Selasa, 17 Desember 2019

Allah Tritunggal, suatu komunitas kasih

 

Beata Elisabeth dari Tritunggal (1880-1906) merenungkan misteri bahwa Allah adalah faktanya sebuah komunitas; tiga pribadi dalam satu Allah yang disatukan oleh kasih

Ia tahu bahwa komunitas Tritunggal menemukan rumahnya di dalam diri seseorang yang hidupnya sangatlah sederhana yaitu orang yang hidupnya hanyalah untuk momen sekarang ini sebagai hal yang penting: "Jiwa disederhanakan, disatukan dan menjadi takhta dari Tritunggal kudus." 

Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia. Tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu (Yoh 14:23; 1 Kor 6:19). 

Komunitas menuntut hanya kesatuan. Kesatuan merefleksikan tindakan Allah. Sebagaimana seorang Yesuit, Gerard O'Mahony menyatakan: "Di mana kesatuan ditemukan, Tritunggal ditemukan juga: dalam atom, dalam elektron, dalam gerakan bintang-bintang, dalam binatang, dalam keluarga, di dalam kesatuan tubuh manusia, di dalam satu dunia di mana kita hidup" (A Way in the Trinity, 2004). Maka, di manapun kita hidup, sungguh-sungguh dalam komunitas, secara misterius, mencerminkan kehidupan dari Tritunggal Mahakudus

Orang dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya (Keb 13:5). 

Kita semua yang dibaptis dalam Kristus dipanggil kepada kekudusan. Kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibr 12:14). Untuk menggapai kekudusan itu, semua umat beriman pada Kristus dipanggil untuk hidup bersama di dalam kehidupan Gereja sebagai suatu komunitas. 

Komunitas Kristiani adalah persekutuan orang-orang yang terus menghayati semangat pengampunan dan pembaharuan diri berdasarkan iman akan Yesus sehingga merupakan suatu keluarga rohani. Kita perlu membangun rumah damai, tempat tinggal ilahi yang kasat mata yang nampak dalam komunitas, yakni hidup bersama yang ditandai oleh kesiapsediaan untuk saling mendukung dan kritis terhadap diri sendiri (Henry Nouwen). 

Krisis hidup komunitas bisa mengakibatkan krisis iman. Bisa juga krisis panggilan di dalam mengikuti Yesus. Krisis hidup bersama - hidup komunal - hidup komunitas sebagian besar dipengaruhi oleh faktor dari dalam komunitas itu sendiri. Sifat-sifat pribadi maupun relasi antar pribadi dalam komunitas itulah yang sebagian besar menyebabkan suasana hidup dalam komunitas menjadi tidak menyenangkan, tidak mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang yang hidup dalam komunitas itu. 

Serangan hebat yang menghimpit kesabaran, menyita energi, itu biasanya datang dari mereka yang kita cintai, sahabat-sahabat seperjuangan, rekan-rekan sekerja dan seperjalanan dalam menggapai kekudusan. 

Mereka menjadi "batu asah" untuk menajamkan cinta kita kepada Allah. Mereka menjadi "gergaji" yang barangkali sungguh menyakitkan, tetapi justru membuat kita menjadi "orang suci" dihadapan Tuhan. Mereka menjadi "linggis" yang mampu mencungkil akar-akar kedosaan kita sehingga kita bisa bernafas lega berjalan menuju Allah. Percayalah, tanpa mereka, kita tidak ada apa-apanya. Justru Tuhan menghadirkan sesama bersama kita untuk mengantar kita kepada-Nya. 

Gereja ingin mencanangkan di hadapan masyarakat teladan komunitas-komunitas tempat rasa kesepian diatasi melalui kepedulian timbal-balik, komunikasi mengilhamkan pada tiap anggota kesadaran bertanggung jawab bersama dan luka-luka disembuhkan melalui pengampunan, serta komitmen tiap anggota terhadap persekutuan makin dimantapkan. 

Tujuan dari komunitas untuk selalu membentuk menjadi murid-murid Yesus yang sejati, yang menjadi kontemplatif untuk berusaha mengenal dan mengasihi Allah dan membuat Allah dikenal dan dikasihi. Pengakuan akan kehadiran Allah yang penuh kasih dalam diri kita inilah yang memampukan kita mengenalinya di dalam diri orang lain dalam hidup komunitas dan membawa kita untuk membagi kasih kepada orang lain. 

Penyebab hidup komunitas menjadi "penghalang" utama bagi seseorang di dalam menggapai kekudusan. 

- Komunitas kehilangan roh kebersamaan sebagai saudara, sehingga ada anggota yang tidak mau ikut kegiatan bersama, tidak mau lagi doa bersama dsb. Masing-masing ada bersama, tetapi kehilangan kebersamaan dalam hidup komunitas. 

- Lemahnya daya kepemimpinan komunitas dalam hidup bersama. Pimpinan komunitas tidak dipercaya lagi, dia kehilangan wibawa karena tindakan dan kata-katanya tidak selaras, terlalu berpikir negatif terhadap anggota komunitas, kurang bisa hidup bersama dan tidak mempunyai daya pemersatu, terlalu otoriter dan mau menang sendiri, kurang rendah hati dan tidak mau menerima kelemahan para anggota komunitasnya. 

Masing-masing anggota komunitas kurang saling mengenal secara baik dan mendalam antar pribadi. Masing-masing anggota sibuk dengan dunianya sendiri, tidak mau peduli dengan anggota komunitas lainnya. Masing-masing pribadi kurang terbuka terhadap saudaranya se-komunitas, terlalu egois dan mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri. 

- Kurangnya komunikasi dan rasa saling percaya antara anggota dalam hidup bersama sebagai satu komunitas. Para anggota komunitas kurang diajak bicara tentang hidup bersama, kurang dilibatkan dalam kehidupan dan berbagai kegiatan komunitas. Akibatnya komunitas tidak dipandang sebagai "rumah"nya sendiri, kurang adanya "rasa tanggung jawab"nya terhadap komunitas. 

Apalagi orang yang lebih senior merasa lebih "hebat, sudah berbuat lebih banyak" dari yang lebih yunior, sehingga apapun pendapat yang lebih yunior selalu dipandang tiada manfaatnya. Atau sebaliknya, orang yang lebih yunior tidak mau mengikuti nasehat dari orang yang lebih senior. Kadang memandang mereka sebagai orang yang tidak "up to date". 

Sebagaimana kehidupan kristiani lebih mendalam melalui formasi yang otentik, komunitas kita akan mulai menemukan karakter yang berasal dari kontemplasi: kita akan menjadi lebih terbuka dan penuh iman, sebagai cermin dan iman dan kepercayaan kita akan kehadiran kasih Allah di saat baik atau buruk. 

Seperti yang dikatakan John Welch, doa adalah keterbukaan pada anugerah kontemplasi dari Allah sebagai akibat dari penghargaan yang diperbaharui dari orang-orang yang mana kita hidup bersama dan layani. Kita mulai melihat orang lain melalui mata Allah dan belajar untuk menghargai dan menilai apa yang sebelumnya tak diperhatikan. Kita mulai melihat setiap orang sebagai yang dikasihi dan sama. Karena itulah kemudian, relasi dengan yang lain menjadi persahabatan yang sejati, tak lagi berpusat pada diri sendiri tetapi selalu menghendaki yang terbaik bagi yang lain

Jadi, kita semua dipanggil untuk hidup bersama sebagai saudara dalam komunitas. Semua halangan ini bisa diatasi jika ada semangat keterbukaan dan persaudaraan dalam komunitas. St. Teresa Avila mengingatkan bahwa komunitas para pengikut Yesus harus menjadi komunitas para sahabat yang bersahabat dengan Yesus Kristus

(Sumber: Warta KPI TL No. 176/XII/2019 » Membangun hidup komunitas, Alberto A, Djono Moi, O.Carm).