Jumat, 13 Januari 2017

22.40 -

Iman yang konkret

Saya berasal dari keluarga besar, saudara saya ada sepuluh orang tetapi yang seorang telah meninggal. Meskipun kehidupan keluarga saya pas-pasan, tetapi orang tua saya berjuang untuk menyekolahkan anak-anaknya. 

Ibu saya buta huruf dan tidak berpendidikan, Tetapi ibu mengatur anak-anaknya secara luar biasa, masing-masing anaknya diberi tugas, yang perempuan membantu memasak, yang laki-laki mencari kayu bakar setelah pulang sekolah. 

Pada waktu makan, ibu membagikan makanan pada anak-anaknya secukupnya agar tidak ada makanan yang terbuang dengan percuma. Dalam membesarkan anak-anaknya, ibu tidak pernah mengeluh. Hal ini terjadi karena ibu selalu mengikuti tradisi Jawa, yaitu: puasa, mati raga dan mutih (makan nasi putih dan air putih secukupnya).

Saya bersekolah di sekolah Katolik. Ketika saya melihat orang Katolik itu baik-baik dan rukun-rukun, tiba-tiba ada suatu dorongan di hati ingin menjadi Katolik sebelum saya masuk kuliah. 

Pikir saya: “Aku mau masuk jadi orang Kristen, di sana banyak orang yang kaya-kaya. nanti kan ada yang memberkati aku.” (inilah motivasi yang salah dalam mengikuti Kristus). 

Ternyata … setelah menjadi Katolik, tidak ada satupun yang memberkati saya. Undangan doa lingkungan pun tidak dikirimkan ke tempat kost saya. 

Menghadapi hal ini saya tidak putus asa, saya dengan tekun mengikuti kegiatan gereja dengan harapan ada orang kaya yang berbelas kasihan. Ternyata … harapan itu kandas. 

Pada waktu kuliah di Jogya, saya belajar mengatur hidup dengan kiriman uang yang pas-pasan. Untuk menghemat biaya, saya mencari kost yang murah, tetapi jaraknya 2 km dari kampus. Jadi, jika ada uang di saku, saya naik mikrolet; jika tidak ada, ya … saya jalan kaki. 

Pada waktu liburan semesteran, saya bekerja sebagai kuli bangunan. Setelah mendapat upah, saya langsung membayar uang semesteran dan membeli sepeda ontel untuk transportasi.

Setelah selesai kuliah, saya melamar menjadi guru di sekolah Katolik maupun Kristen, ternyata di sana tidak ada lowongan. Menghadapi kenyataan pahit ini saya hampir stres, apalagi ketika mendengar sindiran-sindiran tetangga di desa, kata mereka: “Anak orang desa kuliah di Jogya ternyata jadi pengangguran juga.”

Akhirnya saya meminta pekerjaan pada romo. Tetapi beliau menganjurkan saya untuk sekolah lagi di seminari. Lalu saya bertanya-tanya pada orang-orang yang mengerti … , kata mereka: “romo tidak punya rumah, tidak punya penghasilan banyak, tidak boleh menikah dll.” 

Mendengar penjelasan itu, saya bertambah stres karena orang tua sangat mengharapkan saya untuk membantu biaya sekolah adik-adik. Di sinilah terjadi pertarungan batin yang luar biasa.

Akhirnya saya memutuskan untuk masuk seminari. Lalu saya berkata kepada bapak saya: “Pak, saya minta tanda tangan, soalnya mau sekolah lagi.” 

Kata Bapak: “Siapa yang membiayaimu?” Jawab saya: “Teman-teman gereja, siapa tahu setelah selesai kuliah memperoleh pekerjaan.” Setelah tanda tangan persetujuan saya peroleh, saya langsung ke ketua lingkungan.

Tiba-tiba ketua lingkungan datang ke rumah dan bertanya kepada orang tua saya: “Apakah Mar betul mau masuk seminari dan menjadi pastor?” Mendengar pertanyaan itu, ibu saya langsung marah dan menangis.

Melihat reaksi itu, maka saya mengurungkan niat untuk masuk ke seminari.

Saya bekerja keras untuk membantu orang tua tetapi kehidupan saya masih seperti dulu. Selain itu tak henti-hentinya saya maupun orang tua saya merasakan tekanan batin karena kami setiap saat mendengar sindiran-sindiran tetangga (Anak orang desa kuliah di Jogya ternyata jadi penganguran juga).

Setelah setahun bekerja serabutan, secara diam-diam saya masuk seminari (ini dosa lho … membohongi orang tua). Setahun sebelum tahbisan, orang tua saya diundang untuk menghadiri kakak kelas saya yang ditahbiskan

Pada saat menghadiri tahbisan itu, bapak dan ibu saya sangat kagum dengan gedung katedral dan mereka begitu heran dengan banyaknya undangan yang hadir. 

Di sinilah mereka baru mengerti bahwa pastor bukanlah seorang yang hina. Kata saya: “Bapak, ibu, tahun depan anakmu juga diwisuda seperti itu.” (saya memakai istilah wisuda karena mereka tidak mengerti istilah ditahbiskan; maklumlah, mereka bukan beragama Kristen/Katolik).

Setelah ditahbiskan, saya ditugaskan di Madiun. Setahun sekali saya mendapatkan cuti, kesempatan itu saya pergunakan untuk mengunjungi orang tua saya di desa Maspati, Madiun. 

Pada waktu orang tua saya sakit, umat dan para suster datang mengunjungi orang tua saya. Di sinilah mereka merasakan hidup berkelimpahan, mereka mendapat berkat Tuhan secara rohani maupun materi.

Pada waktu pembangunan gereja di paroki saya, ada perasaan kuatir kalau-kalau dananya tidak cukup, maka saya memakai tukang harian (ini adalah suatu dosa karena kurang percaya dengan penyelenggaraan Tuhan).

Beberapa hari saya mempersembahkan Misa Harian menggantikan romo yang ada di Katedral. Di sana saya mengumumkan pembangunan gereja di paroki saya, saya tidak minta dana, saya cuma minta dukungan doa untuk pembangunan gereja di tempat saya berkarya. Seusai Misa, ada yang menemui saya untuk memberi amplop, ada juga yang ingin melihat gambar gereja. 

Pada suatu hari saya pulang dengan membawa pohon buah-buahan satu mobil. Ditengah jalan saya bertemu dengan teman sepermainan, katanya: “Sekarang kamu jadi pengusaha apa? Kok kaya!” 

Jawab saya: “Aku bukan pengusaha tetapi aku seorang pastor. Ini adalah titipan Gusti Allah yang dititipkan padaku.” Saudara saya juga menanyakan hal yang sama, jawaban sayapun sama. 

Kata saudara saya: “Kamu sok suci, percaya pada Tuhan.” Jawab saya: “Mau percaya atau tidak percaya, silahkan! Tapi inilah buktinya. Sekarang hidupku tenang, bisa naik mobil meskipun bukan punya sendiri.” 

Lalu dia menanyakan resep hidup bahagia. Jawab saya: “Resep bahagia, tidak merasa kekurangan. Jika kita percaya bahwa Tuhan selalu memelihara hidup kita dan kita selalu bersyukur atas semua yang telah diberikan Tuhan …”

Pada saat Lebaran, keluarga besar saya berkumpul. Meskipun uang saku saya kecil, tetapi saya dapat membagikan berkat kepada keponakan-keponakan dan cucu-cucu saudara saya. 

Melihat kenyataan itu, ibu saya berkata dengan bangganya: “Ternyata kehidupan jadi pastor itu tidak jelek dari pada yang hidup berkeluarga.Ya… kamu ini cocok jadi pastor.” 

Mendengar itu saya berkata dalam hati: “Untung saat itu aku tidak mengikuti kehendak orang tuaku, tetapi aku tetap yakin dengan panggilanku, meskipun saat itu aku jalani dengan berlinangan air mata.” Sejak saat itu, jika ada persoalan rumah tangga, sayalah penentu finalnya, ya atau tidak. 

Dari pengalaman hidup ini, saya mengetahui bahwa seseorang beriman bagaikan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin (Yak 1:6). 

Jadi, untuk beriman dibutuhkan kesabaran dan kecerdasan yang luar biasa agar mengerti rangcangan-Nya. Marilah kita belajar dari seorang yang sakit kusta (Mrk 1:40-45 – datang kepada Yesus, berlutut memohon bantuan-Nya).

((Sumber: Warta KPI TL No. 94/II/2012 » Renungan KPI TL tgl 12 Januari 2012, Romo Mariyanto, CM ).