Selasa, 31 Januari 2017

Spiritualitas pertobatan pintu masuk Kerajaan Allah



Dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial, dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya (GS 25). 

Maka sebagai seorang Bapa, Allah tidak mau manusia hidup dan tinggal sendiri-sendiri, Dia menghendaki agar manusia hidup dan tinggal bersama-sama dengan orang lain sebagai sebuah keluarga

Atas dasar pemahaman ini, kita berada, kita tinggal dan hidup, kita bertumbuh dan berkembang, kita membina dan dibina di dalam sebuah komunitas kehidupan bersama, baik dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam panggilan religius karena panggilan Tuhan. 

Panggilan Tuhan dalam setiap kehidupan bersama bukanlah suatu panggilan yang serba bebas dari segala tantangan dan kesulitan, dari segala penderitaan dan kesusahan tetapi seringkali manusia mengalami gangguan jiwa atau penyakit hati karena berbagai persoalan dan kesulitan

Untuk menenangkan gangguan jiwa dan menyembuhkan penyakit hati dari berbagai persoalan hidup, kita perlu datang kepada Tuhan, memandang dan memperhatikan Dia, mendengarkan dan menghayati Sabda-Nya dan kata-kata-Nya, teguran-teguran-Nya, ajakan-ajakan dan nasihat-nasihat-Nya. 

Ketika kita tidak lagi mengandalkan Tuhan dan tidak lagi tergantung kepada-Nya, kita memang bisa menjadi amat bebas. Kita menjadi satu-satunya perancang dan pelaksana riwayat kita sendiri. 

Namun, dengan menjadi tuan atas diri sendiri, kita justru sering menjadi hamba atau budak dari keinginan dan nafsu pribadi yang tak terkendali

Jadi, dalam kehidupan bersama hanya dapat lestari dan bertahan apabila Tuhan selalu hadir dan tetap hadir, atau dihadirkan dan diandalkan oleh setiap anggota keluarga/komunitas baik secara individual-pribadi maupun secara kolektif-bersama.

Tanpa sentuhan atau kontak dengan Kristuspertobatan akan menemui jalan buntu dan kehilangan "rohuntuk berdaya dan berbuah bagi pertumbuhan dan kemajuan hidup manusia.

Apabila kita waspada dalam hidup dan selalu berbuat baik dalam setiap pekerjaan, penderitaan dan salib pada umumnya tidak menimpa kita

Namun, apabila kita lalai dalam hidup dan berbuat jahat dalam pekerjaan dan pergaulan sehari-hari, sudah pasti penderitaan dan salib muncul dalam kehidupan kita

Orang yang melakukan kejahatan sama dengan orang yang menanam benih-benih kejahatan untuk kemudian bertumbuh dan menghasilkan buah-buah penderitaan dalam hidup pribadi dan dalam hidup bersama (Ayb 4:8-9; Yer 2:17,19). 

Manusia menderita karena kejahatan, yang merupakan sesuatu kekurangan, pembatasan atau penyimpangan dari sesuatu yang baik (Ams 11:27, 21,19; Mzm 140:12; Yer 2:19).

Untuk menghadapi penderitaan dan salib yang tidak dapat dihindari ini, ada dua sikap yang perlu kita miliki dan hayati

1. Kesabaran untuk memikul dan menanggung penderitaan yang ada (2 Kor 6:4-5). 

Orang yang memiliki ketahanan dan kesabaran, beban penderitaan akan terasa lebih ringan baginya. Kesabaran dan ketahanan untuk dengan ikhlas menanggung penderitaan menghantar seseorang kepada kemenangan dan keberhasilan (Mat 10:22; 2 Tim 4:5; Rm 5:3-5; Yak 1:12).

Sikap tobat

Barangsiapa menyembunyikan kesalahannya dan tidak mau bertobat dari kesalahannya itu, ia akan selalu merasa tertekan dan tekanan itu pasti menimpa diri dan hidupnya (Mzm 32:3-4; 5:10-11). 

Kejahatan dan dosa merendahkan martabat manusia setingkat dengan binatang, dan dengan demikian menghilangkan makna hidupnya sebagai putra Allah di dunIa ini

Orang yang banyak berdosa menderita kesakitan, sedangkan orang benar dan orang yang dengan jujur mengakui dosa dan kesalahannya akan bergembira dan berbahagia.


Jalan menuju perubahan hidup ke arah yang baik dan benar adalah pertobatan. Melalui pertobatan, kita pertama sekali akan menyadari kesalahan dan kekeliruan kita. Sesudahnya, kita berbalik pada sikap dan tingkah laku yang baik dan benar. Kita kembali pada tindakan dan perbuatan yang berkenan dan menyelamatkan.


Dalam kehidupan yang biasa, memang tidak gampang kita memisahkan manusia dari kejahatan yang dilakukannya, kejahatan identik dengan pelakunya

Namun, sebagai orang beriman kita harus mampu membedakan kejahatan dan pelakunya sama seperti kita membedakan pasien dari penyakitnya. Hal yang mesti kita benci adalah jenis penyakit atau kejahatan, dan bukan pasien atau pelaku kejahatan.

Prinsip ini berlaku bagi setiap orang dan setiap kita, baik dalam relasi keluar dengan orang lain maupun dalam relasi ke dalam dengan diri sendiri. 

Dalam kaitan dengan diri sendiri, kita harus mampu melihat dan menyadari, mengenal dan mengakui kejahatan-kejahatan yang timbul dalam hati dan pikiran kita dan yang lahir dalam perkataan dan perbuatan kita. 

Penyadaran diri dan pengakuan dosa sudah merupakan suatu bentuk pembenaran hidup dan sebuah langkah maju menuju pertobatan.

Pengakuan atau penyampaian dosa membebaskan kita dan merintis perdamaian kita dengan orang lain. Melalui pengakuan itu orang melihat dengan jujur dosa-dosanya, bahwa ia orang berdosa; ia menerima tanggung jawab atas dosa-dosanya itu, dengan demikian membuka diri kembali untuk Allah dan untuk persekutuan Gereja, sehingga dimungkinkanlah satu masa depan yang baru (KGK 1455).

Pertobatan akan berhasil dilaksanakan apabila pertobatan itu lahir dari hati. Dengan kata lain, orientasi dasar dan bentuk utama dari pertobatan dijalankan "bukan pertama-tama dengan karya yang kelihatan (puasa dan mati raga), melainkan pertobatan hati, pertobatan batin. Pertobatan jiwa ini diiringi dengan kesedihan yang menyelamatkan dan kepiluan yang menyembuhkan.

Untuk bertobat, manusia membutuhkan rahmat Allah yang mampu membalikkan hati kita kepada-Nya. Menurut iman Katolik, "Manusia tidak dapat berbuat sesuatu yang baik, tidak dapat menentang godaan, tidak dapat melangkah untuk bersatu dengan Tuhan, kecuali dengan bantuan rahmat yang diberikan Tuhan secara bebas."

Mengapa untuk bertobat, manusia harus terus-menerus bergulat dan berjuang dalam hidup? Hal ini terjadi karena dalam diri setiap orang terdapat dua kekuatan atau kekuasaan yang saling bertentangan dan saling berperang

Peperangan antara Tuhan dan Setan, antara kebaikan dan kejahatan ini terjadi di dalam hati manusia. Kita berada dalam dua kutub yang tarik menarik seperti terjadi dalam perlombaan "tarik tambang". Kita akan bergerak "maju mundur maju mundur" dalam hidup. Kita akan senantiasa bimbang dan ragu, tidak berani mengambil sikap atau keputusan.

Dengan posisi demikian, Tuhan atau Setan menjadi "tuan" atas manusia, namun manusia menjadi "tuan" atas dunia. Tuhan atau Setan dapat meraja dan menguasai, memimpin dan menentukan manusia, tetapi manusia dapat meraja dan menguasai, memimpin dan menentukan dunia dan lingkungan sekitar. Apabila hidup manusia berhasil "dikuasai" dunia dan lingkungan sekitar juga akan mudah "dikuasai".

Suatu kehidupan yang baik dan selamat di dalam Kerajaan Allah tidak berjalan secara otomatis seperti sebuah mesinIa lahir dari suatu perjuangan yang keras sepanjang hidup.

Penderitaan adalah bagian dari pengalaman manusia. Sekalipun penderitaan merupakan pengalaman hidup manusia, namun tidak semua orang bersikap positif dan responsif terhadap penderitaan

Karena itu, manusia perlu bertobat untuk menemukan sikap yang tepat berhadapan dengan pengalaman penderitaan dalam hidup

Secara khusus, setiap orang Kristen yang tinggal di dalam Kerajaan Allah mesti memandang Kristus untuk dapat memaknai dan menyikapi dengan baik dan benar berbagai bentuk penderitaan dalam ziarah hidup di dunia ini. 

Bagi orang Kristen, "persatuan dengan sengsara Kristus" (KGK 1521) adalah sikap tobat dasariah yang harus dibangun untuk menghadapi segala bentuk penderitaan di dunia ini

Ingatlah! Penderitaan merupakan jalan Tuhan untuk menegur dan mengoreksi, untuk membimbing dan mendidik kita menuju kematangan dan kedewasaan panggilan, menuju kesempurnaan dan keselamatan hidup

Bagi orang yang mencintai dan mengikuti Tuhan, kegembiraan dan penderitaan dapat hadir bersama dalam jiwa dan dalam hidupnya

Dengan demikian, muara akhir dari pendidikan Tuhan melalui jalan salib atau penderitaan selalu merupakan kesembuhan dan keselamatan.

Dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkantetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian (2 Kor 7:10)

Solidaritas Tuhan Yesus dalam penderitaan manusia, yaitu mengembalikan makna hidupnya di dunia, makna yang sebagian besar telah hilang akibat dosa (penghidupan yang mulia dan bermartabat).

Setiap orang juga dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Dalam solidaritasnya dengan Tuhan, manusia mengalami dua dimensi kehidupan Kristus: kegembiraan dan kesusahan, kemuliaan dan kehinaan, dan akhirnya kehidupan dan kematian, manusia akan mencapai keagungan, martabat, dan nilai dirinya sebagai citra Allah. 

Solidaritas dan partisipasi manusia dalam penderitaan dan salib tidak hanya terjadi dalam relasi dengan Kristus. Namun, kita juga mesti solider dengan orang-orang lain dan mengambil bagian dalam penderitaan dan salib hidup mereka. 

Dasar dari partisipasi horisontal ini adalah keanggotaan kita dalam Gereja sebagai Tubuh Kristus sendiri (1 Kor 12:27; Rm 12:4-5; 1Kor 12:26). 

Sebagai anggota dari Tubuh Kristus, setiap kita berbeda-beda satu dari yang lain, baik dalam kelebihan maupun kekurangan. 

Perbedaan ini bertujuan agar kita saling melengkapi dan saling menolong untuk memenuhi hukum Kristus (Rm 12:15-16; 1 Yoh 3:17; Ef 4:28; 2 Kor 8:14-15; Gal 6:2).

Untuk dapat menanggung penderitaan bagi kepentingan dan keselamatan bersama, kita perlu memiliki sikap bela rasa terhadap orang lain. Sikap "bela rasa" tidak sama dengan "rasa kasihan". 

Rasa kasihan mengandaikan ada jarak, bahkan sikap merendahkan. Misalnya memberikan uang kepada pengemis, tetapi tidak melihat matanya, tidak berbicara dengan dia. 

Bela rasa berarti menjadi dekat dengan orang yang menderita, memberikan seluruh hatinya untuk orang lain, juga tidak sayang untuk memberikan sarana-sarana material dan siap untuk terluka.

Penderitaan hadir di dunia untuk mempertalikan kasihuntuk melahirkan karya-karya kasih terhadap sesamauntuk mengubah seluruh peradaban manusia menjadi suatu peradaban kasih (Santo Yohanes Paulus II)

Kebangkitan tidak dapat dipisahkan dari kematian. Kebangkitan dan kematian selalu merupakan sebuah mata uang logam dengan kedua sisi yang berbeda, namun saling mengandaikan, saling menentukan dan saling menyempurnakan. 

Tanpa kematian, tidak ada kebangkitan; tanpa kebangkitan, sia-sialah kematian. Dengan kebangkitan, kematian tidak menjadi sia-sia, tetapi amat bernilai atau bermakna bagi munculnya suatu kehidupan baru (Yoh 12:24). 

Dengan kebenaran ini 

1. Salib, penderitaan, dan kematian merupakan "benih" kehidupan baru yang siap bertumbuh dan berkembang, siap bertunas dan berbuah bagi manusia. 

2. Kehidupan kita sebagai pengikut Kristus selalu berwajah ganda: antara susah dan senang, suka dan duka, untung dan malang, sedih dan gembira, jatuh dan bangun, turun dan naik, sakit dan sehat, mati dan hidup atau mati dan bangkit (Bdk. Pkh 3:1-8). 

Dengan melihat warna atau kondisi hidup yang silih berganti ini, hendaklah kita jangan terlalu kecewa, putus asa atau putus harapan, apabila kita mengalami kegagalan, persoalan atau krisis hidup. 

Konkretnya, kalau kita gagal dalam ujian, janganlah kita gelisah sampai "makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, komunikasi menjadi beku, senyum menjadi hambar. Akibatnya her-ujian jumlahnya terus bertambah. 

Sebaliknya juga, ketika kita menemukan atau mengalami kesuksesan, keuntungan, atau prestasi yang gemilang, hendaknya kita tidak menjadi orang yang lupa daratan atau lupa diri. 

Misalnya, nilai ujian kita dalam semester sekarang ini 9 (sembilan), lalu karena kita lupa diri, kita sombong dan angkuh serta tidak belajar lagi, nilai kita pada semester berikutnya turun menjadi 5 (lima).

Bertobat berarti selalu bersiap siaga menanti kedatangan Tuhan yang menyelamatkansehingga manusia pantas dan layak untuk hidup dan tinggal di dalam Kerajaan Allah, Kerajaan Tuhan sendiri.

Pada tingkat penyesalan, orang yang sudah jatuh biasanya merasa amat sedih dan kecewa, merasa tertekan dan stres, merasa malu dengan dirinya dan orang lain, merasa jijik dan malu dengan dosa yang dilakukannya, merasa dirinya hina dan tidak berarti di mata Tuhan dan sesama. 

Dalam ketakutan ini, manusia tidak melihat "titik terang" kehidupan. Yang ada dalam hati dan pikiran manusia dan yang ada di depan mata hanya bayang-bayang gelap, suram, muram dan hanya bayang-bayang maut

Hal ini disebut "Ketakutan patologis", ketakutan sebelum kebangkitan, ketakutan negatif yang merusak, membelenggu atau menghambat perkembangan atau kemajuan hidup manusia

Orang yang berjiwa patologis merasa biasa-biasa saja dengan kegagalan atau kejatuhannya. Kalau pun ia merasa sedih atau kecewa, ia juga tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi kegagalannya. Ia menyerah atau bersikap pasrah pada kegagalan atau kejatuhannya. Ia tidak mempunyai ambisi yang sehat untuk berjuang dan bangkit lagi dari kejatuhan dan kegagalannya. 

Orang yang menghayati spiritual kebangkitan tidak mengenal putus asa. Ia tidak merasa kecewa atau puas sesaat, tetapi ia selalu memiliki harapan hidup yang besar untuk maju terus di tengah kesulitan dan tantangan hidup.

Ketakutan spiritual (ketakutan sesudah kebangkitan, suatu ketakutan religius atau ketakutan suci) merupakan ketakutan yang lahir dari perasaan cinta dan tanggung jawab atas kehidupan

Dalam konteks kebangkitan, ketakutan spiritual berarti kemauan untuk bangkit dan hidup sekaligus kemauan untuk tetap bangkit dan tetap hidup

Dalam keseharian hidup, ketakutan spiritual ini amat diperlukan. Sebab, sebagai manusia yang rapuh, kita seringkali mengalami jatuh bangun atau pasang surut. 

Orang yang memiliki ketakutan spiritual akan berusaha bangun lagi kalau ia sudah jatuh, ia tidak putus asa atau kecewa, ia akan bertobat dan mengubah diri, membarui sikap dan tingkah laku yang membuat ia jatuh atau gagal

Pada orang seperti ini, biasanya ada satu langkah yang amat penting dalam proses pertobatannya yaitu penyesalan sebagai "kesedihan jiwa dan kejijikan terhadap dosa yang telah dilakukan", dihubungkan dengan niat, mulai sekarang tidak berdosa lagi (KGK 1451).

Bangkitlah dan angkatlah muka, sebab penyelamatmu sudah dekat (Luk 21:28).

Untuk memenuhi kehendak Bapa, Kristus meresmikan Kerajaan Allah di dunia (LG 3). Dalam dunia, khususnya dalam Gereja, Kerajaan Allah menjadi "tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia" (LG 1). 

Wujud paling nyata dari Kerajaan Allah seperti ini adalah komunitas hidup bersama, baik dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam panggilan religius

Dalam arti ini, spiritual pertobatan bagi manusia berarti sebuah adventus di dalam komunitas hidup bersama. Adventus bisa mengacu pada Tuhan, tetapi juga bisa mengacu pada manusia. 

Dalam acuan pada Tuhan, adventus berarti kedatangan Tuhan kepada kita. Dalam adventus kita menantikan Tuhan yang datang kepada kita untuk menjumpai dan mengunjungi kita, untuk menghampiri dan mendekati kita dalam suasana hidup bersama, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam komunitas hidup religius. Namun, dalam acuan pada manusia, adventus berarti kedatangan manusia kepada Tuhan

Dalam nuansa ini, Spiritual tobat berarti bukan lagi terutama Tuhan yang datang kepada kita, tetapi kitalah yang wajib dan mewajibkan diri untuk datang kepada Tuhan

Dalam pertobatan, Tuhan memang menerima dan menyambut kita, tetapi kita juga mesti menerima dan menyambut Tuhan dalam kebersamaan hidup kita.

Dengan masuknya Tuhan ke dalam hati kita, kita merasa aman dan tentram dalam hidup. Hati kita menjadi damai, pikiran kita menjadi tenang, kehendak kita menjadi kuat dan mantap, perasaan kita menjadi lega

Alasannya jelas, yaitu karena dengan masuknya Tuhan ke dalam hati kita serta beristirahat di dalamnya, bukan lagi kita yang hidup, melainkan Dia yang hidup di dalam kita (Gal 2:20)

Dalam masa adventus bukan hanya Tuhan yang aktif dan giat untuk mendatangi kitatetapi juga kita sendiri aktif dan giat untuk mendatangi Tuhan (Bdk. Luk 24:13-35).

Dalam dunia ini ada orang yang mengangkat diri atau diangkat oleh orang lain untuk menjadi raja atas dirinya sendiri dan atas orang lain. 

Selain itu, ada juga orang yang melihat 'raja kehidupannya' dan menilai kebahagiaan hidupnya dalam banyak hal duniawi, misalnya "harta dan kehormatan", kekayaan dan kekuasaan", "ketenaran dan kekuasaan", karya manusia ... seperti ilmu pengetahuan, teknik dan kesenian (KGK 1723). 

Semua orang bertekuk lutut di depan kekayaan: Manusia, kebanyakan orang menyembahnya secara naluriah. Mereka mengukur kebahagiaan menurut kekayaan, dan menurut kekayaan mereka mengukur juga nilai seseorang. 

Semuanya itu berasal dari keyakinan bahwa dengan kekayaan orang bisa beroleh segala sesuatu. Kekayaan adalah salah satu berhala dewasa ini, dan selanjutnya kesohoran ... kemasyuran, kenyataan bahwa seorang dikenal dan disanjung dunia telah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik dalam dirinya sendiri, suatu kebaikan tertinggi, satu objek untuk dihormati (John Henry Newman).

Tuhan Allah menganugerahkan segala kuasa dan harta kekayaan kepada manusiaKerajaan manusia yang bertumpuh pada harta kekayaan duniawi tidak mungkin bertahan lama, hartanya tidak kekal (Pkh 5:17-18; Ayb 15:29)

Dalam kerajaan dunia ada penindasan dan pemaksaan, tetapi dalam Kerajaan Allah ada kerelaan dan tawaran, ada dorongan dan persuasi

Dalam kerajaan dunia ada penguasaan, tetapi dalam Kerajaan Allah ada pelayanan yang bernafaskan kepatuhan dan ketaatan dan berisi sikap mendengarkan dan menerima apa yang baik dan menyelamatkan

Dalam kerajaan dunia, manusia ingin menjadi "Tuan" dan penguasa, tetapi dalam Kerajaan Allah manusia mau menjadi hamba dan pelayan, "hanya melakukan apa yang harus dilakukan" (Luk 17:10). 

Seorang hamba atau pelayan tidak menuntut dan memaksa. Ia hanya melakukan tugas kewajibannya dengan tekun dan rajin, setia dan penuh tanggung jawab. Ia mau berkorban bagi orang-orang lain dalam tugas pelayanannya.

Manusia dari zaman kita membutuhkan Kristus dan kata-kata keselamatan-Nya. Sesungguhnya hanya Tuhan dapat memberikan jawaban-jawaban  kepada kecemasan-kecemasan dan persoalan-persoalan dari zaman kita sekarang ini (Santo Yohanes Paulus II)

Roh Kudus-lah yang menolong kita untuk membiarkan Tuhan Allah sendiri meraja dalam hidup kita sehingga mampu mengubah hati dan pikiran karena Kerajaan Allah dan demi Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah berarti Allah sendiri menjadi satu-satunya Raja dalam kehidupan manusia. Kehadiran Allah sebagai Raja yang mulia dan perkasa dalam kehidupan, pekerjaan, dan perbuatan manusia bertujuan bukan pertama-tama untuk menghukum atau membalas, melainkan untuk menyelamatkan dan memberi perlindungan kepada manusia (Mzm 145:11-13; Yes 33:22). Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri (Sir 15:14; KGK 1730-1731).

Ciri-ciri Kerajaan Allah

Kerajaan Ilahi (Yoh 18:36; 3:31); 
Bermarkas di hati (Yoh 18:34); 
Jauh dari perlawanan, dari pembangkangan, dan dari pemberontakan (Yoh 18:36). 
Kerajaan-Nya tidak menghendaki kekerasan, melainkan hanya "kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus" (Rm 14:17). 
Dalam Kerajaan-Nya tidak ada dorongan nafsu yang gelap dan rangsangan hati yang buta, yang ada hanyalah "keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan" (1 Tim 6:11).

Untuk dapat mewartakan Kristus yang bangkit kepada sesama, marilah kita mewartakan melalui kesaksian hidup kita, suatu kehidupan baru yang tidak lagi dikuasai oleh dosa yang menghancurkan, membinasakan dan mematikan. 

Rahasia Paskah mempunyai dua sisi:

Dengan kematian-Nya Kristus membebaskan kita dari dosa;
Dengan kebangkitan-Nya Ia membuka pintu masuk menuju kehidupan baru yang menempatkan kita kembali dalam rahmat Allah (KGK 654).

(Warta KPI TL No.109/V/2013 » Spiritualitas Pertobatan Pintu Masuk Kerajaan Allah, Mgr. Humbertus Leteng).