15.21 -
SP Yohanes
Yoh 3:31-36
Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya
Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)
Penanggalan liturgi
Kamis, 2 Mei 2019: Pw St. Atanasius, Uskup dan Pujangga Gereja - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: Kis 5:27-33; Mzm 34:2, 9, 17-18, 19-20; Yoh 3:31-36; RUybs
Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya.
(1) Ia memberi kesaksian tentang apa yang dilihat-Nya dan yang didengar-Nya, tetapi tak seorang pun yang menerima kesaksian-Nya itu. Siapa yang menerima kesaksian-Nya itu, ia mengaku, bahwa Allah adalah benar.
Sebab siapa yang diutus Allah, Dialah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas. (2) Bapa mengasihi Anak dan telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya. Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya."
Renungan
1. Kesaksian Yohanes tentang Yesus
Yohanes Pembaptis menunjukkan siapa diri Yesus yang sebenarnya. Ia berasal dari sorga namun rela mengosongkan diri-Nya sehingga Ia mau lahir melalui jalur seperti manusia biasa.
Ia rela belajar bahasa dan budaya manusia. Dengan demikian, Ia sungguh bersatu dengan manusia sehingga pada akhirnya dapat mengangkat manusia dari kedosaannya menuju taraf yang lebih tinggi bersama-Nya.
Allah rela mengosongkan diri-Nya supaya Ia dapat berempati dan tidak menghakimi manusia. Ia sendiri memberikan kesaksian kepada manusia lewat perbuatan nyata melalui Anak (1). Bapa sungguh menghendaki agar dunia serta makhluk ciptaan-Nya senantiasa diperbaharui, dipulihkan dan disembuhkan.
Barangsiapa tidak taat kepada Anak, tidak akan melihat terang dan hidup sebab ia tidak menghargai pengosongan diri Allah dalam diri Sang Anak demi keselamatan manusia.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita rela mengosongkan diri kita di hadapan sesama yang berkesusahan dalam pergumulan hidup, yang miskin secara jasmani dan rohani, yang menderita dengan tidak meninggikan diri dengan segala keberadaan kita?
Jika belum, belajarlah dari Allah. Mengosongkan diri dengan cara berempati terhadap mereka yang berkesusahan, yang ada dalan masalah dan bukan menghakimi mereka.
2. Kebebasan manusia
Berhadapan dengan pernyataan di atas mungkin kita akan bertanya: “Apakah Allah begitu keras dan otoriter? Masak orang yang tidak percaya dan tidak taat harus dihukum dengan murka Allah? Bukankah mereka ini yang justru patut dikasihani?"
Kalau kita renungkan lebih lanjut, rasanya bukan Allah yang menghukum orang-orang yang tidak percaya itu. Mereka sendirilah yang menghukum diri sendiri (1 Yoh 3:21 - hati kita menuduh kita). Dengan tidak menerima utusan Allah yang menawarkan hidup kekal, mau tidak mau orang kehilangan hidup kekal itu sendiri. Jadi, sikap dan keputusan pribadi manusia yang menentukan apakah ia menerima atau menolak hidup kekal.
Hidup kekal memang merupakan sesuatu yang direncanakan Allah bagi semua orang. Meskipun demikian, Allah tidak mau memaksa manusia untuk menerimanya. Allah menghargai kebebasan manusia sehingga akhirnya manusia sendirilah yang harus bertanggung jawab atas segala sikap dan keputusannya.
Kalau manusia, dengan kebebasannya, setuju dan mengamini karya keselamatan itu, Allah pasti bersukacita; tetapi sebaliknya, jika dengan kebebasannya manusia menolak, Allah pasti berdukacita. Bagaimana dengan kita? Apakah kebebasan akan membawa kita membuat Allah bersukacita atau berdukacita?