Minggu, 15 November 2015

20.05 -

Nilai Sebuah Status

Huu... uuuraa!! Teriakan gembira dari seorang ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah bertahun-tahun menghilang. Apalagi ia adalah anak satu-satunya. 

Maklumlah anak tersebut ditugaskan ke perang Vietnam pada 4 tahun lalu dan sudah 3 tahun terakhir orang tuanya tidak pernah menerima kabar darinya sehingga diduga bahwa dia mati di medan perang. Dalam telegram tersebut dikatakan bahwa anaknya akan pulang besok. 

Besok harinya telah disiapkan semuanya untuk menyambut kedatangan putra tunggal kesayangan mereka. Bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, di mana seluruh keluarga maupun rekan-rekan bisnis dari ayahnya diundang semua. Maklumlah ayahnya adalah seorang direktur bank besar yang dikenal di seluruh ibu kota.

Siang harinya ibunya menerima telpon dari putranya yang sudah berada di airport: “Bolehkah saya membawa kawan baik saya, Bu?” kata suara di seberang sana. 

“Tentu ... tentu, rumah kita cukup besar dan kamarnya banyak. Bawalah kawanmu itu.” 

“Tetapi Bu, kawan saya adalah seorang cacat, karena korban perang Vietnam.” 

“Oo... tidak masalah, bolehkah saya tahu bagian mana saja yang cacat?” Suara ibunya mulai menurun. 

“Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!” dengan nada terpaksa karena tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, tidak masalah.” 

“Tapi Bu, masih ada lagi, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak, demikian juga kulitnya. Sebagian besar hangus terbakar karena menginjak ranjau ketika hendak menolong kawannya.”

Dengan nada kecewa dan kesal: “Nak, lain kali saja kawanmu itu diundang di rumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, nanti ibu yang bayar biaya penginapannya.” 

“Tetapi ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dengannya.” 

“Cobalah renungkan Nak, Ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung ke rumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri. Apa kata mereka nanti jika melihat tubuh yang cacat dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat bahkan jangan-jangan merusak citra bisnis dan usaha Ayahmu?“

Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya, telpon diputuskan dan ditutup. Orang tua dari anak tersebut maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang. Ibunya mengira anaknya marah karena tersinggung disebabkan kawannya tidak boleh datang berkunjung ke rumah mereka.

Jam 3 subuh mereka menerima telpon dari Rumah Sakit, meminta mereka agar segera datang ke sana untuk mengidentifikasikan mayat dari orang yang bunuh diri. 

Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena terbakar. 

Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tersebut adalah anaknya sendiri.

Untuk membela nama dan status, akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya.

Bagaimanakah dengan sikap kita terhadap mereka yang cacat/punya masa lalu yang suram; yang mempunyai status sosial dan ekonomi yang berbeda?

(Sumber: Warta KPI TL No. 46/II/2008; Nilai Sebuah Status, Mansor Oktober 2001).