Selasa, 24 September 2019

06.51 -

Keluarga sebagai komunitas ber-‘iman’





Sejak kecil saya sudah tertarik untuk menjadi seorang imam. Oleh karena itu saya bersekolah di SMP Seminari Mertoyudan Jawa Tengah. Setelah ditahbiskan menjadi imam, saya di tempatkan di Rumah Retret Pratista Cisarua Bandung. 


Ayah saya bekerja sebagai TNI Angkatan Udara dan ibu saya bekerja sebagai bidan di Rumah Sakit. Karena hidup keluarga kami serba pas-pasan, maka kami tidak mempunyai pembantu, sepulang kerja ibu langsung membersihkan rumah tanpa bersungut-sungut. 

Suatu hari sepulang kerja, ayah melihat rumah masih berantakan dan melihat ibu yang sedang hamil anak ketiga menenangkan tangisan anaknya yang kedua. Ayah langsung mengambil alih tugas ibu tanpa bersungut-sungut. Di sini saya melihat teladan kehidupan orang tua yang saling mengasihi

Sejak kecil kami dididik untuk bertanggungjawab terhadap tugas yang telah ditetapkan, bagian saya adalah menimba air di sumur. Suatu hari ibu sakit, maka segala tanggungjawab yang biasa ibu lakukan diambil alih oleh ayah tanpa bersungut-sungut. Meskipun keluarga saya hidup tidak dalam kelimpahan, tetapi seluruh keluarga saling bekerja sama membereskan rumah dengan sukacita. 



Ayah selalu naik sepeda ke mana saja, kalau ditanya kenapa tidak naik sepeda motor, beliau mengatakan bahwa lebih enak naik sepeda karena bisa menikmati angin sejuk yang berhembus. Di sini saya melihat teladan iman yang luar biasa, yaitu dapat bersyukur meskipun menurut pandangan dunia “ini adalah penderitaan”. 


Karena ayah hanya mempunyai satu sepeda, maka saya dan adik saya naik angkot ketika ke gereja. Kami bertemu di gereja dan selalu duduk sederet di bangku urutan ke dua. Pada saat itu ongkos angkot Rp 25, ayah memberi saya hanya Rp 50 untuk ongkos bolak balik dari rumah ke gereja, untuk saya dan satu adik saya. Ketika saya protes, ayah berkata: “Ya, adikmu kamu pangku to ...”. Ketika adik saya yang nomer tiga mulai agak besar, saya dan kedua adik saya naik angkot. Ketika saya hanya diberi Rp 100, saya protes lagi, ayah berkata: “Ya, adikmu kamu pangku to ...”. Akhirnya, saya memangku kedua adik saya sehingga ada sisa uang Rp 50, uang tersebut saya ambil Rp 25 dan sisanya saya berikan kedua adik saya sebagai imbalan untuk tutup mulut. 



Saya sekolah tidak pernah dibekali uang, tetapi membawa bekal dari rumah dan membawa air minum yang banyak, ketika lapar minum yang banyak. Jika pinsil sudah pendek, pinsil tersebut disambung dengan kertas yang digulung. Kemiskinan itu membuat kami kreatif



Meskipun demikian, jika ada acara kumpul keluarga di Muntilan, ayah selalu mengajak jalan keponakannya ke Borobudur. Kami naik angkot dengan cara saling memangku seperti biasanya dan makan soto semangkok berdua, kami semua merasa bersukacita. Di sinilah saya belajar bahwa “lebih berbahagia memberi dari pada menerima”. 


Di rumah kami ada peraturan, hari Sabtu sore baru boleh nonton televisi. Suatu hari sepulang kerja ayah marah-marah (mungkin karena sangat lelah dan ada banyak masalah di tempat kerja) karena melihat anak-anaknya sedang tertawa-tawa menonton Woody Woodpecker yang lucu. Katanya: “Eko, kamu anak nomer satu, bukan memberikan contoh yang baik buat adik-adikmu. Matikan TV, ambil buku, dan belajar!” Ketika ibu mengingatkan bahwa hari ini adalah hari Sabtu, ayah menyesal telah marah pada saat yang tidak tepat. Namun hati saya saat itu terluka, karena ayah bisa toleransi di tempat kerja tetapi tidak terhadap anaknya. 


Meskipun hidup keluarga kami pas-pasan, tetapi ada suatu kebiasaan baik dalam keluarga kami untuk selalu menjamu tamu. Kalau tidak ada makanan di rumah, bagian saya yang hutang ke warung, setelah tamu pulang, ibu yang membayarnya. Saya sangat senang apabila tamunya adalah pastor Belanda, karena ibu selalu menghidangkan kopi dan kue kastengel. Saat itu saya berdoa dalam hati agar dapat remah-remahnya, namun saya gigit jari ketika ibu membungkus kue tersebut untuk dibawa pulang oleh pastor, karena beliau menyukai kue kastengel. 


Suatu hari ada tamu, tanpa sengaja tangan anaknya menyentuh gelas sehingga gelas pecah. Reaksi ibu: “Tidak apa-apa ...” Dengan anak orang lain ibu bisa toleransi, namun dengan anaknya sendiri mendidik begitu keras. Kalau saya berbuat salah selalu dihukumnya, kalau saya berbuat benar tidak pernah dipuji. Akibatnya, saya merasa tidak dicintai



Saya pun pernah merasakan jatuh cinta. Pada saat pimpinan tahu, beliau memanggil dan berkata: “... kamu mau tetap tinggal di biara atau putuskan!” Akhirnya saya memutuskan pacar saya, karena saya lebih mengikuti panggilan hidup saya, yaitu menjadi imam. Jadi, hidup itu adalah kesempatan untuk memilih



Saya juga pernah dikirim ke Philipina untuk mengenyam pendidikan di CEFAM (Central Family Ministry) di dalam bidang Konseling Keluarga. Sebelum bekerja sebagai konselor keluarga, saya mengikuti retret. Pada sesi melepaskan pengampunan, dalam doa saya disuruh membayangkanayah meninggal” » tidak ada perasaan sedih, tetapi saya hanya mengatakanselamat jalan”. Tetapi ketika membayangkanibu meninggal” » saya menangis karena saya sangat menyayanginya. 

Melihat ada yang tidak beres dalam kehidupan saya, pembimbing saya mengharuskan untuk rekonsiliasi dengan ayah. Hidup yang paling berat ketika saya harus mengampuni ayah saya. Karena taat pada pimpinan dan ingin sembuh dari luka batin saya maka saya segera menelpon ayah, namun ayah menolaknya karena ada acara di Gereja. Meskipun ditolak, saya tidak merasa putus asa. Karena saya tahu Ayah adalah seorang yang selalu taat dan menghormati pada pimpinan, maka saya menelponnya lagi dengan mengatakan bahwa “Ini Romo Eko.” Akhirnya kami membuat kesepakatan untuk bertemu. 

Ketika saya pulang ke rumah, seluruh keluarga berkumpul dan berbincang-bincang seperti biasanya. Tiba-tiba terlontar kata dari adik saya: “Ayah terlalu keras pada kakak.” Ketika mendengar itu, ayah menyadari kesalahannya, dan bercerita tentang masa kecilnya. Ternyata ayah keras karena mendapatkan didikan yang keras dari kakek saya

Pada hari itu terjadilah rekonsiliasi seluruh keluarga. Ketika saya memeluk ayah, ayah berkata: “Ini adalah pelukan yang sangat berkesan, yang pernah saya rasakan.” Sejak hari itu kami sekeluarga belajar untuk saling mengerti dan mempunyai kebiasaan baru, yaitu saling berpelukan jika bertemu. Bahkan saat berfoto, ibu tidak malu-malu lagi memeluk ayah erat-erat. Ketika ditanya mengapa ibu memeluk ayah erat-erat, katanya” Lebih baik memeluk sekarang daripada saat sudah menjadi dingin.” 



Berkat rahmat Allah, terjadilah perubahan dalam diri saya, saya sekarang bukan lagi “pastor yang mempunyai karakter yang keras”. Berkat rekonsiliasi, saya bisa berdamai dengan diri sendiri sehingga tidak ada lagi penghalang bagi saya untuk melaksanakan “Amanat Agung-Nya”. Sejak rekonsiliasi, ketika melaksanakan tugas perutusan saya tidak pernah ja-im (jaga image) lagi ketika hendak tertawa, ya tertawa lepas. Ini adalah buah Roh sukacita yang sejati




Penderitaan akan merobek jiwa (Ams 27:9). Maksud  pencobaan untuk membuktikan kemurnian iman kita.  Tujuan iman  untuk keselamatan jiwa kita (1 Ptr 1:6-7, 9). Semua waktu pergumulan, sebenarnya kita sedang menumbuhkan akar-akar iman kita. Hari-hari yang baik memberi kebahagiaan, hari-hari yang kurang baik memberi pengalaman. 


Jadi, penderitaan apapun yang kita alami harus ada pengucapan syukur yang benar-benar ke luar dalam hati, maka cawan itu bukan lagi cawan kesengsaraan tetapi diubah menjadi cawan berkat.


Di dalam keluarga, saya belajar hidup dalam iman. Bagi saya, kesukaran dan penderitaan adalah kebanggaan (Mzm 90:10), karena kami sekeluarga tetap bersukacita meskipun mengalaminya masalah. Justru melalui kesukaran dan penderitaan, kami sekeluarga dapat bersaksi bahwa penyertaan Allah sungguh luar biasa, pertolongan-Nya tidak pernah terlambat

Jalan menuju kekudusan terdiri dari langkah-langkah kecil dalam doa, berkorban dan melayani orang lain

[Baca jugaKeluargaku penuh rahmat atau penuh kutuk? ; Luka batin]



Kebahagiaan sejati di dalam Kristus bukan hanya milik para imam, biarawan, biarawati, namun juga milik kita yang hidup berkeluarga. Namun pengertiankebahagiaandancinta kasihmenurut Tuhan tidak sama dengan pengertian menurut dunia. Tuhan menginginkan kebahagiaan kekal, sedangkan dunia, kebahagiaan sesaat. Tuhan menghendaki kita mengasihi secara total, sedangkan kita umumnya cukup berpuas diri dengan cinta ’sebagian’ saja. 

Mungkin Tuhan tahu bahwa tanpa contoh, kita tidak akan dapat mengasihi seturut kehendak-Nya, sehingga Ia mengutus Putera-Nya, Tuhan Yesus, untuk memberitahukan kepada kita bagaimana caranya mengasihi, supaya kita benar- benar dapat sampai kepada kebahagiaan yang Tuhan rencanakan bagi kita. 

Melalui teladan Yesus, kita mengetahui seperti apakah cinta sejati, yaitu cinta yang memberikan diri sehabis-habisnya kepada orang yang dikasihi, seperti apa yang telah dilakukan Yesus kepada setiap kita. Yesus ingin agar kitapun dapat mengasihi seperti ini. Jadi, Allah Bapa memanggil kita untuk hidup di dalam persekutuan dengan Kristus (1 Kor 1:9). Oleh karena itu, melalui Baptisan, Tuhan menggabungkan kita dengan kehidupan ilahi-Nya sendiri, sehingga kita dapat memiliki kasih seperti kasih-Nya. 

Menjadi seorang yang beriman, adalah panggilan dan sebuah kesempatan. Seringkali kita tidak mengambil kesempatan itu sebagai sebuah kesempatan. Yang kita lihat hanyalah masalah demi masalah. Mengapa? Masalah itu terjadi karena tidak sesuai dengan keinginan kita. 

Demikian pula dalam kehidupan dalam berkeluarga. “Keluarga bukanlah sebuah masalah; keluarga yang pertama dan terutama adalah kesempatan” (Paus Fransiskus). Kesempatan apa? Kesempatan menjadi bijaksana, dengan mengikuti jejak-Nya, melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama supaya menghasilkan buah Roh (KGK 1832) (LG 40). 



Apakah yang dapat menguduskan dalam sebuah perkawinan? Kesetiaan suami dan istri dalam melakukan tugas sehari-hari dalam membesarkan anak-anak mereka dengan cinta yang sangat besar, tanpa pernah kehilangan senyum mereka

Seorang istri mengawali harinya dengan mengurus segala keperluan suami dan anaknya sebelum pergi beraktivitas (ke kantor, ke sekolah). Seorang suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, kesetiaan menjalankan tugas sesuai panggilan itu menguduskan. 




Panggilan hidup perkawinan dalam terang iman 

[Kej 2:18-25] Tuhan Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan (1A) penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Lalu Tuhan Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia (1B) tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. 

Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, (2) Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: (3) "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." 

Sebab itu (4A) seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, (4B) sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka (5) keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu

[Mat 19:6] Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, (4C) apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." 

» (1AB, 2) Sejak awal mula Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan sepadan (artinya sejajar), di sini tumbuh saling menghormati. (3, 4A) Dalam hidup perkawinan sangat penting “seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya”, padahal tempat itu adalah tempat yang paling nyaman dan aman untuk berlindung. Tempat itu harus ditinggalkan untukmemberikan kenyamanan dan perlindungan kepada pasangannya”. 

(4B) Kelahiran menjadikan sedarah » tidak bisa memilih. Perkawinan menjadi sedaging » bisa memilih. (4C) Perkawinan bukan hanya rencana kita, tetapi juga rencana Allah. Jadi, sejak awal mula, Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tak terceraikan (KGK 2382, Mat 5: 31-32; 19-3-9; Mrk 10: 9; Luk 16:18; 1 Kor 7: 10- 11). Perceraian menghina perjanjian keselamatan, satu pelanggaran berat terhadap hukum moral kodrat (KGK 2384). 

Kesetiaan suami istri dibutuhkan demi kebaikan perkembangan anak- anak. Kita tak memerlukan studi yang rumit untuk melihat kenyataan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai/berpisah, akan mengalami luka batin yang mendalam, dan ini sering memberikan dampak negatif bagi kepribadian mereka. Ada yang menjadi pribadi yang membenci lawan jenis, mudah menjadi pemurung dan tidak percaya diri, atau menjadi pemarah, agresif dan penuh curiga, atau aneka sifat negatif lainnya. Rahmat Tuhan sungguh diperlukan untuk menolong anak- anak ini mengatasi pengaruh luka batin yang terjadi akibat perpisahan orang tuanya. 



Mengapa sepasang sejoli mau kawin? Karena mereka jatuh cinta. Mengapa rumah tangganya kemudian bahagia? Apakah karena jatuh cinta? Bukan! Tapi karena mereka terus membangun cinta. Jatuh cinta itu gampang, 10 menit juga bisa. Tapi membangun cinta itu susah sekali, perlu waktu seumur hidup

Mengapa jatuh cinta gampang? Karena saat itu kita buta, bisu dan tuli terhadap keburukan pasangan kita. Tapi saat memasuki perkawinan, tak ada yang bisa ditutupi lagi. Dengan interaksi selama 24 jam per hari, 7 hari dalam seminggu, semua belang tersingkap. (5) Oleh karena itu belajarlah terbuka satu sama lain sehingga tidak gagal paham dalam menghadapi suatu masalah. 

Cinta yang sebenarnya adalah tindakan berdasarkan cinta meskipun kita tidak merasa mencintai. Cinta adalah sebuah tindakan positif yang tidak ditentukan oleh perasaan melainkan oleh kehendak; tekad untuk mengembangkan diri dengan tujuan memelihara pertumbuhan rohani sendiri atau rohani orang lain. Jatuh cinta bukanlah perluasan diri tapi keadaan dimana dinding ego kita runtuh sementara (M. Scott Peck, MD). 

Sebagian orang mencintai dengan cinta yang mementingkan diri sendiri, mudah berubah-ubah dan cinta diri seorang anak yang egois: sebuah cinta yang tak terpuaskan yang berteriak atau menangis ketika gagal mendapatkan apa yang ia inginkan. Kadang-kadang yang lain mencintai dengan cinta remaja yang ditandai dengan: permusuhan, kritik pahit dan suka menyalahkan orang lain, terjebak dalam emosi dan fantasi mereka sendiri. Orang-orang seperti itu mengharapkan orang lain mengisi kekosongan mereka dan memenuhi setiap keinginan mereka (Amoris Laetitia art 239). 

Cinta yang mementingkan diri sendiri terjadi karena gagal paham mengartikan kataaku cinta padamu”. (1) Pemahaman makna cinta lebih banyak diartikan sebagai “aku ingin memilikimu”, bukan “aku ingin di sampingmu selalu untuk melindungimu, melayanimu dan berkorban untukmu”. (2) “Cinta” lebih banyak diartikan sebagai “perhatian dan kasih sayang” bukan “pengorbanan dan pelayanan, perlindungan dan rasa aman dan hubungan seksual”. 

Akibat dari gagal paham mengartikan kata “aku cinta padamu” maka ada banyak “hidup perkawinan yang tidak dewasa”. Buahnya adalah “cinta eksklusif” dan terjadi pengekangan (kamu milikku, kamu tidak boleh kemana-mana jika tidak bersamaku). Akhirnya mereka tidak lagi merasakan indahnya hidup bersama dalam keluarga. 

Hubungan suami istri yang sesuai dengan rencana Allah adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan kata lain, tanpa hubungan persatuan rohani, hubungan suami-istri tidak akan sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan. 



Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang hidup dalam Roh (berpusat pada Kristus; fokus perhatiannya pada doa, firman dan sakramen) sehingga menghasilkan buah Roh (KGK 1832: 1. Kasih 2. Sukacita 3. Damai sejahtera 4. Kesabaran 5. Kemurahan 6. Kebaikan 7. Kesetiaan 8. Kelemahlembutan 9. Penguasaan diri 10. Kerendahan hati 11. Kesederhanaan 12. Kemurnian). Perkawinan sebagai sakramen adalah tanda kehadiran Tuhan. 

Jika Tuhan Yesus menjadi pusat dalam hubungan suami dan istri, maka mereka akan menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak mereka sendiri, saling menghargai dan menghormati sehingga mereka memancarkan iman yang hidup dalam perbuatan kasih, baik kepada pasangan mereka maupun kepada anak- anak mereka. Kasih tidak sama dengan perasaan. Kasih itu bukanlah perasaan tapi tindakan dan suatu komitmen untuk tetap mengasihi sampai akhir

Kasih itu sifatnya memancar keluar, kasih itu memberi, dan menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi. Inilah prinsip kasih yang diajarkan oleh Tuhan. Dengan kasih semacam inilah kita seharusnya mengasihi Tuhan dan sesama kita, terutama anggota keluarga kita yang paling kecil dan lemah. 

Di dalam Kristuslah, “pasangan suami istri dikuatkan untuk memikul salib dan mengikuti Dia, untuk kembali bangun jika mereka jatuh, untuk saling mengampuni, untuk saling menanggung beban (Gal 6:2), dan untuk saling merendahkan diri seorang kepada yang lain demi penghormatan mereka kepada Kristus (Ef 5:21) dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati. 

Dengan kasih (1 Kor 13: 4-7), kita dapat selalu menemukan kebaikan di dalam diri pasangan kita, dan membangun rasa saling pengertian dengannya, sehingga kita tidak mudah konflik ketika ada masalah dalam rumah tangga. 


Oleh karena itu, kita harus menempatkan Kristus sebagai pusat kehidupan kita, kita harus berjalan bersama-Nya dan berada di jalur-Nya, kita harus berusaha memandang pasangan kita dengan cara pandang Kristus, yaitu dengan kasih. Jadi, tujuan perkawinan bukanlah berpikiran sama, tetapi berpikir bersama

Pasangan yang tepat adalah yang dapat melengkapi kekurangan kita, bukan yang sama seperti kita. Meskipun kita telah kawin dengan orang yang benar (tepat), tetapi kalau kita memperlakukan pasangan kita secara keliru, maka akhirnya akan mendapatkan pasangan yang keliru. Jadi, tidak cukup hanya kawin dengan orang yang tepat, tetapi jadilah pasangan yang tepat, yang memperlakukan pasangan kita dengan tepat pula.

Kasih itu ramah. Kasih itu tidak suka membuat orang lain menderita. Kasih itu tidak berlaku kasar dalam kata-kata dan tindakan. Untuk pertemuan yang penuh kasih dibutuhkan “tatapan penuh kasih”, yang berarti tidak banyak memikirkan keterbatasan orang lain. Jadi, orang yang mengasihi mampu mengucapkan kata yang menyemangati, yang menghibur, yang menguatkan (Mat 15:28; Luk 7:50; Mat 14:27). 

Kasih itu tanpa kemarahan. Ketika seseorang marah, sesungguhnya batinnya dijerat dan dikuasai oleh Iblis (2 Tim 2:26). Reaksi yang benar adalah memberkati dengan cara mengampuninya karena dia tidak tahu apa yang diperbuatnya (1 Ptr 3:9; Luk 23:34). 

Kasih itu menutupi segala sesuatu. Kasih itu bersikap diam “terhadap keburukan yang mungkin ada pada orang lain”. Keluarga tidak ada sempurna. Ketidak sempurnaan pasangan untuk menguduskan hidup kita (1 Kor 7:14). 




Perkawinan adalah anugerah atau musibah 

Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan. Ingatlah! Perkawinan bukanlah tanaman bunga mekar harum semerbak yang sudah jadi, tetapi adalah sebuah lahan kosong yang harus digarap bersama-sama. 

Ketika ketidak-sepadanan ini muncul, maka terjadilahpelarian”, ada yang mencari TIM/WIL/PIL, ada yang “lebih giat pelayanan di gereja atau masyarakat” (Ingatlah! Panggilan ayah atau ibu, yang pertama dan terutama adalah menghidupi keluarga, bukan di gereja atau masyarakat. Pesan Paulus kepada Timotius: “Seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus ...? ... dapat bersaksi dengan leluasa.” (1 Tim 3:1-13). Pelayanan adalah buah dari sukacita dalam hidup berkeluarga), bahkan ada yang akhirnya “lebih mencintai hobi atau ciptaan lainnya”. 

Komentar Paus Fransiskus mengenai kisah penciptaan: Pertama, kita melihat laki-laki, yang sangat ingin mencaripenolong yang sepadan, yang mampu mengusir kesendiriannya yang menggelisahkannya dan yang tidak dapat ditenangkan oleh kedekatannya dengan binatang-binatang dan seluruh ciptaan (Amoris Laetitia art 12). 

Ketika tidak menjumpai penolong yang sepadan, maka timbullah konflik dengan pasangan. Janganlah kita menggantikan pasangan kita dengan hobi atau binatang. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, namun akan menimbulkan masalah lainnya yang lebih berat. Karena mereka tidak bisa menggantikan peran dari suami atau istri. Jadi, kata “penolong yang sepadan” adalah kunci dalam perkawinan. 

Ketika ketidak-sepadanan ini muncul (ada strata dalam perkawinan), maka ego-lah yang akan berbicara terlebih dahulu, akhirnya suami atau istri akan menunjukkan kehebatannya masing-masing sehingga terjadi konflik dalam rumah tangga, yang tidak dapat dihindarkan. 


Berdasarkan survey, penyebab konflik dalam hidup perkawinan akibat dari

1. Pribadi pasangan (berubah): suami » dulu melindungi, sekarang minta dilindungi; istri » dulu seorang yang tenang, sekarang cerewetnya luar biasa. 



Masalah dalam pernikahan biasanya timbul karena kita tidak memahami perbedaan antara pria dan wanita. Kebutuhan seorang suami: sex, istri sebagai sahabat, rumah yang rapi, istri yang menarik, saling menghargai. Kebutuhan seorang istri: kasih sayang dan penghargaan, diajak bicara, jujur dan terbuka, keuangan yang cukup, komitmen terhadap keluarga. 

Dosa yang merusak perkawinan. Suami: tidak berfungsi menjadi pemimpin dengan baik, akibatnya saling melukai; gagal menjadikan istri nomer satu dalam hidupnya; membandingkan istri dengan wanita lain; kurang disiplin mengontrol emosi dan kebiasaan buruk; gagal memuji hal-hal kecil dari istri; menolak pendapat istri: tidak pernah minta maaf. Istri: tidak menghargai suami sebagai otoritas; gagal menundukkan diri kepada suami; gagal menampilkan kecakapan manusia batiniah; gagal menunjukan rasa syukur kepada suami. 

Perbaikilah apa yang bisa diperbaiki sekarang sebelum terlambat. Cintailah pasangan yang telah Tuhan pilih untukmu! Belaian tangan suami adalah emas bagi istri. Senyum manis sang istri adalah permata bagi suami. Kesetiaan suami adalah mahkota bagi istri. Keceriaan istri adalah sabuk di pinggang suami. 

Di belakang suami sukses selalu ada istri yang hebat. Dalam pandangan masa kini, istri tidak lagi hanya dilihat sebagai faktor pelengkap saja, melainkan sebagai pondasi kuat yang mendukung keberhasilan suami dalam meraih seluruh mimpi, menjadi faktor penentu kesuksesan suami di masa depan. Karena dia menjadi penolong yang tak pernah menyerah

Jadi, kebahagiaan perkawinan membutuhkan perjuangan yang tidak kenal lelah, dan membutuhkan kehadiran dan pertolongan Tuhan. Berbahagialah mereka yang benar-benar menikmati hidup rumah tangga yang rukun dan damai, meskipun itu harus diperoleh dengan cucuran air mata. 

Ingat! Kepala keluarga yang berhasil dalam keluarga maka keberhasilan yang lain akan mengikuti. Kepala keluarga yang gagal dalam keluarga maka kegagalan lain akan mengikuti. 


2. Keuangan 

Kebutuhan hidup di zaman digital mendorong orang untuk bekerja keras mencari penghasilan yang mencukupi kebutuhan, maka pasangan suami istri bekerja dengan alasan itu, bahkan mereka “rela” berpisah dengan pasangan untuk mencari nafkah di kota lain. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai kesempatan bertemu sangat terbatas, baik dengan pasangan maupun dengan anak-anak. 



Masalah pun akan timbul ketika suami istri bekerja dan gaji istri lebih besar dari suaminya, suaminya merasa minder karena tak dihargai penghasilannya, sementara istri merasa di atas sehingga jadi sombong dan tak menghormati suami. 

Seorang ibu dalam keluarga ibarat jantung bagi tubuh. Ibu juga memompakan kehidupan, spirit, harapan kepada anggota keluarganya. Oleh karena itu menjadi ibu sebenarnya suatu anugerah yang sangat mulia melebihi karier puncak manapun. Wanita yang melakukan segalanya karena cinta mengetahui tujuan dari semua pekerjaannya bukan semata-mata untuk mendapat pujian keluarga tetapi terlebih untuk menyenangkan hati Tuhan (1 Kor 10:31). 

Meskipun dianggap remeh di mata orang lain (tidak mempunyai karier, tidak mempunyai penghasilan sendiri, kerjanya hanya mengurus rumah tangga, menemani anak belajar, mengantar dan menjemput anak sekolah/kegiatan lainnya), ia dapat menjadi kudus dihadapan Tuhan melalui peranannya (1 Tim 2:15 » perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan). 

[Baca jugaMenjadi kekasih Tuhan dan kekasih suami]


Ketika ayah atau ibu lebih mementingkan karir, ia tidak bisa mendapatkan cinta keluarganya. Pada saat anak sudah bisa mandiri, ia akan membalas apa yang ayah atau ibunya taburkan pada masa kecilnya, sehingga ayah atau ibunya akan nelongso (menderita) pada masa tuanya. Kalau lebih mementingkan keluarga, kemungkinan besar karirnya berkurang, dan pendapatannya pas-pasan. Hal inipun akan menimbulkan masalah. Jadi, hidup berkeluarga adalah kesempatan untuk belajar bijaksana dalam menentukan pilihan. 

Jika harta adalah tujuan, kita kehilangan sahabat dan Allah (Am 8:4-7). Jika harta adalah sarana, kita mendapat sahabat dan Allah (Luk 16:1-13). Maka kita harus cerdik menguasai harta, bukan dikuasai oleh harta. Kecerdikan ini mulai dengan sikap setia, jujur dan bisa dipercaya dalam perkara-perkara kecil. 

3. Orang ketiga (keluarga besar: mertua, ipar dll. atau TIM/WIL/PIL). 

Mertua tidak boleh campur tangan dalam semua persoalan keluarga, kecuali membantu dalam masalah keuangan, membantu dalam pendidikan dan pengasuhan anak (jika ada kesepakatan dari anak dan menantunya). 



Banyak orang mengira bahwa pria selingkuh dan meninggalkan istrinya untuk wanita yang lebih seksi atau lebih cantik. Sementara wanita akan meninggalkan suaminya demi pria yang lebih mapan. Namun, penelitian menemukan bukan hanya itu alasan utama seseorang berselingkuh. 

Jika pasangan kurang kedekatan emosional, maka resikonya lama-kelamaan pasangan dapat menjadi kurang menghargai keberadaan satu sama lain. Kurangnya rasa penghargaan inilah yang kemudian menjadi salah satu kunci utama pria membangun kedekatan emosional dengan orang lain yang bisa memberinya penghargaan. Jadi, ketika ada PIL (Pria Idaman Lain), jangan diminum, cukuplah suami sebagai obat; ketika ada WIL (Wanita Idaman Lain), jangan dituruti, cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati. 

4. Anak-anak 

Orang tua dipanggil oleh Allah untuk semakin menghayati panggilannya sebagai ayah dan ibu, melalui kehadiran anak-anak. Peran orang tua tidak dapat digantikan, tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada orang lain karena tugas pertama dan utama mereka adalah mendidik anak-anaknya “bagaimana caranya hidup menjadi orang yang baikterutama dalam hal iman dan kebajikan-kebajikan Kristiani

Dari keluargalah anak-anak pertama-tama harus belajar tentang otoritas Allah yang memimpin mereka dengan kasih. Artinya, orang tua memberi koreksi jika anak berbuat salah, namun tidak dengan cara marah, tetapi dengan kelemahlembutan. Setelah mengkoreksi anak, orang tua perlu merangkul anak kembali, dan anak perlu diberitahu bahwa koreksi tersebut diberikan demi kebaikan anak itu sendiri. Dengan demikian anak belajar tentang nilai- nilai kehidupan yang mendasar, yaitu tentang keadilan dan kasih



Kadangkala mendidik anak-anak terasa berat, namun ketika kita menyertakan Kristus dalam mendidik mereka, maka kita akan disadarkan Tuhan bahwa anak-anak adalah berKat yang semakin mempererat ikatan kasih suami istri

Melalui kehadiran anak-anak, Tuhan membentuk orang tua mereka untuk menjadi semakin serupa dengan Dia, menjadi pribadi yang mengasihi, yang mau memberikan diri secara total dan tanpa syarat. 

Mahkota keluarga adalah kelahiran anak- anak dan pendidikan mereka menjadi anak- anak yang mengasihi Tuhan dan sesama. Jadi, anak adalah berkat, bukan beban. 

5. Lain-lain (perkawinan campur, beda suku, jenjang pendidikan) 



Tidak ada keluarga jatuh dari surga yang terbentuk sempurna dan dikemas sekali dan bagi semua; namun membutuhkan perkembangan tahap demi tahap dalam kemampuannya untuk mencintai (Amoris Laetitia art 325). 

Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna, tidak menikah dengan orang yang sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada perkawinan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa pengampunan

Jika kita tidak mau mengampuni, maka kita tidak akan memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah. Jadi, pengampunan itu sangat penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan

(Sumber: Warta KPI TL No. 173/IX/2019 » Seminar keluarga Tgl 17 September 2019, Rm Eko Wahyu, OSC).