04.01 -
*K Padang gurun*
Perjalanan di Padang Gurun
Setelah lulus dari STM Mesin (tahun 1986), saya menganggur selama tiga bulan. Setelah itu saya berganti-ganti pekerjaan.
Sejak saat itulah saya mengenal paranormal, Jika doa saya tidak terjawab, maka saya bertanya kepadanya.
Akhirnya, pada tahun 1990 saya bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan. Dan pada tahun 1995 saya diangkat sebagai kepala cabang di Surabaya. Dengan kenaikan pangkat ini, saya mendapatkan fasilitas rumah dan mobil.
Sejak berada di Surabaya, saya mencurahkan seluruh waktu saya untuk perusahaan sehingga saya melupakan kegiatan gereja, sampai-sampai ke gereja hanya saat Natal dan Paskah saja.
Padahal saat saya berada di Jakarta, ada banyak kegiatan kerohanian yang saya ikuti, antara lain: menjadi putera altar, Mudika, Legio Maria, KKMK (Kelompok Karyawan Muda Katolik).
Pada tahun 1996 saya menikah, tetapi istri saya tidak ikut ke Surabaya karena dia masih bekerja.
Pada tahun 1998 keluarga saya boyong ke Surabaya, istri dan anak saya beserta ayah dan ibu saya.
Pada tahun 2004, saya di PHK oleh perusahaan. Seluruh fasilitas perusahaan ditarik, sehingga saya harus mengontrak sebuah rumah kecil. Karena keadaan ekonomi yang terpuruk, saya minta kakak saya untuk merawat ibu saya.
Ayah saya juga ingin pulang ke Jakarta, tetapi saya melarangnya karena saya tidak ingin beliau ikut anak tirinya.
Suatu hari ayah saya keluar rumah tanpa pamit, saya mencarinya dan menemukannya. Hal ini terjadi berulang kali sehingga saya berpesan pada istri saya: “Jika papa ingin keluar rumah, biarkan saja!”
Ketika pulang kerja, saya tidak melihat ayah saya di rumah. Saya mencarinya tidak ketemu, maka saya langsung lapor ke polres, radio SS dan bertanya pada paranormal.
Saya menyebarkan foto ayah saya melalui sarana internet. Saya juga ke sebuah stasiun TV untuk mengikuti acara pengaduan masyarakat mencari orang hilang.
Namun, semua usaha itu sia-sia. Sampai saat ini saya tidak tahu dimana keberadaan ayah saya.
Hari lepas hari keadaan ekonomi saya semakin terpuruk sehingga istri saya balik ke Jakarta untuk bekerja, anak saya juga dibawanya.
Untuk bertahan hidup, segala pekerjaan saya lakukan, antara lain pernah menjadi supplier, jualan degan, jualan burger bahkan pernah juga menjadi calo TKI ke Malaysia.
Saya menjual apa saja yang masih ada pada saya, yaitu: buku koleksi yang hampir dua lemari, printer dan tempat tidur. Karena tidak ada dana untuk mengontrak, akhirnya saya indekost.
Pada tahun 2005, saya mulai kembali ke jalan Tuhan, saya bertobat dan mengikuti kegiatan rohani lagi. Di sinilah Tuhan mulai membuka jalan, saya berjualan nasi pecel. Di saat melayani pelanggan, saya menceritakan penyertaan Tuhan dalam hidup saya.
Pada tahun 2009, tiba-tiba anak saya (A) menelpon, dia mengatakan bahwa ingin tinggal bersama saya. Menghadapi permintaannya saya bingung, lalu saya minta saran pada teman-teman saya.
Mereka memberi saran: “A membutuhkan kehadiranmu, bukan hartamu. Jika kamu menunggu kaya, A sudah tidak butuh kamu lagi.”
Berbekal saran itu maka saya menjemput anak saya di Jakarta. Puji Tuhan, meskipun saya berjualan nasi pecel di pinggir jalan, ternyata Tuhan mencukupkan segala keperluan hidup kami berdua.
Setelah A tinggal di Surabaya, saya mengurus sekolahnya. Puji Tuhan, berkat pertolongan-Nya, A dapat pindah dari SMP Negeri ke SMP Katolik, meskipun A belum dibaptis. Jadi, selama tinggal bersama ibunya, A dididik secara berkeyakinan berbeda, dia disekolahkan di Madrasah.
Jika hendak berangkat ke sekolah, A agak enggan berangkat. Selain itu wali kelasnya mengatakan bahwa A kurang bisa berelasi dengan teman-temannya.
Saya berupaya membawa A ke psikolog. Saran psikolog tersebut: “A harus diterapi ke tempat keramaian dengan didampingi mentor selama empat bulan, biayanya sepuluh juta.” Mendengar itu saya mengurungkan niat saya karena saya tidak mempunyai dana sebesar itu.
Saya juga memperkenalkan A pada komunitas rohani anak muda, tetapi hasilnya sama saja.
Suatu hari saya dikenalkan dengan seorang dosen psikolog di Untag. Setelah konseling dengannya, ternyata IQ anak saya 79 dan MA 9. Mendengar itu saya sangat terkejut.
Lalu saya dianjurkan untuk bertemu dengan ibu Onne, pemilik komunitas ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Beliau menyarankan untuk mengikuti program terapi prilaku.
Karena biaya mengikuti terapi itu tidak murah, maka saya menceritakan keadaan saya, beliau mau mengerti dan mau membantu anak saya.
Akhirnya anak saya keluar dari sekolah formal dan mengikuti kegiatan komunitas anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Dipertengahan bulan November 2014, tiba tiba istri saya menelpon mencari A. Katanya: “Mama mau menjalankan amanah suami mama untuk memberikan warisan kepadamu.”
Sejak saat itu terjadilah pemulihan hubungan antara A dan ibunya. Mereka hampir setiap hari saling melepas rindu karena sudah lima tahun tidak bertemu. Bahkan A menawari bisnis kosmetik kepada ibunya dan ibunya sangat mendukung kegiatan ini. Pertengah Januari 2015 team dari bisnis kosmetik berencana mengunjungi rumah ibu A di Jogya.
Sebelum bertemu dengan ibunya, saya persiapkan mental A. Kami mengikuti serangkaian retret awal dan retret luka batin di Tumpang.
Setelah A mengikuti “retret pribadi” terjadilah sesuatu perubahan sikap yang luar biasa, dulu A seperti robot, tidak ada ekspresinya, tetapi sekarang sikapnya mulai terbuka.
O ... betapa indahnya ketika jiwa telah dipulihkan dari luka-luka batin sehingga dimampukan mengampuni.
Akhirnya Tuhan memulihkan hubungan keluarga kami dan juga membuka tingkap-tingkap langit sehingga saya tidak perlu lagi berjualan pecel di pinggir jalan. Sungguh luar biasa didikan Tuhan Allah bagi kami, sungguh indah rencana-Nya.
(Sumber: Warta KPI TL No. 130/II /2016).
Seluruh perjalanan di padang gurun
dengan maksud
merendahkan hatimu dan mencobai engkau
merendahkan hatimu dan mencobai engkau
untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu,
yakni
yakni
apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak.
Untuk membuat engkau mengerti
bahwa manusia hidup bukan dari roti saja,
tetapi
manusia hidup dari segala yang diucapkan Tuhan.
manusia hidup dari segala yang diucapkan Tuhan.
(Ul 8:2-3)