Minggu, 15 November 2015

22.06 -

Perpuluhan

Pada saat saya masih bujang, saya tersentuh dengan kata Yesus: “Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat.” (Mat 5:17-18).

Hal itu saya tanyakan pada Romo dan jawabnya: “Di Gereja Katolik tidak diharuskan perpuluhan karena ada sejarahnya ... Kalau kamu tergerak silakan untuk membagikan rotimu.”

Selama sembilan tahun menikah, saya berhenti perpuluhan. 

Seiring dengan perjalanan iman saya, saya diingatkan Tuhan untuk memecah roti. Lalu saya bertanya pada Tuhan: “Tuhan, apakah artinya roti?” Jawab-Nya: “Itulah berkat yang dipercayakan padamu.”

Empat setengah tahun yang lalu saya mulai melakukan perpuluhan lagi. Saya melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dari suami

Setelah dua setengah tahun, saya sharing dengan suami: “Lihatlah pemeliharaan Tuhan sungguh luar biasa dalam pekerjaanmu. Saat krismon, orang lain tidak mendapatkan proyek, tetapi Tuhan memberkatimu walaupun tidak besar, sehingga anak buahmu pun masih bisa makan. 

Itulah kemurahan Tuhan. Apa yang bisa kita balas? Dua setengah tahun yang lalu aku berkomitmen, begitu boleh berkat, aku bersyukur dan menyisihkan sebagian berkat itu. Lalu tanpa sepengetahuanmu membagi roti yang diberi Tuhan untuk sesama.”

Saya diingatkan dengan seorang teman, bahwa kami harus bersyukur berdua kalau mendapatkan berkat yang masih utuh.

Kami sadar bahwa Tuhan sudah tidak punya tangan lagi, maka kamilah tangan-Nya. Jadi setiap bulan kami selalu bersyukur bersama dengan berkata: “Berilah kami hikmat, agar kami dapat menjadi saluran berkat-Mu bagi sesama sesuai dengan kehendak-Mu.”

(Sumber: Warta KPI TL No. 46/II/2008).






Supaya engkau memecah-mecah rotimu


bagi orang yang lapar.


(Yes 58:7)