07.06 -
SP Markus
Mrk 10:2-16
Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya
Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)
Penanggalan liturgi
Minggu, 7 Oktober 2018: Hari Minggu Biasa XXVII - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: Kej 2:18-24; Mzm 128:1-2, 3, 4-5, 6; Ibr 2:9-11; Mrk 10:2-16
Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?" Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?"
Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu (*) laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.
Renungan
1. Buah dari meninggalkan kelekatan
Hidup manusia di dunia ini menjadi indah dan penuh makna ketika ia sampai pada pemahaman dan penghayatan akan arti cinta yang suci dan tulus.
Perkawinan adalah sebuah institusi yang hendak mengungkapkan cinta yang suci dan tulus antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan yang tak akan terpisahkan dan terceraikan. Hanya kematianlah yang mampu menghentikan ikatan suci perkawinan itu.
Ketika dua insan saling mencintai dan hendak membentuk keluarga, maka (*) masing-masing harus meninggalkan apa pun yang selama ini melekat pada hidupnya. Baik itu orang tua, saudara-saudaranya serta pandangan-pandangan pribadinya yang cenderung lebih banyak berpusat pada diri sendiri, harus berani “meninggalkan” untuk mampu menyesuaikan diri serta menyelaraskan hidupnya dengan pasangannya yang sungguh-sungguh dia cintai.
Jika kedua insan itu berani meninggalkan keluarganya, masa lalunya dan kesenangan-kesenangan pribadinya, maka keluarga itu akan damai, ada pengampunan, penerimaan, dan saling menyempurnakan yang menghasilkan kebahagiaan.
Marilah kita menghayati dan mempraktikkan arti nilai-nilai cinta sejati sehingga kehidupan kita bagaikan “kotbah yang hidup” yang mengajarkan kepada dunia ini bahwa kita pertama-tama dipanggil hidup di dunia ini bukan untuk meraih kesuksesan, tetapi untuk tetap bertahan dalam kesetiaan.
Tuhan Yesus memberkati.