Selasa, 21 Maret 2017

03.59 -

Taat dan setia kepada Sabda Allah



Kita adalah masyarakat yang terlalu banyak bicara dan banyak memberi pendapat serta tidak selalu mendengar dengan baik. Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua ini? 

Yang terjadi sebetulnya adalah bahwa orang tidak banyak memiliki banyak ruang kosong dalam pikiran dan hatinya. Ruang hati dan pikirannya sudah penuh dengan diri kita sendiri, baik itu pendapat dan pikiran sendiri, keinginan dan interese pribadi sendiri. 

Dengan itu, orang tidak mempunyai ruang kosong atau hanya mempunyai sedikit ruang kosong bagi sesuatu yang datang dari luar, dalam konteks ini Sabda Tuhan.

Ketika membaca orang bisa melompat dari baris pertama langsung ke baris akhir, orang bisa pilih-pilih apa yang mau dibacanya

Sementara telinga tidak! Pendengaran tidak bisa meloncat dan tidak bisa memilih. Kita tidak tahu kata apa yang kemudian akan kita dengar. Namun karena itu pula, setiap kata akan selalu menjadi sebuah surprise

Sebenarnya demikian juga Sabda Tuhan itu: kita akan menemukan surprise-surprise, ketika mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Mendengarkan Sabda Tuhan dengan sungguh-sungguh adalah bagian penting dari hidup rohani.

Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm 10:17).

Seorang anak mau sungguh mendengarkan orang tuanya, karena memiliki keyakinan bahwa orang tuanya akan memberikan atau mengatakan hal-hal yang baik kepadanya. Keyakinan itu pula yang membuat anak menerima kehendak orang tuanya.

Ketaatan pada dasarnya adalah ungkapan iman. Ketaatan merupakan ungkapan kepercayaan dan penyerahan diri kita pada Allah sebagai yang kita rasakan sungguh sebagai Bapa. 

Ketika orang belajar taat, ia akan semakin merasakan Allah sebagai Bapa. Jika pengalaman ini tidak ada, ketaatan akan menjadi sesuatu yang sulit dan tidak punya banyak arti

Sebaliknya, jika dihayati berangkat dari relasi antara kita dan Bapa, hal itu akan menjadi penuh makna. Karena itu, benar terhadap sabda-Nya, sikap terbaik manusia adalah memberikan ketaatan iman.

Kitab Suci hanya bisa dimasuki dan dipahami oleh orang-orang yang menghampakan diri dari tipu daya dan merasa diri penting (Agustinus, Confessions, 7.18.24)

Kedalaman makna Sabda Allah (kehendak Allah) yang terkandung dalam Kitab Suci tidak pernah habis digali, kapanpun dan oleh siapapun juga. 

Para rabi suka sekali mengatakan bahwa Raja Salomo memakai tiga ribu perumpamaan untuk menerangkan setiap ayat Taurat, dan bisa memberikan seribu lima penafsiran atas setiap perumpamaan itu (Peshikta Rabbati 14:9). 

Nampaknya memang demikian, Sabda Tuhan itu tidak pernah usang. Setiap kali dibaca ia mempunyai kemampuan untuk selalu memunculkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang selalu baru.

Seorang murid adalah seorang yang tekun mendengarkan gurunya, dan tekun melakukan apa yang diajarkan oleh sang Guru. Ketekunan akan menentukan kita apakah kita benar-benar murid yang sejati atau tidak. Ini syarat yang penting. 


Sebab, murid yang sekedar “mendaftar sekolah” tetapi kemudian tidak pernah datang, atau sering membolos, tidak akan memiliki ilmu apa-apa atau tidak akan mendapatkan ilmu sepenuhnya. 


Karena itu kita akan menjadi murid yang baik jika tekun dan mendengarkan Sabda-Nya. Hanya murid yang bertekun akan memperoleh ilmu dari sang Guru.


Orang yang sungguh-sungguh mendengar Sabda Tuhan dan melakukannya akan mengetahui kebenaran-kebenaran hidup. Jadi, apa yang akan diperoleh seorang murid tergantung dari sikapnya dalam menanggapi sabda. 

Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu (Yoh 8:31-32).

(Sumber: Warta KPI TL No.126/X/2014 » Taat dan Setia Kepada Sabda Allah, Rm. Ignasius Budiono, O.Carm.).