari pada berbuat jahat kepadamu--jika engkau tadinya tidak segera datang menemui aku, pasti tidak akan ada seorang laki-lakipun tinggal hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing." Lalu Daud menerima dari perempuan itu apa yang dibawanya untuk dia, dan berkata kepadanya: "Pulanglah dengan selamat ke rumahmu; lihatlah, aku mendengarkan perkataanmu dan menerima permintaanmu dengan baik." (1 Samuel 25:32-35).


Nama Abigail adalah nama wanita Ibrani yang artinya “sang ayah bersukacita” atau “sukacita seorang ayah”, atau “yang membawa sukacita”. Ada juga yang mengartikannya sebagai “sumber sukacita”. 

Tokoh Abigail ini tidak sering dibahas sehingga membuat orang-orang Kristen kurang mengenal tokoh Alkitab wanita yang luar biasa ini. Banyak orang Kristen yang tidak mengenal kisah Abigail dan Nabal, yang kemudian berlanjut dengan kisah diangkatnya Abigail menjadi isteri Daud yang kedua.

Abigail merupakan salah satu tokoh Alkitab wanita yang luar biasa, yang dapat menjadi teladan bagi ibu-ibu Kristen. Karakternya yang luar biasa membuat Abigail dijuluki sebagai wanita yang berintegritas

Alkitab memperkenalkan Abigail sebagai wanita yang bijak. Sekalipun suaminya yang bernama Nabal adalah seorang yang kasar dan jahat kelakuannya, namun Abigail tidak tertular oleh sifat suaminya itu. Keunggulan karakter Abigail yang bijak tidak mati terhimpit oleh kekasaran karakter suaminya, bahkan konsisten bersinar pada saat yang genting. 

Ini menjadi pelajaran penting bagi kaum wanita Kristen agar tidak kehilangan karakter Kristusnya ketika harus menjalani kehidupan ini dengan seorang suami yang belum beriman. 

Janganlah seorang isteri ikut-ikutan menjadi sombong karena suaminya seorang yang congkak hati. Janganlah seorang isteri menjadi semena-mena terhadap pembantu karena sang suami yang suka main pukul. Janganlah seorang isteri mengikuti sifat suami yang malas bekerja, yang tidak bertanggungjawab dan pemarah, tetapi sebaliknya tunjukkanlah sifat-sifat yang unggul yang seharusnya dimiliki oleh seorang Kristen, yaitu sifat yang rajin, bertanggung jawab dan penuh belas kasihan.

Kata “bijakartinya pandai, mahir dan selalu menggunakan akal budi. Bila kita membaca kisah Abigail ini, kita akan mendapati bahwa Abigail bukanlah merupakan tipe wanita seperti anggapan banyak orang, yaitu wanita yang hanya penuh dengan emosi dan mengandalkan air mata. Sebaliknya Abigail muncul sebagai seorang wanita yang dapat berpikir sehat, benar dan cerdas! Malah yang terlihat tidak cerdas dan penuh emosi adalah suaminya, si Nabal, yang dalam bahasa Ibraninya berartitolol”. 

Pergumulan hidup yang berat, seperti yang dialami Daud, lari dari satu tempat ke tempat lain, kehilangan orang yang dikasihi, menjadi korban kesewenangan Saul, telah menghabiskan kesabarannya. Apalagi sikap bebal Nabal, yang tak tahu berterima kasih. Untunglah Nabal memiliki seorang istri yang tidak hanya cantik, tetapi juga bersikap bijak. Dia menanggapi serius laporan hambanya dan merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan keluarganya dari amukan Daud dan anak buahnya (ayat 24). Langkah diplomasi pun ditempuh. Sungguh luar biasa. Kata-kata bijak Abigail menggugah kesadaran Daud yang nyaris jatuh dalam dosa.

Berjuang demi kebenaran. Pendekatan yang bijak oleh Abigail tidak saja telah menyelamatkan Daud dari dosa dan orang-orang yang tidak bersalah dari kematian, tetapi juga memberi kesempatan kepada keadilan Allah berlaku atas Nabal

Orang beriman diberi Tuhan kebijakan yang mengalahkan kejahatan dunia ini. Selain perlu berjuang demi menegakkan kebenaran, orang beriman pun perlu meminta hikmat Allah agar mampu menyatakan kasih dan menegakkan kebenaran di dalam kasih.

Karakter Abigail yang bijak sungguh menjadi teladan bagi ibu-ibu Kristen. Menjadi bijak bukan hanya tuntutan bagi seorang pria atau suami, namun juga merupakan tuntutan bagi seorang wanita atau isteri untuk berlaku bijak di dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan apa pun juga. Alasan Tuhan menempatkan otak di kepala seorang wanita pastilah sama dengan alasan Tuhan menempatkan otak di kepala seorang pria. Artinya, Tuhan menginginkan agar wanita juga dapat berpikir bijak, sebagaimana seorang pria.

Bijaksana adalah pagar yang dibangun Tuhan di dalam diri kita untuk memelihara dan melindungi kita. Janganlah larut dalam perasaan yang melemahkan dan merugikan kehidupan kita, tetapi sebaliknya, jadilah bijak dengan menggunakan akal budi yang dikaruniakan kepada kita. Kiranya Tuhan, yang adalah Sumber Kebijaksanaan, memberi kita karakter yang bijak agar kita dapat menjalani kehidupan ini di dalam kemenangan.

(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).

Ester - kecantikan batiniah



“Pada waktu itu ada di dalam benteng Susan seorang Yahudi, yang bernama Mordekhai bin Yair bin Simei bin Kish, seorang Benyamin yang diangkut dari Yerusalem sebagai salah seorang buangan yang turut dengan Yekhonya, raja Yehuda, ketika ia diangkut ke dalam pembuangan oleh raja Nebukadnezar, raja Babel. Mordekhai itu pengasuh Hadasa, yakni Ester, anak saudara ayahnya, sebab anak itu tidak beribu bapa lagi; gadis itu elok perawakannya dan cantik parasnya. Ketika ibu bapanya mati, ia diangkat sebagai anak oleh Mordekhai. Setelah titah dan undang-undang raja tersiar dan banyak gadis dikumpulkan di dalam benteng Susan, di bawah pengawasan Hegai, maka Ester pun dibawa masuk ke dalam istana raja, di bawah pengawasan Hegai, penjaga para perempuan. Maka gadis itu sangat baik pada pemandangannya dan menimbulkan kasih sayangnya, sehingga Hegai segera memberikan wangi-wangian dan pelabur kepadanya, dan juga tujuh orang dayang-dayang yang terpilih dari isi istana raja, kemudian memindahkan dia dengan dayang-dayangnya ke bagian yang terbaik di dalam balai perempuan.” (Ester 2:5-9)



Kitab Ester, sekalipun tidak menyebutkan Allah secara tegas, menunjukkan pemeliharaan-Nya yang terus-menerus atas umat Yahudi. Ia mengarahkan, mengesampingkan, dan mempergunakan berbagai tindakan orang untuk mencapai maksud-Nya serta memelihara umat pilihan-Nya. 

Keseluruhan Kitab Ester memberikan penjelasan kepada kita bahwa di balik kekuasaan Ahasyweros, Tuhan yang tidak nampak, tinggal bersama-sama umat-Nya. Dia tidak berdiam diri, namun Dia mengendalikan situasi. Walaupun Ahasyweros tidak memiliki integritas yang bercirikan hikmat dan prinsip hidup yang mulia, Tuhan tetap melaksanakan maksud dan rencana-Nya dengan sempurna.

Siapakah Ester? Ester adalah anak perempuan Abihail, kemenakan Mordekhai. Menurut Ester 2:7, nama Yahudi dari Ester ialah Hadasa ('pohon murad'). Nama Ester barangkali adalah padanan dari kata Persia “stareh”, yang berarti “bintang.”

Diceritakan bahwa pada saat Ahasyweros merindukan ratu Wasti, isteri yang telah diceraikannya, maka diusulkan agar sang raja memilih seorang ratu yang baru bagi dirinya di antara para perawan cantik dari negeri itu. Segera saja sida-sida kerajaan Persia mengumpulkan sejumlah gadis yang cantik-cantik dari seluruh wilayah, dan raja menempatkan Hegai dan Saasgas untuk mengawasi dan merawat gadis-gadis itu. Diantara gadis-gadis itu terdapatlah Ester, anak perempuan Abihail, kemenakan Mordekhai

Dari sekian banyaknya gadis-gadis cantik yang dikumpulkan, Hegai melihat ada sesuatu yang berbeda dalam diri Ester, sehingga Ester mendapatkan perlakuan khusus. Hegai memberi Ester wangi-wangian, tujuh dayang dan menempatkannya di bilik yang terbaik dari balai perempuan. Setelah melalui seleksi yang ketat, akhirnya tibalah giliran Ester untuk menghadap raja. Di hadapan raja pun, Ester beroleh kasih sayang lebih dari gadis-gadis lainnya. Akhirnya, raja Ahasyweros berkenan mengenakan mahkota ratu ke kepala Ester.

Mengapa Hegai memperlakukan Ester secara istimewa? Mengapa raja Ahasyweros memilih Ester sebagai ratu? 

Tiga kali Alkitab menuliskan kalimat, “Maka Ester dapat menimbulkan kasih sayang pada semua orang yang melihat dia.” Kalimat itu menunjukkan bahwa Ester memiliki kepribadian yang menarik dan menyenangkan orang di sekitarnya. Ester lulus dalam uji kepribadian saat dilakukan pemilihan ratu Persia. Ester tidak saja “elok perawakannya dan cantik parasnya” tetapi juga kepribadiannya menarik dan menyenangkan orang, sehingga pengasuh dan raja menaruh kasih kepadanya. 

Walaupun Ester sudah dipilih dan dimahkotai sebagai ratu kerajaan Persia yang besar, ia tidak menjadi sombong atau mementingkan diri karena kedudukan dan kuasanya yang baru. Ia tidak meremehkan nasihat saudara sepupunya yang kedudukannya lebih rendah, ia juga tidak melupakan bangsanya atau warisan rohaninya; malahan setelah menjadi ratu, ia menunjukkan sikap lembut dan rendah hati. Kepribadian yang menarik dan menyenangkan inilah yang telah membedakan Ester dari gadis-gadis Persia lainnya. Kecantikan pribadi Ester merupakan daya tarik tersendiri yang membuatnya disukai oleh semua orang. 

Sebagaimana kehadiran Ester dapat diterima orang lain dengan baik, maka setiap orang Kristen seharusnya juga mampu menunjukkan kepribadian yang baik, menarik dan menyenangkan orang-orang lain di manapun ia berada. 

Rahasia kepribadian yang menarik ini terletak pada kecantikan manusia batiniahnya. Rasul Petrus menasihatkan, “Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.” (1 Petrus 3:4). 

Kecantikan manusia batiniah tidak menekankan hal-hal yang berkenaan dengan hias-merias diri, atau memakai barang-barang yang mewah dan mahal, atau tingkah laku yang “modern” atau “gaya anak gaul”. Kecantikan batiniah berasal dari dalam, dari roh yang lembah lembut.

Kecantikan batiniah dipengaruhi oleh hubungan kita dengan Tuhan. Kecantikan batiniah akan terpancar keluar, meskipun kita bukanlah orang yang tergolong cantik atau tampan

Kecantikan batinian tercermin dalam kesederhanaan hidup, kesopanan, kedewasaan dalam berpikir, kearifan dalam bertingkah laku, kelemah-lembutan dalam bertutur kata, keramahan dalam bergaul dan sikap yang takut akan Tuhan

Bilamana kita memiliki kecantikan batiniah, orang-orang lain pasti selalu ingin dekat dengan kita dan nama Tuhan pasti dimuliakan.

(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).

01.29 -

Jasa

[KGK 2006] Kata" jasa" pada umumnya menunjukkan pembayaran oleh satu persekutuan atau masyarakat yang berutang karena perbuatan salah seorang anggotanya, yang dirasakan sebagai perbuatan baik atau perbuatan buruk, sebagai sesuatu yang perlu diganjar atau disiksa. Mengganjar jasa-jasa adalah masalah keutamaan keadilan, karena ia menjawab prinsip persamaan yang berlaku dalam keadilan itu.

[KGK 2007] Terhadap Allah tidak ada jasa dalam arti kata yang sebenarnya dari pihak manusia. Antara Dia dan kita terdapat satu ketidaksamaan yang tidak dapat diukur, karena kita telah menerima segala sesuatu dari Dia, Pencipta kita.

[KGK 2008] Jasa manusia di hadapan Allah dalam kehidupan Kristen hanya muncul dari kenyataan bahwa Allah telah menetapkan secara bebas untuk mengizinkan manusia bekerja sama dengan rahmat-Nya. Titik tolak kerja sama ini adalah selalu tindakan Allah sebagai Bapa yang memberi dorongan supaya manusia dapat bertindak bebas, sehingga jasa-jasa untuk pekerjaan-pekerjaan baik pada tempat pertama harus dialamatkan kepada rahmat Allah dan sesudah itu baru kepada orang beriman. Jasa manusia pada dasarnya adalah milik Allah, karena perbuatan-nya yang baik berasal dari rahmat dan bantuan Roh Kudus di dalam Kristus.

[KGK 2009] Pengangkatan sebagai anak membuat kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi karena rahmat. Karena itu ia dapat memberikan suatu jasa yang sungguh, sesuai dengan keadilan cuma-cuma dari pihak Allah. Inilah suatu hak karena rahmat, hak penuh dari kasih, yang menjadikan kita "rekan ahli waris" Kristus, layak untuk "menerima kehidupan abadi pada waktunya" (Konsili Trente: DS 1546). Jasa-jasa pekerjaan kita yang baik adalah anugerah kebaikan Allah (Bdk. Konsili Trente: DS 1548). "Rahmat telah mendahului; sekarang diganjar, apa yang sebenarnya utang... Jasa-jasa adalah hadiah Allah" (Agustinus, Berm. 298,4-5).

[KGK 2010] Karena di dalam tata rahmat tindakan pertama berasal dari Allah, maka seorang pun tidak dapat memperoleh rahmat pertama, yang darinya muncul pertobatan, pengampunan, dan pembenaran. Baru setelah didorong oleh Roh Kudus dan kasih, kita dapat memperoleh untuk kita sendiri dan untuk orang lain, rahmat yang menyumbang demi kekudusan kita, demi pertumbuhan rahmat dan kasih, serta demi penerimaan kehidupan abadi. Sesuai dengan kebijaksanaan Allah, maka harta-harta sementara pun dapat diperoleh, umpamanya kesehatan dan persahabatan. Rahmat dan harta-harta ini adalah obyek doa Kristen. Doa menyediakan rahmat, yang mutlak perlu untuk perbuatan kita yang menghasilkan jasa.

[KGK 2011] Kasih Kristus di dalam kita adalah sumber segala jasa kita di hadirat Allah. Rahmat mempersatukan kita dengan Kristus dalam kasih yang aktif dan dengan demikian menjamin sifat adikodrati dari perbuatan kita dan karena itu sifat jasa di hadapan Allah dan manusia. Para kudus selalu sangat sadar bahwa jasa-jasanya adalah rahmat semata-mata:

"Sesudah pengasingan di dunia berharap bahwa aku akan bergembira di surga karena Engkau; tetapi aku tidak mau mengumpulkan jasa-jasa untuk surga, tetapi hanya bekerja untuk kasih-Mu.... Pada akhir kehidupan ini aku akan tampil di hadirat-Mu dengan tangan kosong; karena aku tidak mohon kepada-Mu, ya Tuhan, untuk menghitung- hitung pekerjaanku. Semua keadilan kami adalah penuh cacat dalam mata-Mu! Karena itu aku mau mengenakan keadilan-Mu sendiri dan menerima dari kasih-Mu harta abadi ialah diri-Mu sendiri" (Teresia dari Anak Yesus, offr).

01.03 -

Rahmat - KGK

[KGK 1996Kita memperoleh pembenaran berkat rahmat Allah. Rahmat adalah kemurahan hati, pertolongan sukarela. yang Allah berikan kepada kita, agar kita dapat menjawab panggilan-Nya

Sebab panggilan kita ialah menjadi anak-anak Allah (Bdk. Yoh 1:12-18), anak-anak angkat-Nya (Bdk. Rm 8:14-17), mengambil bagian dalam kodrat ilahi, (Bdk. 2 Ptr 1:34) dan dalam kehidupan abadi (Bdk. Yoh 17:3) .

[KGK 1997] Rahmat adalah keikutsertaan ada kehidupan Allah, ia mengantar kita masuk ke dalam kehidupan Tritunggal yang paling dalam: melalui Pembaptisan warga Kristen mengambil bagian dalam rahmat Kristus, yang adalah Kepala Tubuh-Nya. Sebagai "anak angkat", orang Kristen dapat menamakan Allah "Bapanya" hanya dalam persatuan dengan Putera yang tunggal. Ia menerima kehidupan Roh, yang mencurahkan kasih kepadanya dan yang membangun Gereja.

[KGK 1998] Panggilan menuju kehidupan abadi ini bersifat adikodrati. Ia diterima hanya karena kebaikan Allah yang secara sukarela mendahului kita karena hanya Ia yang dapat mewahyukan Diri dan memberikan Diri. Panggilan itu melampaui kekuatan pikiran dan kehendak manusia dan segala makhluk (Bdk. 1 Kor 2:7-9).

[KGK 1999] Rahmat Allah berarti bahwa Allah memberi kehidupan-Nya secara cuma-cuma kepada kita. Ia mencurahkannya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, untuk menyembuhkannya dari dosa dan untuk menguduskannya

Itulah rahmat pengudusan atau rahmat pengilahian, yang telah kita terima di dalam Pembaptisan. Ia merupakan asal "karya keselamatan" di dalam kita (Bdk.Yoh 4:14; 7:38-39).

"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya" (2 Kor 5:17-18).

[KGK 2000] Rahmat pengudusan adalah satu anugerah yang tetap, satu kecondongan adikodrati yang tetap

Ia menyempurnakan jiwa, supaya memungkinkannya hidup bersama dengan Allah dan bertindak karena kasih-Nya

Orang membeda-bedakan apa yang dinamakan rahmat habitual, artinya satu kecondongan yang tetap, supaya hidup dan bertindak menurut panggilan ilahi, dari apa yang dinamakan rahmat pembantu, yakni campur tangan ilahi pada awal pertobatan atau dalam proses karya pengudusan.

[KGK 2001] Persiapan manusia untuk menerima rahmat sudah merupakan karya rahmat. Rahmat itu perlu untuk menampilkan dan menopang kerja sama kita pada pembenaran melalui iman dan pada pengudusan melalui kasih. Allah menyelesaikan apa yang sudah dimulai-Nya di dalam kita, "karena Ia mulai dengan menyebabkan, bahwa kita mau; Ia menyelesaikan dengan bekerja sama dengan kehendak kita yang telah ditobatkan" (Agustinus, grat. 17).

"Memang kita juga bekerja, namun kita hanya bekerja sama dengan Allah yang bekerja. Karena kerahiman telah mendahului kita, supaya kita, setelah disembuhkan, dihidupkan; Ia mendahului kita, supaya kita dipanggil, dan Ia mengikuti kita, supaya kita dimuliakan; Ia mendahului kita, supaya kita hidup saleh, dan Ia mengikuti kita, supaya kita hidup bersama Allah untuk selama-lamanya, karena tanpa Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa" (Agustinus, nat.et grat. 31).

[KGK 2002] Tindakan bebas Allah menuntut jawaban bebas dari manusia. Karena Allah telah menciptakan manusia menurut citra-Nya dan telah memberi kepadanya bersama dengan kebebasan kemungkinan, supaya mengenai Dia dan mengasihi Dia. Jiwa hanya dapat masuk secara sukarela ke dalam persatuan kasih. Allah langsung menjamah dan menggerakkan hati manusia. Ia telah menempatkan di dalam manusia kerinduan akan yang benar dan yang baik, yang hanya Ia yang dapat memenuhinya. Janji-janji akan "kehidupan abadi" menjawab kerinduan batin ini melampaui segala harapan.

"Kalau pada akhir karya-Mu yang sangat baik Engkau beristirahat pada hari ketujuh, maka itu sekedar mengatakan kepada kami lebih dahulu melalui suara buku-Mu, bahwa kami juga pada akhir karya kami, - yang sangat baik, sebab Engkau telah menganugerahkannya kepada kami, - dapat beristirahat dalam Engkau pada sabat kehidupan abadi" (Agustinus, conf. 13,36,51).

[KGK 2003] Rahmat pada tempat pertama adalah anugerah Roh Kudus yang membenarkan dan menguduskan kita. Tetapi di dalam rahmat termasuk juga anugerah-anugerah yang Roh berikan kepada kita, untuk membuat kita mengambil bagian dalam karya-Nya serta menyanggupkan kita untuk berkarya demi keselamatan orang lain dan pertumbuhan Tubuh Kristus, yaitu Gereja. 

Termasuk di dalamnya rahmat-rahmat sakramental, artinya anugerah-anugerah khusus dalam Sakramen yang berbeda-beda

Termasuk juga di dalamnya rahmat-rahmat khusus, yang dinamakan karisma, sesuai dengan ungkapan Yunani yang dipergunakan oleh santo Paulus, yang berarti kemurahan hati, anugerah bebas, dan perbuatan baik (Bdk. LG 12). 

Ada berbagai macam karisma, sering kali juga yang luar biasa seperti anugerah mukjizat atau anugerah bahasa. Semuanya itu diarahkan kepada rahmat pengudusan dan bertujuan pada kesejahteraan umum Gereja. Karisma itu harus mengabdi kasih, yang membangun Gereja (Bdk. 1 Kor 12).

[KGK 2004] Di antara rahmat-rahmat khusus perlu disebutkan rahmat status, yang menyertai pelaksanaan kewajiban kehidupan Kristen dan pelaksanaan pelbagai pelayanan di dalam Gereja.

"Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita" (Rm 12:6-8).

[KGK 2005] Karena rahmat itu adikodrati, maka ia berada di luar pengalaman kita dan hanya diketahui oleh iman

Jadi, kita tidak boleh percaya kepada perasaan atau pekerjaan kita, untuk menyimpulkan darinya bahwa kita telah dibenarkan dan diselamatkan (Bdk. Konsili Trente): DS 1533-1534.. Tetapi menurut perkataan Tuhan: "Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka" (Mat 7:20), maka apabila kita ingat akan perbuatan baik Allah di dalam kehidupan kita dan di dalam kehidupan para kudus, kita dapat melihat di dalamnya suatu jaminan, bahwa rahmat sedang bekerja di dalam kita. Dan itu memberi kita semangat untuk suatu iman yang menjadi semakin kuat dan suatu sikap kemiskinan yang penuh kepercayaan.

Sikap ini terutama dijelaskan secara amat baik dalam jawaban santa Jeanne d Arc atas sebuah pertanyaan hakim-hakim Gerejanya: Setelah ditanya, apakah ia tahu bahwa ia berada dalam rahmat Allah, ia menjawab: "kalau aku tidak ada di dalamnya, semoga Allah menempatkan aku di dalamnya; kalau aku ada di dalamnya, semoga Allah memelihara aku di dalamnya" (Jeanne d Am, proc.).

Kamis, 27 Desember 2018

19.14 -

Kitab Suci - KV II

c) PENERUSAN WAHYU ILAHI DAN KITAB SUCI

28. Apakah Wahyu Ilahi diteruskan sampai kepada kita juga?

Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, agar supaya apa yang Ia wahyukan demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh sepanjang segala masa dan diteruskan kepada semua turunan. Sebab itu, Kristus Tuhan, Yang merupakan penyelesaian seluruh Wahyu Allah Yang Mahatinggi (bdk. 2 Kor 1:20 & 3:16-4:6), memerintahkan para Rasul, agar mewartakan Kabar Gembira (atau Injil). 


Kabar Gembira itu telah dijanjikan sebelumnya melalui para Nabi dan digenapi oleh pewartaan Kristus sendiri di muka umum. Kepada semua orang Kabar Gembira itu diwartakan sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan maupun sebagai ajaran kesusilaan. Dan dengan demikian anugerah-anugerah ilahi dibagikan kepada mereka.

Memang, tugas ini telah dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul. Dengan pewartaan lisan, teladan hidup dan penetapan-penetapan para Rasul meneruskan apa yang mereka terima dari mulut Kristus sendiri, dari pergaulan serta karya-kary
a-Nya, begitu juga apa yang mereka pelajari dengan ilham Roh Kudus. Hal ini dilakukan juga oleh para Rasul dan murid-murid mereka, yang diilhami oleh Roh Kudus supaya mencatat warta keselamatan secara tertulis. (WI 7)

29. Bagaimana Wahyu Ilahi diteruskan kepada kita?

Pewartaan para Rasul, yang diungkapkan secara istimewa dalam Kitab-kitab yang diilhami, harus dipelihara dalam pergantian yang berkesinambungan sampai akhir jaman. Maka para Rasul meneruskan apa yang telah mereka terima itu. Mereka juga memperingatkan umat beriman, agar memegang teguh tradisi-tradisi yang telah mereka terima baik secara lisan maupun tertulis (bdk. 2 Tes 2:15), dan supaya berjuang demi iman yang pernah dikaruniakan kepada mereka (bdk. Yud 3).

Apa yang diteruskan para Rasul, mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi Umat Allah untuk menguduskan hidup dan mengembangkan iman. Dengan demikian, di dalam ajaran, hidup dan ibadatnya. Gereja melestarikan segala sesuatu yang mencakup keberadaannya serta apa yang ia imani. Demikian juga Gereja menyampaikannya kepada semua angkatan. (WI 8 a)

30. Apa itu Tradisi Apostolik Gereja?

Tradisi yang berasal dari para Rasul berkembang terus dalam Gereja dengan bantuan Roh Kudus. Pengertian, baik mengenai kenyataan-kenyataan maupun mengenai kata-kata yang diturunkan, berkembang. 

Perkembangan itu terjadi berkat perenungan dan studi orang-orang beriman yang menelaah semuanya itu di dalam hati mereka (bdk. Luk 2:19 & 51), atau karena pemahaman yang lebih mendalam yang timbul dari pengalaman rohani mereka itu. 

Lagi pula Tradisi berkembang berkat pewartaan mereka, yang berdasarkan pergantian dalam jabatan uskup pasti telah menerima karisma kebenaran. Maklum, selama peredaran jaman, Gereja terus-menerus menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai sabda-sabda ilahi menjadi kenyataan dalam Gereja itu. (WI 8 b)

31. Apa hubungan Tradisi dan Kitab Suci?

Melalui Tradisi seluruh daftar Kitab-kitab Suci diketahui Gereja, dan dalam Tradisi yang sama itu Kitab-kitab Suci dimengerti lebih mendalam serta terus-menerus diaktualisasikan. (WI 8 b)


32. Apakah Kitab Suci dan Tradisi itu satu dan sama?

Tradisi Suci dan Kitab Suci erat berhubungan satu sama lain dan saling mengambil bagian. Sebab, keduanya yang berasal dari sumber ilahi yang sama, seakan-akan bergabung menjadi satu dan mengarah ke tujuan yang sama juga.

Kitab Suci adalah penuturan Allah sejauh dituangkan ke dalam tulisan di bawah ilham Roh Ilahi. Sedangkan Tradisi Suci meneruskan sabda Allah secara utuh. Sabda ini dipercayakan oleh Kristus dan Roh Kudus kepada para Rasul dan kepada para pengganti mereka, agar dengan diterangi Roh Kebenaran dipelihara dengan setia, dijelaskan dan disebarluaskan di dalam pewartaan mereka.

Jadi, Gereja menimba kepastian mengenai segala sesuatu yang diwahyukan itu tidak hanya dari Kitab Suci saja. Oleh karena itu, kedua-duanya - baik Tradisi maupun Kitab Suci - harus diterima dan dijunjung tinggi dengan rasa patuh dan hormat yang sama. (WI 9, a dan b)
33. Bagaimana Tuhan mengilhami pengarang-pengarang Kitab Suci?


Untuk menyusun Kitab-kitab Suci Tuhan telah memilih manusia-manusia tertentu. Dengan memanfaatkan bakat dan tenaga mereka masing-masing, Tuhan mempergunakan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka sebagai pengarang sungguh-sungguh mencatat semuanya dan tidak lebih daripada itu yang dikehendaki Tuhan. Sebenarnya Tuhanlah yang bertindak di dalam dan dengan pengantaraan mereka. (WI 11 a)


34. Mengapa Kitab-kitab Suci disebut 'kanonik'?

Berdasarkan iman para Rasul, Bunda Gereja menganggap semua Kitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru beserta semua bagiannya, sebagai suci dan kanonik. Kitab-kitab itu ditulis dengan diilhami Roh Kudus (bdk Yoh 20:31; 2 Tim 3:16; Ptr 1:19-21; 3:15-16). Maka Tuhanlah pengarang mereka, dan dengan ciri yang demikian itu diwariskan kepada Gereja. (WI 11 a)

35. Apakah Kitab Suci benar-benar mengandung sabda Allah tanpa kesalahan?

Segala sesuatu, yang dikemukakan oleh para penulis yang diilhami atau para hagiograf, harus dianggap sebagai dinyatakan oleh Roh Kudus (lih. pertanyaan 34). Maka karena itu harus diakui, bahwa dengan pasti, setia dan tanpa salah. Kitab Suci mengajarkan kebenaran yang ingin dituangkan Tuhan ke dalam Kitab Suci demi keselamatan kita. (WI 11 b)

36. Siapa yang dapat menafsirkan sabda Allah secara otentik?

Tugas menafsirkan sabda Allah secara otentik, baik yang tertulis maupun yang ditradisikan, dipercayakan hanya kepada _Kuasa Mengajar_ Gereja yang hidup. Wewenang ini dijalankan atas nama Yesus Kristus.

Kendati demikian, Kuasa Mengajar (Magisterium) itu tidak lebih tinggi daripada sabda Allah, melainkan mengabdi kepadanya. Kuasa itu juga tidak boleh mengajarkan lain dari apa yang diwariskan kepadanya. Sebab, sabda Allah didengarkannya dengan patuh dipeliharanya dengan khidmat dan dijelaskan dengan setia, berdasarkan penugasan ilahi dan bantuan Roh Kudus. (WI 10 a)

37. Bagaimana Kitab Suci seharusnya ditafsirkan?

Dalam Kitab Suci Tuhan berbicara melalui manusia dan secara manusiawi. Maka para penafsir Kitab Suci perlu menangkap apa yang hendak disampaikan Tuhan kepada kita. Untuk itu mereka harus menyelidiki dengan teliti, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan oleh para penulis suci, dan apa yang sudah diungkapkan Tuhan dengan perantaraan kata-kata mereka itu.

Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan antara lain jenis-jenis sastra. Sebab, kebenaran disajikan dan diungkapkan secara berbeda dalam jenis-jenis penuturan historis, profetis, puitis, atau lain lagi.

Selanjutnya, penafsir harus meneliti arti, yang ingin dan benar-benar diungkapkan penulis suci dalam situasi tertentu sesuai keadaan jaman dan kebudayaannya, dengan menggunakan jenis sastra yang lazim dipakai pada waktu itu. 

Untuk memahami dengan tepat apa yang hendak diungkapkan pengarang suci dan tulisannya, maka harus diperhatikan dengan baik cara berpikir, cara berbicara, dan bercerita yang biasa berlaku pada masa penulis suci itu; demikian pula cara dan bentuk pergaulan yang lazim antara manusia pada jaman itu.


Kitab Suci ditulis dalam Roh. Maka dalam Roh yang sama itu juga Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan. Oleh karena itu untuk menggali arti naskah-naskah suci secara tepat, penting memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab SuciSelain itu, tradisi yang hidup dalam seluruh Gereja dan _analogi iman_ perlu diperhatikan pula. 

Adalah tugas para _ekseget_ untuk berpegang pada kaidah-kaidah tersebut, supaya memperoleh pengertian dan dapat menerangkan secara lebih mendalam arti Kitab Suci. Maksudnya, supaya seolah-olah sesudah dipersiapkan melalui studi, paham Gereja menjadi lebih matang, Semua hal sekitar penafsiran Kitab Suci itu akhirnya harus tunduk kepada penilaian Gereja, yang menjalankan perintah dan tugas ilahi untuk memelihara dan menafsirkan sabda Allah. (WI 12, a-e)

38. Bagian Kitab Suci mana yang paling istimewa?

Semua orang mengetahui, bahwa di antara semua Kitab yang termasuk Kitab Suci bahkan Perjanjian Baru, Kitab-kitab Injil selayaknya mendapat kedudukan istimewa. Sebab empat Kitab Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda-Yang-Menjadi-Manusia, yakni Sang Penyelamat kita. (WI 18)

39. Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap Kitab Suci?

Sama seperti Tubuh Tuhan sendiri, demikian pula Kitab-kitab Ilahi selalu Gereja hormati. Sebab, terutama di dalam Liturgi Kudus, Gereja tak putus-putusnya menerima dan menyajikan roti kehidupan kepada umat beriman, baik dalam sabda Allah maupun dari meja Tubuh Kristus. (WI 21)

40. Apakah perlu Kitab Suci sering dibaca?



Semoga dengan membaca dan mempelajari Kitab Suci "Sabda Allah menjalar dan dipermuliakan" (2 Tes 3:1), dan harta wahyu yang dipercayakan kepada Gereja itu semakin memenuhi hati manusia. Memang, kehidupan Gereja berkembang dengan sering merayakan misteri Ekaristi. Demikian juga dorongan baru dapat diharapkan bagi kehidupan rohani dari bertambahnya penghormatan terhadap sabda Tuhan, yang "tetap untuk selama-lamanya" (Yes 40:8; bdk. 1 Ptr 1:23-25). (WI 26)


41. Apakah Wahyu Kristiani merupakan wahyu terakhir yang tidak dapat disempurnakan lagi?

Tata penyelamatan Kristen, yakni Perjanjian Baru yang definitif, tidak pernah akan lenyap. Maka sia-sialah mengharapkan suatu wahyu resmi yang baru sebelum kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus dalam kemuliaan-Nya (bdk. 1 Tim 6:14; Tit 2:13). (WI 4 b)

42. Mengapa Gereja mewartakan Wahyu Ilahi kepada segala bangsa?

Gereja mewartakan kabar keselamatan kepada mereka yang belum percaya (akan Kristus), supaya semua manusia hanya mengenal Allah yang benar dan Yesus Kristus, yang diutus-Nya, dan supaya mereka bertobat dan berbalik dari jalan mereka (bdk. Yoh 17:3; Luk 24:27).

Gereja harus mewartakan iman dan tobat pula kepada mereka yang sudah beriman, lalu menyiapkan mereka untuk Sakramen-sakramen, Gereja wajib menegur mereka supaya menjalankan apa yang diperintahkan Kristus, mendorong mereka akan semua karya cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Sebab, dalam karya-karya ini semestinya menjadi jelas, bahwa walaupun bukan dari dunia ini orang Kristen toh merupakan terang dunia dan memuliakan Bapa di depan manusia. (L 9)
43. Apakah terdapat hubungan antara Kabar Keselamatan dan kebudayaan manusia dari waktu dan daerah yang berbeda-beda?

Antara Kabar Keselamatan dan kebudayaan manusia terdapat serba ragam hubungan. Sebab, Allah telah berbicara kepada umat-Nya menurut kebudayaan yang khas pada jaman yang berbeda-beda, sampai Ia mengungkapkan Diri sepenuhnya dalam Putera-Nya Yang menjadi manusia.

Demikian pula dalam peredaran sejarah, Gereja hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, menggunakan hasil-hasil berbagai lingkungan kebudayaan untuk mewartakan dan menerangkan amanat Kristus pada semua bangsa, untuk meneliti serta memahaminya lebih mendalam, dan untuk mengungkapkannya dengan lebih baik dalam ibadat maupun dalam kehidupan umat beriman yang beraneka ragam itu.

Gereja diutus ke semua bangsa dari zaman dan wilayah manapun Oleh karena itu Gereja tidak terikat secara eksklusif dan untuk selamanya pada bangsa, negara, adat-istiadat atau kebiasaan lama atau baru yang manapun juga. Gereja setia pada tradisinya sendiri, tetapi sekaligus sadar akan pengutusannya yang universal. Maka Gereja dapat menjalin hubungan dengan pelbagai bentuk kebudayaan yang memperkaya dua-duanya, baik Gereja maupun kebudayaan-kebudayaan. (GD 58, a dan b)

18.20 -

Iman - KV II


2. JAWABAN MANUSIA

a) IMAN KEPERCAYAAN

44. Sikap apakah yang tepat terhadap sabda Allah?

Tuhan yang menyampaikan wahyu harus disambut dalam "ketaatan iman" (Rm 16:26; bdk. Rm 1:5; 2 Kor 10:5-6). Dengan beriman manusia menyerahkan seluruh dirinya kepada Tuhan secara bebas; ia tunduk 'dengan akal budi dan kehendak sepenuhnya kepada Tuhan yang menyampaikan wahyu itu' (Konsili Vatikan I) dan mengakui dengan rela wahyu yang diberikan oleh-Nya. (WI 5)

45. Bagaimana iman itu mungkin?

Supaya dapat beriman, terlebih dahulu diperlukan bantuan Rahmat ilahi dan juga pertolongan batin Roh Kudus. Dia Yang menggerakkan dan mengarahkan hati kepada Tuhan, membuka mata budi serta membuat mudah bagi semua orang untuk menyetujui kebenaran. (WI 5)


46. Apakah iman itu harus bersifat sukarela dan bebas?

Salah satu pokok utama ajaran Katolik mengatakan, bahwa jawaban iman yang diberikan orang kepada Tuhan harus bersifat sukarela. Jadi, tak seorang pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk beriman. Ajaran ini termuat dalam sabda ilahi dan terus-menerus diwartakan oleh para _Bapa Gereja._

Menurut hakekatnya iman adalah tindakan yang bebas. Sebab manusia tidak dapat menganuti Allah Yang mewahyukan Diri-Nya, kecuali jika Bapa menariknya supaya tunduk kepada Tuhan dalam imannya yang bersifat wajar dan bebas. Manusia itu ditebus oleh Kristus, Juruselamatnya, dan dipanggil supaya diangkat menjadi putera-puteri Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.

Jadi, sangat sesuai dengan hakekat iman, bahwa di dalam hal-hal keagamaan, jenis paksaan apa pun dari pihak manusia harus ditolak. (KB 10, a-c)
47. Apakah orang perlu percaya akan Yesus Kristus supaya diselamatkan?

Kepada Yesus Kristus diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Dari Dialah para Uskup sebagai pengganti para Rasul menerima tugas pengutusan mengajar segala bangsa dan mewartakan Injil kepada semua makhluk. Maksudnya, supaya semua manusia memperoleh keselamatan dengan iman. Pembaptisan dan pelaksanaan perintah-perintah ilahi (bdk. Mat 28:18-20; Mrk 16:15-16; Kis 26:17 dst.). (G 24 a)

Satu-satunya Perantara dan Jalan Keselamatan ialah Kristus. Yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya, yaitu GerejaDengan menandaskan jelas-jelas perlunya iman dan Pembaptisan (bdk. Mrk 16:16: Yoh 3:5). Ia sendiri serentak juga menegaskan perlunya Gereja. Ke dalam Gereja ini orang masuk melalui Pembaptisan seperti melewati pintu. 

Jadi, kalau ada seseorang yang walaupun tahu betul-betul bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh dibutuhkan demi keselamatan, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya, maka orang itu tidak dapat diselamatkan. (G 14)

Kristus ialah Kebenaran dan Jalan yang dibuka untuk semua orang dengan pewartaan Injil, karena kepada telinga semua orang dikumandangkan sabda Kristus sendiri: "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mrk 1:15).

Mengingat bahwa orang yang tidak percaya sudah diadili (Yoh 3:18), maka sabda-sabda Kristus serentak menjadi sabda pengadilan dan kasih karunia, sanda kematian dan kehidupan...

Maka bukan tanpa alasan Kristus dipuja oleh umat beriman sebagai "Harapan dan Juruselamat bangsa-bangsa". (KM 8)

49. Apakah ada hubungan antara iman Kristen dan hidup di dunia ini?

Kita tidak menetap selamanya di dunia ini melainkan mencari tempat menetap yang akan datang (Ibr 13:14). Kalau orang yang menyadari hal itu berpendapat, bahwa mereka boleh mengabaikan tugas-tugas dunia ini, maka mereka itu tidak berpandangan benar. Sebab, mereka kurang memperhatikan, bahwa justru oleh iman itu mereka lebih diwajibkan untuk menunaikan tugas-tugas duniawi, sesuai dengan panggilan masing-masing orang.

Akan tetapi tidak kurang keliru pula mereka yang berpandangan sebaliknya. Mereka menceburkan dirinya ke dalam urusan duniawi sedemikian rupa, seolah-olah urusan itu sama sekali terpisah dari kehidupan keagamaan. Sebab, mereka mengira bahwa hidup keagamaan hanya terdiri dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan ibadat dan beberapa tugas moral


Kesenjangan antara iman yang diakui dan kehidupan sehari-hari yang terdapat pada banyak orang, harus dipandang sebagai salah satu kesesatan besar jaman kita ini. Skandal ini dalam Perjanjian Lama telah dikecam keras oleh para nabi dan jauh lebih tegas lagi dikecam dalam Perjanjian Baru oleh Kristus sendiri. Yang mengancamnya dengan hukuman berat. (GD 43 a)
50. Apakah iman Kristen harus diakui di muka umum?

Karena dipersatukan dengan Gereja oleh Sakramen Pembaptisan, para beriman ditugaskan oleh meterai rohani yang mereka terima, supaya beribadat menurut agama Kristen


Dan karena sudah dilahirkan kembali sebagai putera-puteri Allah, maka mereka wajib mengakui iman, yang diterimanya dari Tuhan dengan perantaraan Gereja itu di hadapan umum. 

Oleh Sakramen Penguatan mereka diikat lebih sempurna lagi dengan Gereja, dan dianugerahi daya-kekuatan Roh Kudus yang khusus. Dengan demikian, mereka lebih diwajibkan lagi untuk menyebarkan dan membela iman sebagai saksi-saksi Kristus sejati, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. (G 11 a)

Di depan semua bangsa hendaknya semua orang Kristen mengakui iman mereka akan Allah Yang Mahaesa dan Tritunggal, akan Allah-Putera yang menjadi manusia, Sang Penebus dan Tuhan kita. Dengan usaha bersama dalam semangat saling menghargai hendaknya mereka memberikan kesaksian tentang harapan kita, yang tidak pernah mengecewakan. (GE 12)
51. Apakah tolok ukur bagi iman Kristen?

Gereja senantiasa sudah dan tetap akan memandang Kitab Suci bersama Tradisi Suci sebagai tolok ukur tertinggi bagi imannya

Sebab, Kitab Suci diilhamkan oleh Tuhan dan dituangkan ke dalam tulisan sekali untuk selama-lamanya. Kitab Suci itu menyampaikan sabda ilahi secara tak terubah dan mengumandangkan suara Roh Kudus di dalam kata-kata para Nabi dan para Rasul

Jadi, seluruh pewartaan Gereja, seperti halnya agama Kristen itu sendiri, harus mendapat santapan dan bimbingan dari Kitab Suci. (WI 21)

52. Apakah itu hidup menurut iman?

Adalah merupakan tugas Gereja menghadirkan dan seolah-olah menampakkan Allah Bapa dan Putera-Nya Yang menjadi manusia, dengan jalan memperbaharui dan memurnikan dirinya terus-menerus di bawah bimbingan Roh Kudus. 

Hal ini dilakukan terutama dengan kesaksian iman yang hidup dan matang, yakni iman yang telah berkembang sedemikian, sehingga dapat melihat dengan jelas kesulitan-kesulitan, lalu mengatasinya.

Kesaksian yang gemilang tentang iman ini telah dan masih tetap diberikan oleh amat banyak saksi iman. Iman ini harus memperlihatkan kesuburannya dengan meresapi seluruh hidup para beriman, termasuk hidup sehari-hari. Iman ini menggerakkan mereka supaya bertindak adil dan penuh kasih terutama terhadap kaum miskin.

Akhirnya, untuk memanifestasikan kehadiran Tuhan sangat besar sumbangan cinta kasih persaudaraan umat beriman; dalam semangat rukun mereka bekerja sama demi iman akan Injil, dan tampil sebagai tanda persatuan. (GD 21 e)