Senin, 23 Maret 2020

Lahir untuk bahagia dalam Tuhan



Bhutan merupakan negara di Asia Tengah yang walaupun pendapatan perkapita dan kemampuan ekonominya rata-rata namun mempunyai indeks kebahagiaan tertinggi di Asia dan kedelapan terbesar dunia. Masyarakat Bhutan menikmati kesedehanaan hidup mereka walaupun tidak memiliki hal-hal yang dipandang universal sebagai sumber kebahagiaan seperti mobil mewah, uang ataupun rumah. Kebahagiaan mereka berasal dari komunitas yang sehat, kesenjangan sosial yang rendah, alam yang asri dan keseimbangan kehidupan rohani. 

Terinsiprasi dari negara Bhutan, maka James Illien, staf ahli di PBB membujuk Majelis Umum PBB untuk menetapkan “International Day of Happiness”. Akhirnya PBB menetapkannya pada tanggal 20 Maret. Hari kebahagiaan internasional ini merupakan hari besar di kalender PBB guna meningkatkan kesadaran warga dunia untuk mengingat dan merayakan arti dari kebahagiaan. 

Sukacita adalah tanda yang paling tidak bisa salah dari keberadaan Tuhan (Pierre Teilhard de Chardin).

Apakah yang menjadi kebahagiaan kita? Mungkin secara spontan kita akan mengatakan: “saya bahagia kalau punya banyak uang, bisa makan yang enak, punya pasangan yang keren, punya kedudukan dan pendidikan yang tinggi, kesehatan yang prima, dan penampilan yang “ok”. Benarkah kebahagiaan kita dapat dicapai dengan hal-hal tersebut di atas? Tidak! Ini adalah kebahagiaan yang semu, ini hanyalah “kesenangan” karena semua keinginan hati kita terpenuhi. 

Kesenangan itu pada dasarnya adalah “janji” yang diberikan oleh sesuatu, barang atau pengalaman tertentu, yakni situasi emosional spontan yang dirasakan orang ketika mendapatkan sesuatu itu. Di situ ada perasaan nikmat dan kepuasan tertentu, tetapi kesenangan itu melekat pada benda atau hal yang memberi kesenangan itu. Jika benda atau hal itu tidak ada lagi, maka kesenangannya juga hilang. Itu seperti permen karet yang manis sebentar, lalu hilang. Karena itulah mengapa setelah kehilangan kesenangan yang satu, orang harus mengejar kesenangan yang lain. Inilah mengapa kemudian muncul hedonisme, hidup untuk mengejar kesenangan. 

Di tengah iklim hedonisme dan konsumerisme, kita harus menumbuhkan kesederhaanaan hidup tertentu dan menolak tuntutan yang menggelisahkan dari masyarakat konsumeris yang membuat kita merasa miskin dan tidak merasa puas. 

Ingatlah! Kesenangan ini sifatnya hanya sementara dan terbatas. Ini adalah perasaan puas yang palsu, akhirnya kita menjadi budak, kita tidak akan pernah puas, kita terdorong untuk mencari lebih dan lebih banyak lagi, misalnya makan » kenyang, beberapa saat kemudian lapar lagi. 

Tidak semua kesenangan adalah sesuatu yang baik, makanan yang lezat adalah hidangan yang menipu, menyebabkan sakit-penyakit (Ams 23:3). Mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (1 Tim 6:9-10). Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya (Pkh 5:9). 

Hidup sederhana, bukan berarti tidak memiliki harta/uang dan atribut-atribut dunia tetapi kita tidak melekat dengan ... (Mat 5:3 » Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga). 

Kesederhanaan dapat diwujudkan bila seseorang memiliki kerinduan menyenangkan Tuhan dalam segala-galanya (Kol 3:17, 23 » Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia). Pola hidup sederhana sebagai orang beriman, akan memampukan menggapai kedamaian batin. 

Tuhan memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku (Mzm 116:6). 

Sementara sukacita itu berbeda! Sukacita pertama-tama bukanlah janji, melainkan buah Roh (Gal 5:22-23). Buah tidak datang dari permulaan, melainkan di akhir. Sukacita adalah akhir dari sebuah perjalanan, buah dari pedagogi hidup batin yang lama, serius dan mendalam. Ia adalah jumlah atau hasil dari semua sikap dan keutamaan-keutamaan kristen yang kita pilih dan kita hayati. 

Sukacita atau kegembiraan bukan berarti hidup dari tertawa ke tertawa. Bukan itu! Sukacita bukanlah pertama-tama hiburan. Sukacita Kristen adalah kedamaian, yakni kedamaian yang berakar dari dalam hati, hanya bisa diberikan oleh Tuhan. Orang beriman percaya bahwa sukacita sejati hanya bisa datang dari atas, yakni Tuhan (Yoh 14:27 » Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu). 

Jalan kegembiraan harus dipelajari, salah satunya dibangun dengan rasa humor. Kemampuan untuk berhumor akan membantu kita bergerak ke masa depan, terlepas dari ketakutan dan kekecewaan. Mampu tertawa dan menertawakan sesuatu, orang lain dan diri sendiri - secara mendalam adalah manusiawi. Ini adalah sikap “dekat dengan rahmat”. Rasa humor di sini tercermin dalam kemampuan dengan baik dan melihat sesuatu secara relatif, tidak kaku dan memutlakkan segala sesuatu. Lalu juga sambil bersikap realistis seseorang mampu menerangi orang lain “dengan semangat positif dan penuh harapan”. Ini adalah kemampuan untuk “berironi terhadap diri sendiri” untuk mengatasi godaan narsisme. 

[Baca jugaHidup penuh keceriaan

Kegembiraan bukanlah kesenangan sesaat: itu adalah hal lain! Sukacita sejati tidak datang dari berbagai hal, dari memiliki. Tidak! Ini lahir dari perjumpaan, hubungan dengan orang lain, lahir dari perasaan diterima, dipahami dan dicintai, dan ini bukan untuk sesaat, tetapi karena yang lain sebagai pribadi. Kebahagiaan bukan berapa banyak jumlah yang yang engkau miliki tetapi berapa banyak orang yang ada di sekelilingmu yang mengasihi dan menciptakan kenangan yang indah bagimu. Jadi, bahagia bukanlah ditentukan oleh segala sesuatu yang kita peroleh tetapi adalah oleh rasa syukur kita atas apa yang sudah kita peroleh. 

Orang Kristen adalah manusia sukacita. Karena mereka dipanggil untuk mengalami hidup sukacita melalui Injil, warta gembira (KGK 2763; Yes 12:6 » Berserulah dan bersorak-sorailah, sebab Allah di tengah-tengahmu!; Luk 10:21 » Bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus; Luk 1:47 » Hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku. Hanya orang yang bersukacita dan gembira yang bisa menjadi pewarta kabar gembira. 

Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya: "Pastilah kita semua hendak hidup bahagia, dan dalam umat Tuhan tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rumus ini, malahan sebelum ia selesai diucapkan" (Agustinus, Mor.eccl. 1, 3, 4). 

"Dengan cara mana aku mencari Engkau, ya Tuhan? Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku mencari kehidupan bahagia. aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup. Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau" (Agustinus, conf. 10, 290) (KGK 1718). 

Sabda bahagia menuntut dari kita keputusan-keputusan penting yang ada hubungannya dengan kekayaan duniawi. Mereka membersihkan hati kita dan mengajarkan kita mencintai Allah di atas segala sesuatu (KGK 1728). 

Hukum baru, hukum Injil adalah bentuk duniawi yang sempurna dari hukum ilahi yang kodrati dan yang diwahyukan. Itulah karya Kristus dan dinyatakan terutama dalam kotbah di bukit. Ia adalah juga karya Roh Kudus dan melalui Dia menjadi hukum batin dari kasih: "Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel.... Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku" (Ibr 8:8-10) (Yer 31:31-34) (KGK 1965). 

Hukum baru adalah rahmat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada umat beriman melalui iman akan Kristus. Ia bekerja melalui kasih; dengan bantuan kotbah Tuhan di bukit, ia mengajarkan kita apa yang harus kita lakukan dan memberi kepada kita rahmat melalui Sakramen-sakramen, supaya kita benar-benar melakukannya juga. 

"Siapa yang hendak merenungkan dengan khidmat dan dengan cerdas tentang kotbah yang Tuhan kita sampaikan di atas bukit seperti yang kita baca dalam Injil Matius, tentu akan menemukan di dalamnya hukum dasar kehidupan Kristen secara sempurna. Kotbah ini mencakup semua perintah yang ditentukan untuk mengarahkan kehidupan Kristen" (Agustinus, serm.Dom. 1,1) (KGK 1966). 

Hukum Injil memenuhi, melebihi, dan menyempurnakan hukum lama. Janji-janjinya dipenuhi oleh sabda bahagia Kerajaan sorga, dan perintah-perintahnya melalui pembaharuan hati, asal segala tindakan (KGK 1984). Jadi, Kotbah di bukit adalah pedoman hidup kepada kita (KGK 2764; Mat 5-7). 

Sabda Bahagia mencerminkan wajah Yesus Kristus dan cinta kasih-Nya. Mereka menunjukkan panggilan umat beriman, diikutsertakan di dalam sengsara dan kebangkitan-Nya; mereka menampilkan perbuatan dan sikap yang mewarnai kehidupan Kristen; mereka merupakan janji-janji yang tidak disangka-sangka, yang meneguhkan harapan di dalam kesulitan; mereka menyatakan berkat dan ganjaran, yang murid-murid sudah miliki secara rahasia (KGK 1717). 

Sabda bahagia menunjukkan kepada kita tujuan akhir, yang untuknya Allah telah memanggil kita: Kerajaan Sorga, memandang Allah, mengambil bagian dalam kodrat ilahi, kehidupan abadi, pengangkatan sebagai anak Allah, dan perhentian di dalam Allah (KGK 1726). 

Hukum baru adalah hukum kasih, rahmat dan kebebasan (KGK 1985). 

Kata “Gereja” memiliki arti “mereka yang dipanggil keluar” untuk membangun persekutuan dan selanjutnya untuk mewartakan. Maka sukacita orang Kristen tidak mungkin terjadi tanpa keluar dari diri sendiri, dari kepentingan dan urusan sendiri, keluar untuk membangun persekutuan hidup dan menjadi pewarta kabar baik. 

Gereja adalah kumpulan orang percaya yang dipanggil keluar dari dunia dan dikuduskan bagi Tuhan. Itulah sebabnya orang percaya disebut sebagai orang-orang kudus, yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang baik, yang kudus (Rm 1:7; Tit 2:14). 

Sukacita harus juga dihayati dalam kerja dan istirahat. Saat diutus Bapa di bumi Yesus sangat sibuk melakukan pekerjaan untuk Kerajaan Allah. Tuhan memberikan teladan dengan bekerja (Kej 1; Yoh 5:17 » Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga) dan juga beristirahat (Kej 2:2). 

Menurut tradisi Kristen, pekerjaan adalah sebuah misi (Kej 2:15 » untuk mengusahakan dan memelihara). Jadi, pekerjaan bukan tentang sekedar melakukan sesuatu untuk uang, tetapi tentang bekerja sama dengan karya penebusan Kristus dalam merawat orang lain dan bumi. Contoh: seorang suami atau ayah bekerja untuk kelangsungan hidup istri dan anak-anaknya. Petani bekerja menanam padi untuk kelangsungan hidup dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, orang akan bahagia dalam bekerja, karena tahu apa yang dilakukannya itu penuh makna. Jadi, hidup ini akan memiliki maknanya, jika kita bisa melayani dan berkorban bagi orang lain. 

Jadi, bekerja bukan hanya bekerja, tetapi pada saat kita bekerja sebenarnya kita sedang melayani Kristus sebagai Tuan (Kol 3:23-24 » Apa pun juga yang kamu perbuat (1 Kor 10:31 » makan, minum, atau melakukan sesuatu yang lain), perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya). 

Tuhan ingin agar manusia tidak senantiasa terikat pada pekerjaan tetapi juga harus beristirahat. Beristirahat berarti kita masuk dalam perhentian dan mengalami persekutuan dengan Tuhan, melalui doa dan persekutuan dengan sesama, melalui persaudaraan. 

Keberhasilan dalam bekerja maupun pelayanan harus bermuara pada keheningan (Mrk 6:30 -31 » beristirahat). Kesunyian inilah yang membawa kita bertemu dengan Allah, sumber segala kasih karunia (1 Ptr 5:10). Melalui persatuan dengan Bapa, kita mempunyai yang energi besar untuk melayani dengan sukacita (2 Kor 13:11). 

Jalan menuju sukacita tak jarang dipersulit oleh cobaan dan kegagalan hidup yang mengarah pada keputusasaan. Doa adalah kehidupan hati yang baru (akan mengubah sesuatu atau mengubah hati kita). Kita harus sering mengenang Allah, daripada bernafas. Puncak doa Kristen, karena kedalamannya dan lamanya (KGK 2697). 

Doa adalah anugerah rahmat dan satu jawaban dari pihak kita. Doa berarti berjuang melawan kita sendiri dan melawan tipu muslihat penggoda yang melakukan segala-galanya untuk mencegah manusia dari doa, dari persatuan dengan Allah. Jadi, “perjuangan rohani” orang Kristen tidak bisa dipisahkan dari perjuangan doa (KGK 2725). 

Doa adalah kemenangan atas kesepian dan keputusasaan (KGK 2744 » yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang berat menjadi ringan). Oleh karena itu pakailah perlengkapan rohani, seluruh perlengkapan senjata Allah supaya kita dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis dan dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu (Ef 6:10-20). 

Di tengah kemajuan dunia yang luar biasa sekarang ini, kita menjumpai dunia yang semakin miskin sukacita dan belas kasih. Hal ini juga terjadi pada sebagian orang Kristen. Mengapa? Karena mereka tidak mengenali karunia-karunia Allah sehingga mereka tidak mampu berterima kasih atas karunia-karunia tersebut. 

Sukacita memampukan kita untuk bisa melihat hadiah dari Tuhan yang kita terima setiap hari, keajaiban dan keindahan hidup dalam hal-hal besar dan kecil yang mengisi hari-hari kita. Dalam hal ini sukacita membuat orang menjadi tangguh dan mampu bersyukur (Flp 4:11 » Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan). Contoh: Santo Fransiskus dari Asisi, dapat tergerak untuk berterima kasih di depan sepotong roti keras, atau memuji Allah dengan gembira hanya atas angin yang membelai wajahnya. 

Hidup dengan sukacita adalah “kemampuan untuk merasakan yang esensial” dengan ketenangan dan untuk berbagi apa yang dimiliki, memperbarui “setiap hari keajaiban untuk kebaikan segala sesuatu, tanpa membebani diri kita sendiri dalam konsumerisme yang buram dan rakus. Hati yang tahu melihat apa yang baik, tahu bagaimana harus berterima kasih dan memuji, adalah hati yang tahu bagaimana bersukacita. 

Jika doa kita otentik, kehidupan kita akan diubah dalam terang belaskasih. Belaskasih bukan hanya tindakan Bapa, belaskasih menjadi kriteria untuk memastikan siapa anak-anak-Nya yang sejati. Jalan sukacita adalah jalan belaslasih. Jadi, siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukan dengan sukacita (Rm 12:8). 

Oleh karena itu, hendaklah hidup kita berpadanan dengan Injil Kristus (Flp 1:27), yaitu: murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." "Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; (1) ampunilah dan kamu akan diampuni. (2) Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Luk 6:36-38). 

Jadi, kemurahan hati memiliki dua segi: 

1. Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali (Mat 18:21-22). 

Akar dari bersukacita adalah memahami bahwa kita diampuni Tuhan (Zef 3:14-15 » Bersorak-sorailah, bertempik-soraklah! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati! Tuhan telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu. Tuhan, ada di antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi). 

Sukacita atau kebahagiaan itu berkaitan dengan pengampunan, dengan tindakan memaafkan dan meminta maaf. Sebab dalam hati yang penuh amarah dan dendam tidak ada tempat untuk kebahagiaan. Orang yang tidak memaafkan pada dasarnya menyakiti dirinya terlebih dahulu. 

Benci itu menimbulkan kesedihan. Dan kesedihan pada dasarnya bersifat destruktif, bisa membuat orang bertindak jahat dan merusak. Orang-orang seperti itu benar-benar merupakan musuh perdamaian, mereka tidak pernah bahagia (Mat 5:9 » Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah). Dunia gosip, yang dihuni oleh orang-orang yang berperilaku buruk dan merusak, tidak membawa perdamaian. 

Banyak situasi peperangan yang tak berkesudahan di dunia kita. Apa yang sering menjadi penyebabnya? Kesalahpahaman. Oleh karena itu kita harus belajar menghormati mereka dan terlibat dalam dialog dengan mereka yang berpikir berbeda, menghargai mereka terlebih dahulu sebagai pribadi manusia daripada membuat penilaian mendasar terhadap mereka karena cara mereka berpikir. Menciptakan damai sungguh tidak mudah, menuntut keterbukaan pikiran dan hati yang besar. 

Langkah pertama sukacita yaitu kedamaian yang datang dari mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Rat 3:24 "Tuhan adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya). 

Orang yang telah percaya pada Allah akan memahami kebenaran, dan yang setia dalam kasih akan tinggal pada-Nya. Sebab kasih setia dan belas kasihan menjadi bagian orang-orang pilihan-Nya (Keb 3:9). Kalau seseorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan keberanian; dari pada semuanya itu tidak ada sesuatupun dalam kehidupan yang lebih berguna bagi manusia (Keb 8:7). 

Ini adalah “kegembiraan adikodrati” yang tidak dapat dihancurkan atau diubah (Yoh 16:20-22 » Dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. Sekarang kamu diliputi dukacita ... hatimu akan bergembira dan tidak seorang pun yang dapat merampas kegembiraan itu dari padamu). Kegembiraan ini sifatnya selalu tetap, sebagai secercah cahaya yang datang dari kepastian bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! (Rat 3:22-23). 

2. Memberi menurut kerelaan hati (2 Kor 9:7; Kis 20:35 » Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima). Ini adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan, yang nampak seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. 

Kita harus mengatakan kebenaran ini: hidup Kristen bukan hanya satu pesta besar. Sama sekali tidak! Kita sering menangis: saat kita sakit, ketika kita memiliki masalah dengan keluarga atau komunitas, ketika tidak dapat membayar angsuran dan gaji tidak sampai akhir bulan. Begitu banyak masalah yang kita hadapi. Tetapi Yesus memberi tahu kepada kita: “Jangan takut!” 

Dalam hidup ada saat salib, ada saat-saat gelap yang membuat kita seolah-olah ditinggalkan oleh Tuhan. Ingatlah! Saat itu waktunya kita belajar dalam keheningan untuk menyerahkan diri ke dalam tangan Tuhan. 

Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai (Mother Teresa). 


Tuhan menginginkan kebahagiaan anak-anak-Nya di muka bumi ini. Namun, mengapa masih ada banyak orang yang bersedih? Karena mereka belum mengenal Allah yang benar. Mereka tidak menyadari bahwa dijerat dan diikat pada kehendak Iblis (2 Tim 2:26). 

Akibatnya, tanpa berpikir ditarik dan menghambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. Roh perzinahan ada di antara mereka (1 Kor 12:2; Gal 4:8; Hos 5:4). Pikirannya sia-sia (Ef 4:17 » terlalu memikirkan dirinya sendiri, tidak ada lagi ruang bagi orang lain, mereka menjadi tahanan dari pikiran negatif dan “komplikasi tanpa akhir” sehingga tidak akan menikmati “kegembiraan manis” cinta) dan hidup dalam rupa-rupa hawa nafsu, keinginan, kemabukan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala yang terlarang (1 Ptr 4:3; Kol 3:5; 1 Yoh 2:16). Oleh karena itu Tuhan “ingin kita menjadi positif”, sederhana dalam menikmati hal-hal kecil setiap hari. 

(Sumber:Warta KPI TL No. 178/II/2020 » Seminar Lahir untuk bahagia dalam Tuhan, Rm Ignasius Budiono, O.Carm).