19.35 -
*Padang gurun*
Kerahiman Allah saat hidup gelap
Kedatangan-Nya untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan (Yes 61:1-2).
Jadi, Allah kaya dengan kerahiman (Ef 2: 4), Ia menyatakan kasih-Nya seperti yang dilakukan oleh seorang ayah atau seorang ibu, yang bergerak menuju kedalaman demi kasih bagi anak mereka.
Dia penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya (Kel 34:6). Dia tidak pernah lelah membuka pintu hati-Nya dan mengulangi bahwa Ia mengasihi kita dan ingin berbagi kasih-Nya dengan kita.
Kerahiman-Nya secara nyata ditunjukkan dalam banyak tindakan-Nya sepanjang sejarah keselamatan di mana kebaikan-Nya menang atas hukuman dan kehancuran (Mzm 103:3-4; 146:7-9; 147:3,6).
Kasih Allah terwujud dalam semua peristiwa baik yang menyenangkan maupun yang paling pahit. Keyakinan akan belas kasih Allah ini membuat kita lebih kuat dalam menghadapi segala sesuatunya, sebab kita sadar bahwa Allah senantiasa ada di belakang kita.
Hendaknya kesadaran akan belas kasih Allah tidak berhenti hanya untuk kita nikmati sendiri, melainkan harus kita bagikan pada sesama.
Cinta kasih haruslah menjadi perbuatan nyata, ada harga yang harus dibayar. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memberi sampai diri sendiri merasa sakit.
Cinta sejati berani mengosongkan diri dan terluka karena cinta mengajak diri sendiri untuk berubah, menjadikan kita senantiasa terus menerus memperbaharui diri untuk mencari sesuatu yang disenangi atau disukai guna membantu dan menyembuhkan orang yang kita cintai. Kesediaan untuk hadir dan mendengarkan orang lain.
Tujuh aksi kasih jasmani:
1. Memberi makanan kepada orang yang lapar.
2. Memberi minuman kepada orang yang haus.
3. Memberi perlindungan kepada orang, kepada orang asing.
4. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
5. Melawat orang sakit.
6. Mengunjungi orang yang dipenjara.
7. Menguburkan orang mati.
Tujuh aksi kasih rohani:
1. Menasihati orang yang ragu-ragu.
2. Mengajar orang yang belum tahu.
3. Menegur pendosa.
4. Menghibur orang yang menderita.
5. Mengampuni orang yang menyakiti.
6. Menerima dengan sabar orang yang menyusahkan.
7. Berdoa untuk orang yang hidup dan mati.
Marilah kita belajar dari ibu Teresa
Suatu hari di bulan Agustus, tanggal 26 tahun 1910, lahirlah seorang bayi perempuan dari keluarga Bojaxhiu yang saleh, di kota Skopje, Albania. Bayi kecil ini dibaptis dan diberi nama Agnes Gonxha, yang berarti “kuncup bunga”.
Ketika usia 12 tahun, Agnes ingin menjadi suster di India. Hal ini terjadi karena Romo parokinya sering menunjukkan majalah misi “The Chatolic Mission”. Dalam majalah itu sering ditulis mengenai India.
Pada usia 18 tahun tahun, bulan September 1928, Agnes masuk Biara Suster-suster Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa sebagai kenangan akan St. Theresia Lisieux.
Setiap kali membuka jendela biaranya dia langsung melihat perkampungan kumuh yang sangat kotor, orang yang kelaparan, sakit parah tanpa mampu berobat, orang yang mati di sembarang tempat karena kelaparan dan penyakit. Melihat semua itu batinnya bergolak. Pergulatannya dibawa dalam doa.
Dalam perjalanannya naik kereta api ke Darjeeling pada tanggal 10 September 1946, Ibu Teresa mendapat 3 x penampakan: (1) orang-orang miskin (2) orang-orang miskin dan Bunda Maria (diam, tidak berkata apa-apa). (3) orang-orang miskin, Yesus dan Bunda Maria (berkata: “Layanilah mereka demi putraku Yesus Kristus).
Inti dari panggilan ini adalah “datang dan jadilah cahaya bagi-Ku”; dipanggil menjadi cahaya Tuhan untuk membawakan terang kasih Allah.
Sejak saat itu hati Ibu Teresa dipenuhi hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa-jiwa” dengan “berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari yang miskin”.
Namun Paus Pius XII tidak mengijinkannya tinggal di luar biara. Berkat penyelenggaraan ilahi, maka dua tahun kemudian Paus mengeluarkan suatu dekrit yang menjelaskan bahwa Ibu Teresa dibebaskan dari tembok biara, tetapi ia masih tetap biarawati dan harus mentaati kaulnya untuk menjalani kehidupan suci, miskin dan patuh.
Tanggal 21 Desember Ibu Teresa memulai kehidupan barunya hanya berbekal sandal pemberian suster-suster di Patna, sebuah salib kecil yang disematkannya dengan peniti ke bagian bahu sebelah kiri dari kain sarinya, dan uang lima rupee yang merupakan pemberian Uskup Agung Kalkuta.
Setelah keluar dari biara, ibu Teresa ditampung oleh sebuah keluarga yang baik hati. Setiap pagi dia ke luar rumah berjalan-jalan, siang hari pulang makan lalu berjalan-jalan lagi.
Panggilan Tuhan sangat jelas bahwa dia dipanggil untuk melayani orang miskin, namun Tuhan tidak menyatakan bagaimana cara memulai misi tersebut.
Suatu ketika dia melihat anak-anak kecil sedang bermain. Ibu Teresa bertanya kepada mereka, inilah dialog mereka: “Kamu kok tidak sekolah?” “Tidak.” “Mengapa tidak sekolah.” “Kami tidak mempunyai uang.” “Maukah kamu saya ajari?” “Mau.”
Lalu ibu Teresa memotong sebatang ranting dari dahan dan mencari sebidang tanah. Dia mengajari anak-anak tersebut membaca, menulis dan berhitung hanya dengan tanah dan ranting pohon sebagai papan tulis dan kapur.
Para orang tua sangat senang sekali melihat perkembangan anak-anaknya, maka mereka secara bergotong royong membuat papan tulis, bahkan ada yang menyediakan rumah kosong untuk tempat belajar. Akhirnya ada banyak orang yang tertarik mengikuti jejaknya, terutama bekas murid-muridnya.
Di India ada sistem kasta. Bagi yang tidak mempunyai kasta, rumah sakit tidak mau melayaninya, mereka dibuang di pinggir jalan. Melihat kenyataan itu, Ibu Teresa menampung mereka di rumah penampungan yang berdekatan dengan kuil.
Suatu ketika ibu Teresa didemo karena dia dianggap mau meng-kristen-kan. Akhirnya walikota turun tangan, dia berkata: “Maaf, suster harus pergi dari sini!” Jawab ibu Teresa: “Baik, saya akan pergi sekarang. Tetapi ada satu syarat, pendemo harus menggantikan kami melayani.” Mendengar penjelasan walikota, para pendemo satu persatu meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa bulan kemudian, ibu Teresa menemukan seseorang sakit kusta di tengah jalan dan membawanya ke rumah penampungan orang sakit. Orang tersebut bertanya: “Mengapa suster mau merawat saya, padahal saya adalah pemimpin dari pendemo beberapa bulan yang lalu?” jawabnya: “Bagaimanapun juga kamu adalah saudaraku.”
Ketika Tuhan memberikan sebuah misi, Dia selalu memasukkan kita ke dalam proses pemurnian, kebijakan, ketaatan dan doa (Paus Fransiskus)
Ketika proses beatifikasi, para penyelidik menemukan buku hariannya dan surat-menyurat kepada pembimbing rohaninya.
Di sinilah orang baru tahu bahwa ibu Teresa juga mengalami kegalauan dalam pelayanannya. Doanya: “Tuhan, mengapa doa-doaku kosong dan kering. Mengapa Engkau tidak menjawab doa-doaku. Tuhan, Engkau ada di mana, mengapa Engkau bersembunyi?”
Tetapi segala kegalauannya itu disimpannya dalam hati. Beda dengan kita, kegalauan kita diumumkan kepada orang lain.
Dalam kegelisahannya, ibu Teresa bertanya pada pembimbing rohaninya. Pembimbing rohaninya memberikan sebuah buku “Malam Gelap, St. Yohanes Salib” untuk direnungkannya dan menyuruhnya untuk banyak membaca bacaan rohani tentang kesaksian orang kudus dalam menjalani misi yang telah ditetapkan Tuhan bagi mereka.
Inilah perenungan ibu Teresa sehingga dia bisa keluar dari kegelapan iman selama ± 40 tahun.
Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pkh 3:1-15), ketika mengalami pencobaan Tuhan memberikan jalan ke luar sehingga dapat menanggungnya (1 Kor 10:13).
Setiap manusia yang hatinya bertobat dan mau mengabdi kepada-Nya akan mengalami “suatu malam gelap” dalam hidupnya. Karena Tuhan ingin mendidik orang yang dikasihi-Nya (Ibr12:5-12) agar dapat memenuhi panggilan-Nya, yaitu memperoleh berkat dan memberkati (1 Ptr 3:9).
Tujuan malam gelap untuk membersihkan dan memurnikan jiwa dari segala kekurangan akibat dari 7 dosa pokok.
Ingatlah! Tuntutan mutlak dari Injil, yaitu: menyangkal diri (Mat 16:24). Kita tidak akan berhasil seratus persen dalam memenuhi tuntutan ini tanpa bantuan istimewa dari Allah (anugerah kontemplasi – membersihkan hati manusia).
Ketika mengalami kegelapan, ibu Teresa mengubah doanya: “Tuhan berilah saya kegelapan yang semakin gelap, kesunyian yang semakin sunyi, kekeringan yang makin kering. Kalau saya menjadi seorang santa, saya ingin menjadi orang suci bagi mereka yang mengalami kegelapan. Lebih baik saya tidak berada di sorga untuk menemani mereka yang mengalami kegelapan.”
Kontemplasi bukan berarti menjauhkan diri ke tempat yang sunyi melainkan membuka jalan dan memberi tempat kepada Yesus, supaya Ia dapat hidup dalam kita, dalam penderitaan-Nya, dengan cinta dan kerendahan-Nya, dalamnya Ia berdoa bersama kita, selalu tinggal bersama kita, dan melalui kita Ia menuntun manusia kepada kekudusan.
Hidup kontemplasi kita ditentukan oleh kesederhanaan. Dengan demikian kita dapat melihat wajah Allah di mana-mana dalam semua hal dan dalam semua orang. Kita mengenal-Nya dalam semua peristiwa.
Untuk belajar hidup kontemplasi kita tidak terlalu mengandalkan buku-buku yang ditulis manusia, melainkan kita akan berpaling pada Yesus dan memohon Roh-Nya mengajari kita.
Hidup kontemplasi berarti Yesus di dalam kita dan kita di dalam Dia. Untuk dapat melihat dan memandang Allah dibutuhkan hati yang bersih, yang bebas dari iri hati, kemarahan, perselisihan, dan terutama bebas dari segala kekejaman.
Bagi seorang kontemplatif, iman yang hidup berarti:
• Percaya secara absolut tanpa syarat dan tak tergoyahkan kepada Allah sebagai Bapa yang penuh kasih sayang, meskipun pada saat kita kelihatannya gagal. Hanya memandang kepada Allah yang adalah Penolong dan Pelindung kita.
• Tidak bimbang dan ragu serta putus asa, melainkan menyerahkan semua ketakutan dan kecemasan kita kepada Tuhan dan dalam kebebasan yang besar kita melangkah dalam jalan hidup kita.
• Teguh dan tanpa takut menghadapi semua kesulitan dan tantangan, karena kita tahu bahwa bagi Allah tak ada sesuatu pun yang tidak mungkin.
• Percaya kepada Bapa kita di sorga sebagai seorang anak dengan keyakinan yang kukuh bahwa kita adalah tidak ada apa-apanya. Dalam kepercayaan yang tak terbatas kepada kebaikan-Nya sebagai Bapa, kita mau menyerahkan diri kepada-Nya secara mantap.
Dia menyadari bahwa doa adalah kunci dan iman membukakan pintu untuk keajaiban. Jadi, dia berhenti bertanya kepada Tuhan, melakukan bagiannya dan mulailah mempercayai-Nya.
Doa adalah komunikasi dengan Allah secara pribadi - bukanlah meminta, tetapi menempatkan diri kita dalam tangan Tuhan, mengarahkan diri kepada-Nya, dan mendengarkan suara-Nya di lubuk hati kita.
Berdoa membuat hati menjadi lapang, sehingga pada akhirnya dapat menampung rahmat dari Allah - meneguhkan iman, melahirkan cinta dan pelayanan. Namun orang yang melayani tanpa berdoa dia akan kosong.
Karena Tuhan menyuruh agar kita berdoa terus-menerus, maka seluruh hidup kita harus diresapi sedikit demi sedikit dengan doa. Kerja dan karya kita haruslah menjadi doa tetapi jangan pernah ia menggantikan doa kita - karya bersumber dari doa dan doa bermuara dalam karya.
Doa batin dapat terbentuk melalui kesucian hati, melalui latihan-latihan tapa badani dan melalui mati raga pancaindra; ia dapat ditumbuh kembangkan juga melalui kecondongan hati kita pada Allah.
Kita membutuhkan suatu kehidupan doa yang mendalam, supaya dengan demikian dapat mencintai, seperti halnya Yesus mencintai setiap kita masing-masing.
Dalam dunia yang penuh pergolakan dan kekacauan ini, seharusnya kita bersyukur diberi banyak kesempatan oleh Yesus supaya banyak orang yang menderita memperoleh pengharapan melalui penyerahan dan pengorbanan kita, sehingga mereka menemukan arti hidup ini.
Setiap hari Ibu Teresa memulai hari barunya dengan persatuan dengan Yesus dalam Ekaristi, lalu kemudian pergi dengan rosario di tangan, untuk mencari dan melayani Dia dalam “mereka yang terbuang, yang teracuhkan, yang tak dikasihi”.
Dalam ketenangan, kita memandang semuanya dalam suatu terang baru sehingga kita mempunyai kontak batin dengan orang lain.
Menciptakan batin yang tenang memang sulit dan menuntut kesabaran. Dalam keheningan dan ketenangan, kita dapat menimba kekuatan baru, menemukan kesatuan dengan Allah dan dengan demikian dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik.
(Sumber: Warta KPI TL No.138/X/2016 » Renungan seminar Kerahiman Allah saat hidup gelap, Romo Krisnapurwana Cahyadi, SJ).