18.36 -
*Manusia"
Penciptaan dunia dan manusia
Kitab Suci bukanlah kitab yang jatuh dari langit, melainkan Sabda Allah dalam bahasa manusia. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan dimensi manusia dengan segala latar belakang historis dan budaya yang mewarnainya.
Segala alam raya dan yang hidup di dalamnya bukan terjadi secara kebetulan atau takdir yang buta, melainkan diciptakan berdasarkan kebijaksanaan Tuhan (KGK 295, Keb 9:9, Mzm 104:24).
Kej 1:1-2:4a disusun bukan sebagai catatan sejarah melainkan sebuah nyanyian atau madah penciptaan.
Dua refrain yang yang paling sering diulang berbunyi: "Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ... (pertama, kedua, ketiga, keempat, lima, enam; 6x: ayat 3, 8, 13, 19, 23, 31) dan "Allah melihat bahwa semuanya itu baik" (7x: ayat 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31; ayat 4 dan 31 berbunyi sedikit berbeda "Allah melihat bahwa terang itu baik" dan "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik")
Selain itu ada dua pengulangan yang cukup mencolok: "Dan jadilah demikian" (7x: ayat 3, 7, 9, 11, 15, 24, 30; ayat 3 berbunyi sedikit lain: "lalu terang itu baik"), dan "berfirmanlah Allah" (10x: ayat 3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26, 28).
Bentuk madah mengundang pembaca untuk mengunyah ayat-ayat ini dengan sikap kontemplatif. Pembaca diajak untuk memandang ciptaan dengan tatapan kekaguman dan dengan pujian yang sama sebagaimana pengarang telah mengagumi apa yang Tuhan berikan kepadanya.
Orang dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya (Keb 13:5). Langit menceritakan kemuliaan Allah, cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam (Mzm 19:1-2).
Paulus pun yakin bahwa orang dapat mengenal karya ciptaan-Nya. Oleh karena itu ia mengingatkan orang Roma bahwa orang tidak dapat berdalih dari kejahatannya dengan alasan tidak mengenal Allah (Rm 1:20).
Kisah penciptaan dalam Kej 1-2 memakai bahasa mitos. Oleh karena itu sudah seharusnya ia tidak didekati dengan bahasa historis. Namun banyak orang mengabaikannya, sehingga akhirnya bingung sendiri.
Jadi, kisah ini bukanlah keakuratan historis melainkan makna kisah ini: menemukan rencana keselamatan Allah atas dunia dan manusia.
Pertarungan antara kebaikan Allah dengan kuasa kejahatan semakin seru dari hari ke hari. Kuasa kejahatan dalam bentuk keserakahan dan kekerasan terus meningkat, namun ia tidak akan mampu membatalkan rencana keselamatan Allah.
Istilah 'mitos' tidak mengacu ke isi yang bersifat dongeng, melainkan semata-mata cara orang kuno mengungkapkan isi yang lebih mendalam. Di dalam isi itu kualitas dan kuantitas kebenaran yang disembunyikan benar-benar mengagumkan dan tanpa banyak kesulitan kita bisa menemukannya (Catechesi del 7 Nov 1979, Yohanes Paulus II).
Mitos menceritakan apa yang dirasionalkan filsafat; maksudnya, mitos dan filsafat bukanlah dua kebenaran, melainkan dua jalan yang berbeda untuk sampai pada paham akan kebenaran.
Dunia Timur Tengah kuno antara abad III dan 1 SM, mengenal banyak kisah dan teks asal mula dunia yang bercirikan mitos. Melalui cerita-cerita ini bangsa Mesir dan Mesopotamia mencoba menjawab pertanyaan abadi manusia: Siapakah manusia? Dari mana ia datang? Ke mana ia pergi? Apa arti hidup ini? Dsb.
Pengarang Kitab Kejadian kemungkinan besar mengenal mitos-mitos itu, karena mereka manusia pada zamannya dan bukan manusia dari planet luar. Maka mereka hendak menjawab pertanyaan serupa yang mereka hadapi, mereka juga menggunakan gaya bahasa mitos yang kaya akan bahasa simbolis dan metafora.
Kaum evolusionis menganggap kisah penciptaan dalam Kej 1-2 bertentangan dengan sains. Penciptaan manusia tidak sesuai dengan teori evolusi Charles Darwin (On the Origin of Species; tahun 1859), sedangkan penciptaan langit dan bumi tidak cocok dengan teori big bang.
Menurut teori ini terbentuknya alam semesta bermula dari ledakan mahadahsyat (big bang) yang terjadi karena suhu yang sangat tinggi sekitar 13.700 juta tahun yang lalu. Ledakan ini melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke segala penjuru alam semesta. Materi-materi inilah yang kemudian menjadi bintang, planet, meteor, dan partikel lainnya di alam semesta.
Kaum kreasionis percaya bahwa dunia dan isinya diciptakan oleh Tuhan persis seperti tertulis dalam kitab Kejadian 1-2. Menurut mereka teori evolusi hanyalah teori bukan kenyataan. Kebenaran teori ini tidak teruji secara ilmiah dan semakin diragukan.
Mereka pun bersikukuh menafsirkan ayat-ayat Kitab Kejadian secara harafiah. Ketika ayat-ayat itu sepertinya tidak masuk akal dan bertentangan dengan sains modern, mereka memberi penafsiran sedemikian rupa sehingga terkesan masuk akal.
Misalnya penciptaan alam semesta selama 6 hari kurang masuk akal, karena menurut sains modern alam semesta terjadi melalui proses yang panjang, bisa jadi selama 15 miliard tahun.
Untuk mengurai ketegangan ini, kaum kreasionis menafsirkan kata "hari" tidak dalam arti 24 jam, melainkan priode yang lebih panjang.
Alasan mereka hari bagi Tuhan bisa sama dengan satu abad atau satu miliar tahun bagi manusia (Mzm 90:4 - Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin; 2 Ptr 3:8 - Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari). Selain itu, kata Ibrani yom (= hari), dalam konteks Kej 1 ini dapat berarti "abad".
Demikian, dengan pelbagai argumen, yang terkadang seperti dipaksakan, kaum kreasionis menegaskan bahwa penciptaan dunia terjadi persis seperti yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian.
Penegasan ini juga terdapat dalam Katekismus Gereja Katolik No. 337: "Allah sendiri telah menciptakan dunia yang kelihatan ini dengan segala kekayaannya, keanekaragamannya, susunannya.
Kitab Suci menggambarkan karya penciptaan secara simbolis sebagai satu rentetan "enam hari kerja" ilahi, yang ditutup dengan "istirahat" pada hari ke tujuh. Berhubungan dengan penciptaan Kitab Suci mengajarkan kebenaran-kebenaran yang Allah wahyukan demi keselamatan kita dan yang mendorong orang, 'mengakui makna sedalam-dalamnya, nilai serta tujuan segenap alam tercipta yakni: demi kemuliaan Allah (LG 36)."
Kisah penciptaan diawali dengan sebuah prolog (Kej 1:1-2) yang menyatakan dua hal. Yang pertama berupa pengantar bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (ay 1).
Pada mulanya » pada waktu tertentu dalam sejarah, yakni pada awal segala sesuatu, saat ketika dunia seperti yang ada sekarang ini belum ada.
Ungkapan "langit dan bumi" tidak perlu diambil dalam arti bahwa pada awalnya Allah menciptakan hanya langit dan bumi. Kita perlu mengingat orang Ibrani biasa menyebut dua hal yang bertentangan atau dua kutub berseberangan untuk mengungkapkan totalitas atau keseluruhan.
Misalnya penyebutan "siang dan malam" untuk menyatakan sepanjang hari. Begitu juga di sini, "langit dan bumi" untuk menunjukkan keseluruhan, yakni langit dan bumi beserta segala isinya, termasuk apa yang ada di langit dan bumi (Bdk. Kej 2:4; 14:19, 22).
Yang kedua berupa informasi tentang situasi sebelum Allah memulai karya penciptaan (ay. 2 » Bumi (1) belum berbentuk dan kosong; (2) gelap gulita menutupi samudera raya, dan (3) Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
(1) Kondisi kacau balau ini terjadi karena pada waktu itu tanah, air dan angin, yang merupakan unsur-unsur yang berlainan, tercampur baur, sehingga sulit dibedakan.
Sedangkan kekosongan tampaknya mengacu ke keadaan tanah yang tidak mengandung apa-apa, tidak produktif (Bdk. Kej 2:4-7). Tiadanya keteraturan berarti tiadanya tanda kehidupan. Selain itu, chaos atau kekacau-balauan merupakan simbol adanya kekuatan jahat.
(2) Kegelapan adalah lazim dikaitkan dengan kejahatan atau sesuatu yang berbau setan dan menakutkan. Adapun samudra raya biasa dipakai sebagai simbol kejahatan yang paling dahsyat.
Air yang banyak dan dahsyat atau samudra raya dalam Perjanjian Lama adalah dunia kematian, karena dia menelan segala sesuatu hingga musnah.
(3) Kisah penciptaan menampilkan adanya pertentangan antara dua kekuatan: kekuatan negatif (kekacauan dan kegelapan) yang bersifat destruktif dan kekuatan positif (keteraturan) yang membawa kehidupan.
Kekacauan memang berada di luar tata ciptaan Allah, namun ia tetap ada di bawah kendali Allah yang mampu menciptakan suatu yang positif dari yang negatif.
Kemampuan Allah mengendalikan kuasa negatif dan mengolahnya menjadi kekuatan positif tersirat dalam kalimat "Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air". Jadi, kekuatan negatif tidak dihancurkan-Nya melainkan dikendalikan dan diubah menjadi positif.
Prolog disusul dengan karya penciptaan yang berlangsung selama 6 hari.
Pada tiga hari pertama (hari I-III), karya penciptaan difokuskan pada pengadaan ruang atau tempat (terang, cakrawala, daratan) untuk meletakkan sesuatu.
Ay 3-5 » hari pertama, Ia menciptakan terang
Ay 6-8 » hari kedua, Ia menciptakan cakrawala
Ay 9-13 » hari ketiga, Ia menciptakan daratan; tanah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
Keistimewaannya, penciptaan terang, cakrawala, dan daratan ini ditandai dengan pemanfaatan ciptaan baru ini untuk membuat karya pemisahan:
terang untuk memisahkan siang dan malam,
cakrawala untuk memisahkan air di atas dan air di bawah, dan
daratan untuk memisahkan tanah kering dan lautan.
Karya penciptaan berkaitan erat dengan situasi chaos awali, karya penciptaan adalah pengendalian chaos awali yang dilakukan bukan dengan menghancurkan chaos itu melainkan memisahkannya, serta menempatkannya pada tempat dan waktu yang tepat.
Dengan itu kekuatan unsur-unsur chaos awali dibatasi. Dengan adanya terang, kegelapan tidak menguasai seluruh hari, dengan adanya cakrawala, samudra tidak memenuhi alam semesta, dengan adanya daratan, laut tidak menguasai seluruh bumi.
Pada tiga hari berikutnya (hari IV-VI) karya penciptaan difokuskan pada penciptaan hal-hal untuk mengisi ruang yang sudah diciptakan itu:
matahari, bulan, bintang untuk mengisi terang;
burung dan ikan untuk langit dan laut;
binatang, tanaman, dan manusia untuk daratan.
[14-19] hari keempat, benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun, dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi. Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang.
Mengapa pada ayat ini pengarang menyebut benda penerang yang lebih besar dan yang lebih kecil? Karena pengarang tidak ingin pembaca terjebak pada penyembahan berhala, lebih memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya (Rm 1:25; Ul 4:19 » Jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada sekaliannya).
[20-23] hari kelima, segala jenis makhluk yang hidup dalam air (makhluk yang hidup dalam air berkeriapan, binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak) dan segala jenis burung yang bersayap.
Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya: "Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.
[24-25] hari ke-enam, bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar. Allah menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka bumi.
[26] hari ke-enam, (1) Baiklah Kita (2) menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Mengapa Allah menciptakan manusia paling akhir dari seluruh rangkaian penciptaan-Nya? Ia menciptakan manusia pada hari terakhir di mana segala sesuatu telah diciptakan karena manusia sangat berharga di mata-Nya lebih daripada ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, Semua ini menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan kebutuhan manusia, sejak manusia itu muncul pertama kali di bumi ini.
(1) Siapakah “Kita” yang diajak ikut serta oleh Tuhan ini? Mengapa pengarang memakai bentuk jamak “Kita” dan bukan bentuk tunggal “Aku”.
Ada banyak tafsiran.
Menurut beberapa Bapa Gereja, “Kita” adalah ketiga Pribadi Tritunggal (Bapa, Putera, dan Roh Kudus). Tafsiran ini lazim di kalangan Gereja, dan masih banyak dipakai sampai sekarang untuk mendasari iman akan Tritunggal.
Namun harus diakui bahwa pendasaran ini tentu tidak kuat. Mengapa? Ayat ini ditulis sekitar abad ke-6 SM oleh para imam Yahudi yang pasti belum mengenal konsep Tritunggal. Selain itu, sampai kini orang Yahudi, yang mempercayai teks ini sebagai Kitab Suci mereka, tidak percaya akan Tritunggal. Rasanya tidak masuk akal bahwa menulis sesuatu yang sama sekali tidak diketahui atau dipikirkannya. Karena itu tafsiran ini kini mulai ditinggalkan.
“Kita” adalah Allah dan manusia. Jadi, ayat 26a harus dipahami dalam arti Allah mengajak manusia (“marilah Kita”) untuk ikut serta dalam penciptaan manusia. Tafsiran inilah yang tampaknya paling tepat, dan kini diikuti oleh banyak penafsir modern.
Terhadap tafsiran seperti ini orang mungkin mengajukan keberatan berikut: bagaimana mungkin manusia yang belum ada sudah diajak ikut serta dalam menciptakan manusia?
Jawabannya sederhana. Keberatan seperti itu muncul karena kita terbatas pada ruang dan waktu, sementara Allah tidak. Seperti Petrus dalam suratnya mengatakan: “Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari (2 Ptr 3:8).
Keakuratan tafsiran ini tampak dari pemakaian kata kerja “asa” (membuat) pada ayat 26 dan “bara” (mencipta) ayat 27.
(2) Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan (asa) manusia (adam) menurut gambar dan rupa Kita. Kata ‘asa’ yang berarti membuat atau menjadikan, dipakai bisa untuk Allah ataupun manusia sebagai subjek.
Allah menyatakan rencana-Nya mengajak manusia untuk bekerja sama membuat manusia menurut gambar dan rupa Kita (Allah dan manusia).
Manusia diciptakan setengah jadi, belum sempurna sebagai manusia, artinya ia selalu dalam proses menjadi manusia sejati, manusia yang memiliki gambar dan rupa Allah, manusia yang ilahi dan insani.
Proses pengembangan diri ini merupakan perwujudan kreavitas manusia yang sejak semula direncanakan oleh Allah mewakili diri-Nya di dunia ini.
Jadi, rencana Allah sejak semula, sejak belum diciptakan, Allah sudah merencanakan manusia serupa dengan diri-Nya, yaitu kreatif.
Manusia dianugerahi akal budi (reason) yang terdiri dari akal (intellect) dan kehendak (will). Akal budi inilah yang membuat manusia mempunyai kehendak bebas untuk berkata “ya” atau “tidak” terhadap Pencipta.
Gambar ini rusak bahkan hilang karena manusia berdosa (tidak terarah kepada Allah). Satu-satunya manusia sejati, manusia yang bebas dari dosa, ialah Yesus Kristus. Ia bukan saja memiliki gambar dan rupa manusia melainkan juga gambar Allah (Bdk. Kol 1:15; Yoh 14:9).
Jika seseorang mau mengetahui manusia sejati, ia harus melihat Yesus, sebab Dia mempunyai dua rupa: Dia sungguh Allah, sungguh manusia dan bukan manusia setengah jadi.
Jika seseorang mau menjadi manusia sejati seperti yang direncanakan oleh Allah, ia harus meneladani Yesus, menjadi serupa dengan-Nya (Rm 8:29).
Jika kita melihat Kristus maka tampak bahwa unsur utama Allah bukanlah akal budi melainkan kasih dan keterarahan total kepada Allah. Kasih-Nya begitu besar sampai Ia rela melayani dan menyerahkan nyawa-Nya untuk keselamatan manusia (Mrk 10:45; Yoh 15:13).
Seluruh hidupnya terarah kepada Allah dan Dia datang hanya untuk melakukan kehendak Allah (Yoh 4:34). Selain itu, Ia juga berkuasa penuh atas alam seperti Ia buktikan dalam meredakan badai, berjalan di atas air, dan menyembuhkan pelbagai macam penyakit.
Sudahkah hidup kita dalam kasih dan sepenuhnya terarah kepada Allah? Atau adakah kita lebih terarah kepada hal-hal duniawi seperti kekayaan dan kenikmatan jasmani?
Memiliki martabat sebagai citra Allah mengandaikan relasi yang dekat dengan Allah, seperti manusia dan gambarnya di cermin, atau seperti bapa dan anak.
Manusia menghadirkan Allah di dunia ini bukan karena sifat dan keunggulannya dibandingkan dengan ciptaan lain, melainkan kedekatannya dengan Allah.
Relasi yang dekat membuat manusia mengenal Allah dan memiliki gambaran yang benar tentang Allah. Pengenalan ini menjadi sumber pengenalan manusia akan dirinya.
Ketika mengenal Allah sebagai pencipta, manusia mengenal dirinya sebagai ciptaan yang serupa dengan Allah.
Ketika relasi ini rusak dan manusia tidak lagi terarah kepada Allah serta menempatkan-Nya sebagai asal dan tujuan akhir hidupnya, bukan saja martabatnya terkoyak melainkan identitasnya.
Manusia mengalami krisis identitas, keterkoyakan dan keterbelahan kepribadian serta keterasingan diri. Hal yang demikian ini banyak dialami oleh manusia dewasa ini.
Mereka merasa seperti terputus dengan dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan karena ruang spiritual dalam dirinya terkoyak.
[27] Maka Allah menciptakan (bara) manusia (adam) itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Allah menciptakan adam. Apa yang dimaksud adam? Dari sudut etimologis, tampaknya kata Ibrani ‘adam’ dari akar kata ‘dm’ yang berarti merah. Hal ini mungkin merujuk ke warna kulit manusia yang kemerah-merahan ketika lahir. Selain itu, sepertinya juga ada permainan kata antara adam (manusia) dan adamah (tanah) yang menekankan bahwa manusia berasal dari tanah (Bdk. Kej 2:7).
Yang jelas, adam di sini bukanlah nama diri, melainkan kata benda umum yang berarti manusia (baik laki-laki maupun perempuan) atau kemanusiaan.
Kemudian pada Kej 2:22 ia digunakan dalam arti orang laki-laki yang dipertentangkan dengan perempuan, Hawa, namun dalam terjemahannya tetap dipakai kata manusia. Baru pada Kej 4:25 Adam mulai digunakan sebagai nama diri.
Ketika manusia (adam) diciptakan oleh Allah, manusia itu satu, karena dikatakan “menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia”
Kemudian Allah membuat manusia yang satu ini menjadi jamak (mereka): “laki-laki (zakar) dan perempuan (neqebah) diciptakan-Nya mereka”.
Dipakainya kata zakar (jenis laki-laki/maskulinitas dan neqebah (jenis perempuan/feminitas) dan bukan is (orang laki-laki) dan issa (orang perempuan) mungkin mau menunjukkan bahwa kemanusiaan itu adalah perpaduan laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminitas).
Manusia bukanlah perempuan semata-mata atau laki-laki saja. Setiap manusia memiliki dalam dirinya unsur feminitas dan maskulinitas. Itulah salah satu sebab mengapa ia kreatif.
Manusia adalah gambar Allah ketika mereka satu (tunggal “ia”), ketika ia merupakan persatuan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender ini dimaksudkan untuk saling mengisi dan melengkapi agar manusia menjadi semakin kreatif.
Ketika laki-laki dan perempuan ada dalam relasi yang harmonis, ada dalam kesatuan, mereka semakin mendekati gambar Sang Pencipta. Karena ketika laki-laki dan perempuan bersatu (bersetubuh) mereka kreatif (melahirkan anak) seperti Allah kreatif.
[28] Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "(1) Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan (3) taklukkanlah itu, (2) berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
» Tuhan tidak saja menciptakan, tetapi memberikan kesempatan untuk bekerjasama dengan-Nya mewujudkan rencana-Nya (KGK 306). Kepada manusia diberikan kuasa untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (Kej 1:26-28); mengambil bagian dalam karya penciptaan, dan mengusahakan keseimbangannya demi kebaikannya dan kebaikan sesama.
Manusia diundang untuk mengambil bagian dalam rencana Allah, melalui perbuatannya, doa-doanya maupun penderitaannya, dan dengan demikian menjadi “kawan sekerja Allah” (1 Kor 3:9, 1 Tes 3:2; Kol 4:11).
Menjadi penakluk bumi bukan dengan merusak bumi, sebab Tuhan memanggil manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi gambaran Allah yang menyayangi semua yang ada dan mengambil bagian dalam penyelenggaraan bagi ciptaan yang lain dan manusia bertanggungjawab atas bumi kepada Tuhan yang telah mempercayakannya kepadanya (KGK 373).
Kreativitas manusia tersirat dalam berkat yang diberikan kepadanya setelah ia diciptakan. Jadi Allah memberkati manusia agar ia berkembang biak, kreatif membuat anak dan berkuasa atas ciptaan lain.
(1) Mendapat anak adalah tanda berkat atau kasih Allah untuk manusia (Bdk Mzm 127:3). Setiap pasangan suami istri sepatutnya menerima dan menghidupi tanggung jawab atas anugerah itu, yakni tanggung jawab memberi hidup!
(2) Namun berkat untuk berkuasa atas ciptaan lain sering disalahartikan sebagai pembenaran tindak kekerasan manusia terhadap ciptaan lain. Merasa mendapat berkat khusus dari Allah manusia mengelola alam sewenang-wenang hingga merusak keseimbangan dan kelestarian alam.
(3) Memang sepintas berkat Allah agar manusia “menaklukkan” dan “menguasai” segala jenis binatang kedengarannya berbau kekerasan.
Marilah kita melihat konteks Kej 1:1-2:4a. Konteks ini berbicara tentang Allah sebagai Pencipta yang menciptakan semesta alam ini baik, indah, teratur, dan harmonis.
Adalah sangat tidak masuk akal bila pada puncak karya penciptaan-Nya, Ia memerintahkan manusia untuk memperlakukan dan mengelola alam semesta secara sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab.
Selain itu, berkuasa merupakan bentuk gambar Allah dalam diri manusia, karena itu dalam mengejawantahkannya manusia harus bercermin pada Allah.
Allah menunjukkan kekuasaan-Nya tanpa kekerasan, tanpa menghancurkan apa-apa. Bahkan kuasa kejahatan pun tidak dihancurkan-Nya, sebaliknya dari kejahatan Ia mampu melahirkan kebaikan.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengartikan ayat ini sebagai hak manusia melakukan tindak kekerasan atas binatang dan ciptaan yang lainnya.
Demikian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia terlihat pertama-tama dalam kapasitas kreatif dan kuasa yang dimiliki manusia. Kapasitas ini ada terutama karena manusia memiliki akal budi.
Dengan karya-karyanya yang kreatif manusia melanjutkan karya penciptaan Allah, mencerminkan, dan mewakili Allah - Pencipta di bumi.
Ketika kekuasaan itu buah kreativitas manusia yang mencerminkan Allah di dunia, ia memperlihatkan sesuatu tentang Allah: kasih, kemurahan hati dan kebaikan.
[29-30]. Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya."
Perbedaan pemberian makan ini menghindari konflik dengan kekerasan antara manusia dan binatang dalam memperebutkan makanan. Manusia juga tidak makan daging binatang sehingga tidak perlu melakukan kekerasan menyembelih dan mencurahkan darah binatang.
Baru setelah air bah, daging binatang boleh dimakan manusia (Kej 9:3-4). Alasannya? Karena pada saat itu tanah belum menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Jadi, boleh manusia makan daging binatang yang ada dalam bahtera.
[Kej 2:2] Ketika Allah pada (1) hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, (2) berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu.
(1) Kej 2:2a kedengarannya agak janggal, maka penulis LXX (Septuaginta = terjemahan Kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani) mengganti hari ke tujuh” pada dengan hari “keenam” (“Ketika Allah pada hari keenam telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, ...”). Kalimat ini juga sesuai dengan perintah Sabat pada Kel 20:8-11.
Namun, para rabbi Yahudi menandaskan bahwa “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu bukan suatu kesalahan tulis. Hal itu menunjukkan bahwa karya penciptaan baru sempurna pada hari ketujuh, yakni dengan “diciptakannya” istirahat itu sendiri.
Jadi, penciptaan baru sempurna dengan beristirahat-Nya Allah. Allah beristirahat bukan karena Ia letih. Allah beristirahat karena Ia mau menarik diri dari karya penciptaan sehingga Ia dapat memandang, mengagumi, dan menikmati karya-Nya.
(2) Dengan beristirahat pada hari ketujuh, Allah menunjukkan bahwa Dia mampu menguasai, membatasi, dan mengontrol kekuasaan-Nya. Dia tidak diperbudak oleh kuasa-Nya untuk terus-menerus mencipta tanpa henti.
Inilah Dia yang benar-benar mahakuasa, yakni Dia yang mampu menguasai segalanya termasuk kuasa-Nya sendiri sehingga Dia tetap tuan atas kuasa-Nya.
[2:3] Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu.
» kata menguduskan adalah terjemahan kata Ibrani qadas yang sejatinya berarti “memisahkan” atau “mengkhususkan” dari yang lain. Allah memisahkan hari ketujuh dari hari yang lain sehingga menjadi hari yang khusus, hari milik Tuhan. karena dikhususkan untuk Allah, ia pun akhirnya memiliki makna keagamaan dan disebut hari Sabat. Untuk menjamin pengudusannya, dirumuskanlah hukum Sabat dalam Dekalog (Sepuluh Firman).
Enam hari kerja secara simbolis dikaitkan dengan masa perbudakan, sedangkan Sabat dikaitkan dengan saat pembebasan.
Sabat mengenang tindakan Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir. Ia membuat Israel menjadi manusia yang manusiawi, bangsa yang otonom dan berdaulat, subjek yang bebas yang memiliki hak dan martabat.
Dengan menguduskan hari Sabat Israel diingatkan bahwa ia orang bebas yang tidak boleh diperbudak oleh apa pun, termasuk kerja. Ia juga diingatkan bahwa kebebasan dan keselamatannya adalah pemberian Tuhan dan bukan pekerjaan tangan mereka sendiri. Karena itu, pada hari Sabat Israel mengucap syukur kepada Tuhan dan hidup dalam sukacita.
Makna dasar hukum Sabat bukanlah beristirahat, melainkan pembebasan dari perbudakan yang tersirat dalam beristirahatnya Allah pada hari ketujuh dan keluarnya Israel dari perbudakan Mesir.
Orang Yahudi yang terlalu menekankan istirahat dalam peraturan Sabat yang begitu ketat, tanpa sadar justru menghilangkan makna dasar hukum Sabat. Mereka menjadi budak peraturan itu.
Yesus sering melanggar hukum Sabat untuk meluruskan pemahaman mereka (Mat 12:1-8, 9-15; Mrk 2:23-28; 3:1-6; Luk 6:1-5, 6-11; 13:10-17; 14:1-6); Yoh 5:1-18). Berkali-kali Ia menekankan bahwa manusia adalah tuan atas hari Sabat dan bukan budak hari Sabat (Mrk 2:27-28; Luk 6:5).
Bagi orang Kristen pembebasan sempurna dari perbudakan, khususnya perbudakan dosa, dilakukan oleh Kristus melalui sengsara dan kebangkitan-Nya. Kebangkitan-Nya itu terjadi pada hari Minggu, hari pertama dalam minggu (Mat 28:1; Mrk 16:2, 9; Luk 24:1; 20:1). Karena itu sepatutnyalah Gereja merayakan Sabat pada hari Minggu dan bukan hari Sabtu.
Orang Kristen beribadah merayakan karya penebusan Kristus yang membebaskan mereka dari perbudakan dosa, dan kerinduan mereka akan kedatangan Kristus yang kedua kalinya sebagai pemenang yang jaya.
Hari Minggu merupakan hari pertama dari semua hari dan semua pesta, karena dia adalah hari ciptaan baru yang dimulai oleh kebangkitan Kristus, yang menyempurnakan kebenaran rohani Sabat Yahudi.
Kebiasaan merayakan hari Minggu, hari pertama dalam minggu, sudah ada sejak zaman Gereja awali (Kis 20:7). Mereka juga menyebut hari itu hari Tuhan (Why 1:10) meskipun istilah hari Tuhan lebih banyak mengacu ke akhir zaman, hari kedatangan Kristus yang kedua kalinya (1 Kor 1:8; 3:13; 5:5; 2 Kor 1:14; 2 Ptr 3:10).
Enam hari karya penciptaan ini dilengkapi dengan istirahat pada hari ketujuh dan ditutup dengan pernyataan "Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan" (Kej 2:4a).
Penutup ini pararel dengan pengantar pada Kej 1:1, sehingga membentuk sebuah inclusio yang sangat indah. Inclusio adalah sebuah gaya menulis di mana lesatuan suatu cerita ditunjukkan melalui pemakaian kata atau ide yang sama atau bertentangan di awal dan di akhir cerita.
(Sumber: Warta KPI TL No. No.143/III/2017 » Perempuan sumber dosa?, Dr Penka Yasua).