Minggu, 18 Desember 2016

00.19 -

Mengenal Yesus Kristus dan sebagian nenek moyang-Nya

Silsilah Yesus Kristus

Ada banyak ketidakcocokan nama bila kita membandingkan silsilah menurut Matius dengan silsilah menurut Lukas. Dari daftar raja-raja, antara raja Yoram dan Uzia (ay 8). Matius menghapus beberapa nama yang dikenal oleh Perjanjian Lama, yaitu Ahasia, Yoas dan Amazia.

Beberapa ketidakcocokan lain bisa juga ditemukan. Perbedaan ini termasuk, siapa nama ayah dari Yusuf (dalam Injil Matius bernama Yakub, dalam Injil Lukas bernama Eli). Semua ketidakcocokan itu menunjukkan bahwa tujuan utama Matius bukanlah menyusun sebuah silsilah yang tepat dan benar secara historis.

Tujuan utama Matius tampak jelas dari baris pertama Injilnya, yaitu menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah "Anak Daud dan Anak Abraham" (Mat 1:1).

Melalui silsilah ini Matius ingin menunjukkan siapa jati diri Yesus itu, yaitu bahwa Dia adalah Mesias, seperti yang dijanjikan Allah kepada Abraham dan Daud. Itulah arti ayat pembukaan Injil Matius: "Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham".

Tekanan istimewa diletakkan Matius pada kata "Kristus" yang artinya sama dengan Mesias. Hal ini secara mencolok ditekankan dua kali oleh Matius yaitu pada ayat 16: "... Yang dilahirkan Yesus yang disebut Kristus" dan ayat 17: "... Empatbelas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus".

Jadi, penekanan pada kata "Kristus" secara sangat jelas menunjukkan tujuan utama Matius dalam menulis silsilah ini, yaitu menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias, Sang Kristus yang dijanjikan Allah kepada Abraham dan kepada Daud.

Anak Daud, anak Abraham

Yesus disebut "anak Daud". Allah pernah menjanjikan kepada Raja Daud: "Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh selama-lamanya" (2 Sam 7:16). Matius menunjukkan bahwa janji Allah itu terpenuhi dalam diri Yesus, keturunan Daud itu.

Kenyataan bahwa Yesus bukanlah keturunan Yusuf secara biologis tidaklah penting dan menentukan bagi masyarakat Yahudi. Dalam lingkup masyarakat Yahudi, yang penting ialah bahwa secara yuridis dan sosial Yesus adalah keturunan Daud, sebab Maria adalah istri resmi dari Yusuf, keturunan Daud.

Juga penting diperhatikan bahwa Yusuf-lah yang memberi nama kepada Yesus (Mat 1:25), sehingga Yesus itu benar-benar secara yuridis dan sosial anak Yusuf. Jadi, Yesus adalah keturunan Daud.

Yesus disebut "anak Abraham". Yesus adalah keturunan Abraham, baik dalam arti jasmani maupun rohani. Dengan menekankan bahwa Yesus adalah keturunan Abraham, Matius hendak menunjukkan bahwa Yesus itulah pemenuhan janji Allah kepada Abraham: "... Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kej 12:3).

Seperti kita ketahui bahwa Matius menuliskan Injilnya untuk orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, Abraham adalah Bapa mereka.

Maka penekanan Matius secara serentak "anak Daud, anak Abraham," hendak mengatakan bahwa Yesus Kristus itu adalah pemenuhan janji Allah akan kedatangan Mesias dari keturunan Daud dan bahwa Yesus Kristus sekaligus adalah pemenuhan janji Allah kepada Abraham, Bapa mereka. Yesus Kristus adalah berkat bagi banyak orang bukan Yahudi yang percaya pada Yesus sebagai Mesias.

Penyebutan "anak Abraham" ini juga hendak menetralisir kesan seolah Yesus merajai manusia dengan kekuatan duniawi dan sebagai raja duniawi yaitu "anak Daud".

Menekankan bahwa Yesus juga keturunan Abraham, yang tidak pernah duduk di atas tahkta seperti Daud, berarti menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias yang merajai kita secara rohani dan menjadi berkat dalam arti seluas-luasnya. Ia membawa keselamatan seperti Abraham, bapa segala kaum beriman.

Yehuda

Yehuda adalah saudara yang menjual Yusuf (Kej 37:26-28) dan menggauli pelacur, yang ternyata adalah menantunya sendiri (Kej 38:12-19).

Hal ini mau menyatakan bahwa dalam karya penyelamatan-Nya Allah seringkali tidak memilih orang yang paling baik, atau luhur atau saleh. Maka, manusia tidak bisa mengklaim bahwa Allah tergantung pada kebaikan atau jasa manusia. Allah bertindak secara bebas dan tidak bergantung pada manusia.

Allah bisa menggunakan hal-hal yang tidak baik di dunia iniuntuk melakukan rencana-Nya. Di sini tampak keunggulan rahmat atau situasi dosa manusia. Penyelamatan terjadi hanya karena rahmat Allahyang mampu mengubah kelemahan dan kedosaan manusia.

Banyak raja-raja dalam silsilah Yesus yang disebut Matius dianggap tidak setia pada hukum Allah, kecuali Hizkia dan Yosia. Raja-raja lainnya adalah penyembah berhala, pembunuh, orang yang mengejar kekuasaan dan wanita.

Puncaknya ialah Daud sendiri, yang menikahi istri bawahannya, Uria, orang Het, dan kemudian merancang peperangan untuk membunuh Uria.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pertimbangan-pertimbangan Allah berbeda dengan pertimbangan manusia. "Pikiran-Ku bukan pikiranmu. Jalan-Ku bukan jalanmu (Yes 55:8). Rencana Allah seringkali tak terduga dan tak terselami.

Maka kita harus mengatakan bahwa kelemahan dan dosa manusia tidak mampu menghadang atau membatalkan karya Allah dalam rahmat-Nya.

TamarRahabRutBatsyeba

Tidak biasanya nama-nama wanita muncul dalam sebuah silsilah Yahudi. Wanita tidak mempunyai hak legal dan tidak bisa menjadi saksi di pengadilan. Wanita dipandang bukan sebagai pribadi, tetapi sebagai barang. Wanita adalah milik bapaknya atau milik suaminya, dan terserah padanya bagaimana wanita itu akan diperlakukan. Dia tidak diperhitungkan.

Misalnya dalam pergandaan roti, dikatakan ada kira-kira "lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak" (Mat 14:21).

Masalahnya menjadi lebih mengherankan bila kita melihat identitas dan perbuatan masing-masing dari keempat wanita tersebut.

Tamar adalah wanita yang menikah dengan dua saudara laki-laki tanpa mempunyai anak. Kemudian Tamar melacurkan dirinya dengan bapa mertuanya, Yehuda, sampai hamil (Kej 38).

Profesi Rahab adalah pelacur. Rahab terlibat dalam pengintaian dan penyerbuan Yerikho (Yos 2:1-7).

Rut keturunan Moab, bangsa yang dibenci dan dipandang hina (Rut 1-4; Kel 23:3). Rut dikenal sebagai wanita pekerja keras, rela berkorban dan sangat setia.

Istri Uria, Batsyeba (2 Sam 11), yaitu ibu Salomo. Dia adalah wanita yang dirayu oleh Daud dan demi mendapatkannya Daud telah melakukan kekejian agar Uria terbunuh (2 Sam 11 dan 12).

Reputasi keempat wanita itu tidak baik, namun Matius memasukkannya ke dalam garis nenek miyang Yesus. Menurut pepatah Jawa, garis "bibit" Yesus menjadi kurang terhormat dengan kehadiran keempat wanita tersebut. Mengapa Matius menyertakan mereka?

Pada awal Injilnya, Matius menunjukkan kepada kita inti dari Injil Yesus Kristus, yaitu runtuhnya berbagai pemisahan karena Allah mampu bertindak mengatasi kelemahan manusia.

Pertama, pemisahan antara Yahudi dan non-Yahudi (kafir) diruntuhkan. Rahab, wanita Yerikho, dan Rut, wanita Moab, termasuk nenek moyang Yesus Kristus.

Sejak awal Injilnya, Matius menunjukkan kebenaran ajaran Yesus bahwa dalam Dia, tidak ada Yahudi atau Yunani. Semua orang beroleh kasih Allah dan mendapatkan kabar gembira. Allah yang satu itu adalah Tuhan semua orang (Rm 10:12; Gal 3:28).

Kedua, pemisahan antara pria dan wanita juga diruntuhkan. Pada umumnya, silsilah tidak mengikutsertakan wanita. Kehadiran keempat wanita itu menghapuskan pandangan negatif tentang wanita.

Baik wanita maupun pria adalah citra Allah (Kej 1:27). Dalam Yesus Kristus, perbedaan antara pria dan wanita tidaklah penting (Gal 3:28).

Ketiga, pemisahan antara orang kudus dan pendosa digugurkan. Allah mampu mengatasi kelemahan manusia dan menggunakan para pendosa untuk melaksanakan rencana-Nya.

Garis keturunan Yesus menunjukkan betapa Allah mau mendatangi orang yang berdosa karena Yesus "datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (Mat 9:13). Yesus menerima para pendosa apa adanya.

Dengan kehadiran keempat wanita itu, sejak awal Matius hendak menunjukkan misi dan program pelayanan Yesus, yang solider dengan kita manusia bahkan dalam keburukan yang terdalam.

Yesus solider dengan kita dalam penderitaan, kehinaan, kegembiraan dan dalam memaafkan satu sama lain.

Melalui Yesus, Allah hendak membuat semuanya baik dan menyatukan seluruh umat manusia menjadi satu keluarga Allah.

Yusuf

Dalam tradisi Yudaisme, garis keturunan diruntut menurut garis ayah, bukan dari garis ibu. Hal ini tampak jelas dalam deretan nama bapa bangsa dalam silsilah. Karena itu, jika Yesus disebut keturunan Daud maka garis keturunan-Nya haruslah berasal dari Yusuf, bukan dari Maria.

Dalam tradisi Yudaisme, yang dipentingkan bukan garis keturunan biologis, tetapi fakta yuridis, yaitu pengakuan bapa terhadap anaknya.

Yusuf memberikan pengakuan bahwa Yesus adalah anaknya dengan memberi nama kepada anak itu (Mat 1:21, 25). Karena itu, Yesus secara sah disebut keturunan Daud. Kerjasama Yusuf membuat rencana Allah terlaksana, yaitu bahwa Mesias akan lahir dari keturunan Daud.

Matius menunjukkan kebesaran Yusuf dengan menyebut dia sebagai "orang yang tulus hati" (Mat 1:19). Artinya, Yusuf adalah seorang yang mentaati perinta Yahweh, atau seorang yang memenuhi "perjanjian" dengan Yahweh.

Yusuf adalah pria yang "tulus hati," yang mendapatkan tawaran Allah untuk menjadi bapa asuh dari Putra yang dikandung dari Roh Kudus.

Matius membuktikan kebesaran Yusuf sebagai seorang yang beriman kepada Tuhan ketika dia harus mengambil keputusan berkaitan dengan Maria yang mengandung sebelum mereka hifup bersama.

Matius melukiskan kebesaran Yusuf dengan menulis "Sesudah bangun dari tidurnya. Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya" (Mat 1:24). Memang tidak ada kata-kata lisan yang diucapkan Yusuf, tetapi tindakannya perwujudan ketaatan dan penyerahan diri Yusuf.

Ketaatan Yusuf ini diwujudkan dengan menerima Maria bukan hanya sebagai tunangannya, tetapi sebagai istrinya. Tuhan menghendaki Yusuf melanjutkan pernikahannya dengan Maria. Dengan demikian, kesediaan Yusuf itu menutupi "misteri" mengandungnya Maria (Mat 1:20).

Demikian pula Yusuf menerima bayi yang dikandung Maria, dan mengakui bayi itu sebagai anaknya secara yuridis, yaitu dengan memberi nama pada bayi itu.

Tindakan memberi nama adalah tindakan kebapaan yang mengakui anak itu sebagai anaknya. Dengan begitu Yusuf memikul tanggungjawab untuk mengurus dan mendidik anak itu.

Meskipun secara biologis Yusuf bukanlah bapa dari Putra Maria, tetapi Yusuf memberikan "garis keturunannya" kepada Yesus. Juga secara sosial dan insani, Yusuf ikut serta mengasuh, mengasah dan mengasihi Yesus. Yusuf menjadi bapa dari anak itu, baik dari sudut emosional, sosial maupun hukum.

Yusuf menyertai Yesus pada tahap-tahap awal hidup Yesus. Dengan kata lain, Yusuf menjadi ayah Yesus secara manusiawi. Masyarakat mengakui Yusuf sebagai bapa Yesus (Luj 3:23; 4:22; Yoh 6:42).

Yesus Kristus

Kita perlu menyadari bahwa Injil-injil bukanlah riwayat hidup atau biografi Yesus Kristus tetapi adalah kesaksian iman dari para Rasul tentang kebangkitan Yesus Kristus.


Dengan demikian kita bisa mengerti mengapa Injil yang tertuaMarkus, tidak mengikut sertakan "kisah masa kanak-kanak Yesus". Di lain pihak Injil Matius dan Lukas, meskipun mengikutsertakan kisah masa kanak-kanak Yesus, juga bukanlah biografi.

Kepedulian utama para penulis Injil ialah memberikan kesaksian tentang jati diri Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya.

Kesadaran para murid tentang jati diri yang sesungguhnya dari Guru mereka dipicu oleh peristiwa kebangkitan. Kebangkitan adalah tema utama pewartaan awali dan titik tolak penghayatan iman pada Yesus Kristus.

Kebangkitan adalah momen kristologis yang menyingkapkan jati diri Yesus sebagai Putra Allah: "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah ... Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus." (Kis 2:32,36; 5:31).

Kebangkitan Yesus dari alam maut inilah juga yang menunjukkan relasi Yesus dengan Allah Yahweh, yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.

Kebangkitan Yesus dipandang sebagai pemenuhan dari Sabda Allah dalam Mzm 2:7, "Anak-Ku Aku telah kuperanakkan Engkau pada hari ini." (Kis 13:33).

Inilah pernyataan iman Gereja awali yang dirujuk Paulus dalam Rm 1:4 yaitu "Oleh kebangkitan dari antara orang mati Yesus dinyatakan sebagai Anak Allah yang berkuasa menurut Roh Kekudusan."

Fokus pada kebangkitan ini menunjukkan tahap paling awal dalam proses pembentukkan Injil.

Ketika pewartaan tidak lagi dibatasi hanya pada kematian dan kebangkitan Yesus, orang ingin mengenal lebih lengkap pribadi Yesus, yaitu pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah baik dalam bentuk pengajaran maupun mujizat-mujizat-Nya.

Timbullah pada saat itu kesadaran bahwa jika kebangkitan membuat mereka mengenali Yesus sebagai Allah, tentu jati diri sebagai Allah ini juga sudah ada sejak awal penampilan-Nya di depan publik.

Seluruh pelayanan-Nya pasti sudah diresapi oleh ke-allahan-Nya. Kebangkitan hanyalah menyingkapkan martabat keilahian yang memang sudah ada pada-Nya sebelumnya. Inilah proses lebih lanjut dalam proses pembentukan Injil.

Kesadaran baru ini yang tercermin dalam injil yang tertua. Dia mengawali injilnya dengan pembaptisan Yesus Kristus sebagai momen kristologis, yang mewahyukan jati diri ilahi dari Penyelamat.

"Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." (Mrk 1:11) Markus memindahkan momen kristologis dari kebangkitan ke pembaptisan, yaitu awal karya Yesus di hadapan publik. Roh Kudus turun atas Dia dan menyertai-Nya dalam seluruh pengajaran dan mujizat-mujizat-Nya.

Momen kristologis dinyatakan melalui mulut malaikat, yaitu bahwa anak yang dikandung Maria itu berasal dari Roh Kudus (Mat 1:20; Luk 1:35), dan bahwa Anak itu "akan disebut kudus, Anak Allah." (Luk 3:38).

Dengan demikian, kisah masa kanak-kanak bukanlah sekedar biografi, tetapi sarana penyampaian kabar gembira keselamatan, yaitu wahyu tentang jati diri Yesus Kristus.

Kelahiran Yesus adalah fakta historis, bukan dongeng, bukan mitos atau sekadar kiasan (Luk 1:1-20). Dia dilahirkan dari seorang wanita, sama seperti semua anak di dunia ini. 

Tetapi yang paling penting bukanlah pengetahuan tentang kisah historis itu sendiri, tetapi pesan "kabar gembira"-nya yaitu bayi yang dilahirkan ialah Tuhan.

Iman akan Yesus Tuhan ini dilandaskan pada fakta historis, tetapi harus melampauinya. Iman ini bukan hanya soal akal budi, tetapi soal hati yang mau terbuka mengakui karya Allah.

Penjelmaan Putera Allah bukanlah hanya pada penampilan luar saja, tetapi sungguh-sungguh menjadi sama dengan manusia. Secara lahiriah Yesus dilahirkan dari seorang wanita (Gal 4:4), mempunyai "tubuh jasmani" (Kol 1:22).

Menurut daging, Yesus dilahirkan dari benih Daud (Rm 1:3) dan termasuk bangsa Israel (Rm 9:5). Paulus menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan berbagai ungkapan "mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Flp 2:7), "yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa" (Rm 8:3), telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia" (1 Tim 3:16). Surat kepada orang Ibrani merangkumnya dengan mengatakan bahwa Dia menjadi manusia sama seperti kita kecuali dalam hal dosa (Ibr 2:14; 4:15).

Selain tubuh lahiriah, Yesus sungguh mengalami semua yang kita alami, misalnya kelemahan (2 Kor 13:4), penderitaan (Ibr 5:8) dengan puncaknya di Kalvari (Bdk. Flp 3:10; Kol 1:24). Yesus juga membutuhkan makan dan minum (Mat 4:2; 21:18; Mrk 11:12; Yoh 19:28). Ia sangat letih dalam perjalanan-Nya (Yoh 4:6) dan bahkan tertidur di perahu (Mat 8:24).

Tubuh dan jiwa-Nya bisa merasakan sakit bahkan Dia bergumul dengan kematian (Mat 26:36-46). Tangan dan kaki-Nya dipaku (Bdk. Luk 24:39) dan lambungnya ditombak. Ia bangun pagi (Mrk 1:35) dan pergi tidur larut malam (Luk 6:12). Kemungkinan besar, Yesus seringkali berdoa di udara terbuka pada waktu malam.

Ada perbedaan kita dan Yesus, yaitu Yesus bebas dari dosa (Ibr4:15; 2 Kor 5:21; Gal 2:17; Bdk. Rm 8:3; 1 Yoh 3:5). Pergumulan hebat dan gejolak perasaan tidak membawa Yesus jatuh ke dalam dosa.

Yesus juga mempunyai rasa suka dan tidak suka. Yesus selalu mengasihi murid-murid-Nya (Yoh 13:1); Yesus menangisi Lazarus sahabat-Nya (Yoh 11:35) dan menangisi Yerusalem (Luk 19:42). Yohanes menyebut dirinya sebagai "murid yang dikasihi Tuhan" (Yoh 20:2).

Bukankah Yesus bisa berdukacita pada kedegilan hati pendosa (Mrk 3:5), merasa takut dan gentar (Mrk 14:33). Yesus juga tanggap atas perasaan orang lain, baik kegembiraan, keprihatinan, harapan, kebencian. Tetapi sekali lagi, rasa suka dan tidak suka itu tidak membawa Dia berbuat dosa.

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Yesus adalah manusia sempurna (GS 38). Santo Agustinus mengatakan bahwa "perasaan-perasaan insani bukan tidak cocok dengan Dia yang sungguh-sungguh dan secara nyata memiliki tubuh insani dan jiwa insani."

Yesus pasti juga mempunyai jiwa insani. Hanya seorang manusia yang mempunyai jiwa insani yang bisa menjadi sedih dan gundah gulana. Yesus berkata: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." (Mat 25:38). "Sekarang jiwaku terharu" (Yoh 12:27). Ketaatan kepada Bapa dan kepada Maria dan Yusuf mengandaikan adanya jiwa insani (Yoh 4:35; 5:30; 6:38; Luk 22:42).

Yesus juga memiliki kehendak bebas, "Setelah Ia mengecapnya, Ia tidak mau meminumnya." (Mat 27:34). Kehendak bebas itu menjadi nyata dalam pelayanan-Nya.

Ketika menyembuhkan orang sakit kusta, Yesus berkata: "Aku mau, jadilah engkau tahir." (Mat 8:3). Kehendak Yesus diandaikan sehingga kepada-Nya dialamatkan pahala: "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia ..." (Bdk. Flp 2:8-9). Kebebasan Yesus nampak juga ketika di salib Dia menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa (Luk 23:46).

Putera Allah menjadi sama dengan kita agar Dia dapat solider secara mendalam dengan kita sehingga Dia bisa menjadi Adam kedua, yang mewakili seluruh umat manusia membayar hutang dosa (Rm 5:12-21; 1 Kor 15:45-49).

Dengan demikian, Yesus adalah kekuatan kita, karena kita memiliki pengantara, seorang imam Agung, yang mengerti penderitaan dan perjuangan kita (Ibr 4:14 - 5:10).

(Sumber: Dari Adven sampai Natal, Dr. Petrus Maria Handoko, CM).