Kamis, 21 November 2019

19.30 -

Pentingnya karunia iman




Iman Kristiani bukanlah suatu lompatan buta ke dalam kegelapan tanpa mengikutsertakan akal budi. Sebaliknya, sampai pada tahap tertentu, iman Kristen bisa dan bahkan harus dijelaskan dengan menggunakan akal budi

Sehubungan dengan kaitan antara iman dan akal, Agustinus pernah mengatakan “Percayalah agar Anda memahami dan pahamilah agar Anda percaya”; Anselmus dari Canterbury merumuskannya dengan “iman mencari pemahaman”; Paus Benediktus XVI pernah mengatakan “Iman tampaknya membutuhkan pemahaman.” 

Iman tidak pernah mengecewakanAllah selalu menjawab iman yang mempertanyakan bahkan ketika Ia tidak menjawab seperti yang diharapkan secara manusiawi oleh orang beriman (Adtienne von Speyr). 



Elia adalah orang yang hidup dalam hubungan yang sangat mesra dengan Allah yang hidup. Seluruh hidupnya ditandai dengan kesadaran akan kehadiran Allah yang menjiwai segala kegiatan-kegiatannya (1 Raj 17:1 » Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani). Kesadaran akan kehadiran Allah ini mengilhaminya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki Tuhan darinya, dan segala kegiatannya dimotivasi oleh kehendak Allah. 

Secara khusus, Elia adalah insan Allah, yang melewati hampir seluruh hidupnya dalam keheningan dan kesunyian di hadirat Tuhan, Allah saja yang menjadi satu-satunya alasan hidupnya. 

Dalam keheningan dan kesunyian itulah Allah membentuk Elia dan mengajarkan kepadanya misteri hidup-Nya sendiri dan pengenalan yang mendalam akan kasih-Nya

Dari persatuannya yang mesra dengan Allah, mengalirlah semangatnya yang besar bagi Tuhan dan kegiatan-kegiatannya, yaitu penyelamatkan manusia. Karena begitu bersatu dengan Tuhan, ia selalu mencari kehendak Allah. Atas perintah Allah, ia meninggalkan keheningannya yang penuh damai, untuk membawa umat Israel yang telah disesatkan dengan menyembah Baal kembali kepada Allah

Dari pihak-Nya, Allah menyatakan cinta-Nya yang paling mesra dan hidup-Nya kepadanya, tidak dalam hiruk pikuk, bukan dalam badai, ataupun dalam gempa atau api, melainkan dalam keheningan angin sepoi-sepoi. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raj 19:11-13). 

Dalam keheningan itu Elia terus bertumbuh dalam iman, harapan dan cinta, serta dalam pengenalan akan Allah yang mengatasi segala pengertian. Dalam hal ini, ia menjadi model bagi para kontemplatif yang melihat segalanya dalam terang Allah sebab dalam iman Elia telah melihat segalanya dalam Allah. 

Dalam iman pula, ia melihat bahwa tiada sesuatu pun terjadi tanpa sepengetahuan Allah atau tanpa perkenanan Allah. Allah adalah penguasa atas segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari. Dalam iman ia juga sungguh yakin, bahwa tiada mustahil bagi mereka yang percaya. 

[Yak 5:17-18] Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa (1 Raj 17:1 » Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini, kecuali kalau kukatakan), supaya hujan jangan turun, dan hujan pun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumi pun mengeluarkan buahnya. 

[1 Raj 17:2-24] Datanglah firman Tuhan kepadanya: "Pergilah dari sini, berjalanlah ke ... " Lalu ia pergi dan ia melakukan seperti firman Tuhan ... Pada waktu pagi dan petang burung-burung gagak membawa roti dan daging kepadanya, dan ia minum dari sungai itu. Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu. 

Maka datanglah firman Tuhan kepada Elia: "Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan." Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: "Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum." 

Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti." Perempuan itu menjawab: "Demi Tuhan, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati." 

Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel: ... sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi." 

Lalu pergilah perempuan itu dan berbuat seperti yang dikatakan Elia; maka perempuan itu dan dia serta anak perempuan itu mendapat makan beberapa waktu lamanya. Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman Tuhan yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia. 

Sesudah itu anak dari perempuan pemilik rumah itu jatuh sakit dan sakitnya itu sangat keras sampai tidak ada nafasnya lagi. Kata perempuan itu kepada Elia: "Apakah maksudmu datang ke mari, ya abdi Allah? Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?" 

Kata Elia kepadanya: "Berikanlah anakmu itu kepadaku." Elia mengambilnya dari pangkuan perempuan itu dan membawanya naik ke kamarnya di atas, dan membaringkan anak itu di tempat tidurnya. Sesudah itu ia berseru kepada Tuhan, katanya: "Ya Tuhan, Allahku! Apakah Engkau menimpakan kemalangan ini atas janda ini juga, yang menerima aku sebagai penumpang, dengan membunuh anaknya?" 

Lalu ia mengunjurkan badannya di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada Tuhan, katanya: "Ya Tuhan, Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya." Tuhan mendengarkan permintaan Elia itu, dan nyawa anak itu pulang ke dalam tubuhnya, sehingga ia hidup kembali. 

Elia mengambil anak itu; ia membawanya turun dari kamar atas ke dalam rumah dan memberikannya kepada ibunya. Kata Elia: "Ini anakmu, ia sudah hidup!" Kemudian kata perempuan itu kepada Elia: "Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman Tuhan yang kauucapkan itu adalah benar." 

» Melalui iman, Elia melihat yang tidak kelihatan. Oleh karena itu ia mempunyai keberanian untuk mewartakan kebenaran tanpa keraguan sedikitpun. Ia hidup dalam kepercayaan dan ketergantungan penuh kepada Tuhan. 

[1 Raj 18:30-39] Kata Elia kepada seluruh rakyat itu: "Datanglah dekat kepadaku!" Maka mendekatlah seluruh rakyat itu kepadanya. Lalu ia memperbaiki mezbah Tuhan yang telah diruntuhkan itu. Ia mendirikan batu-batu itu menjadi mezbah demi nama Tuhan dan membuat suatu parit sekeliling mezbah itu yang dapat memuat dua sukat benih. Ia menyusun kayu api, memotong lembu itu dan menaruh potongan-potongannya di atas kayu api itu. 

Sesudah itu ia berkata: "Penuhilah empat buyung dengan air, dan tuangkan ke atas korban bakaran dan ke atas kayu api itu!" Kemudian katanya: "Buatlah begitu untuk kedua kalinya!" Dan mereka berbuat begitu untuk kedua kalinya. Kemudian katanya: "Buatlah begitu untuk ketiga kalinya!" Dan mereka berbuat begitu untuk ketiga kalinya, sehingga air mengalir sekeliling mezbah itu; bahkan parit itu pun penuh dengan air. 

Kemudian pada waktu mempersembahkan korban petang, tampillah nabi Elia dan berkata: "Ya Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya Tuhan, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya Tuhan, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali." 

Lalu turunlah api Tuhan menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya. Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah!" 

» Seandainya iman Elia kurang, ia akan membantah, “Untuk apa mengambil resiko? Bila tidak ada api, bila saya tidak bisa menurunkan api dari surga, umat akan marah kepadaku dan meremukkan aku. Jadi untuk apa aku harus mengambil resiko?” Tetapi Elia mempunyai karunia iman untuk memindahkan gunung (Mrk 11:22-23), karena itu ia tidak ragu-ragu sama sekali. 

Melalui iman, kita punya kepastian bahwa apa yang kita harapkan, yaitu perjumpaan mesra dengan Tuhan, akan diberikan kepada kita. Bila kita bertumbuh dalam iman, dunia Allah yang tidak kelihatan akan dinyatakan secara bertahap kepada kita dengan segala keindahan dan kemegahannya, sehingga kita dapat menghayati seolah-olah melihat yang tidak kelihatan, termasuk kemungkinan terjadinya mujizat-mujizat. 

(Sumber: Bagai memandang yang tak kelihatan, Yohanes Indrakusuma, O.Carm)