Jumat, 27 Januari 2017

06.44 -

Kepahitan



Kita sering membicarakan bahwa si “A” tidak dewasa atau dewasa rohaninya. Padahal seharusnya manusia tidak pernah berhenti menuju kedewasaan. Dinamika perkembangan menapak dalam proses pengungkapan diri dan pengembangan diri. 

Sebaliknya, ciri ketidakdewasaan tampak dalam gejala pemusatan perhatian dalam diri sendiri

Pemusatan diri seperti itu dapat merusak keseimbangan diri melalui bermacam-macam cara: rasa bersalah, kecurigaan, kekecewaan diri, pikiran yang emosional, rendah diri yang berlebihan, terlalu memperhatikan pendapat orang lain tentang diri, kecemasan, ketergantungan pada orang tua yang berlebihan, sikap memberontak atau marah, membual atau pemaksaan diri, kemarahan yang membabi buta, penolakan terhadap kritik yang membangun, menunda-nunda, terlalu permisif terhadap diri, guyon-guyon yang merendahkan orang lain, kepura-puraan, dll.

Mengapa seseorang hanya terobsesi pada dirinya sendiri? Hal ini terjadi akibat kesepian, frustasi, kehausan emosional dan spiritual

Bagaimanapun juga akar kepahitan itu berasal dari kegagalan cinta. Masalah yang paling mendasar dari kepahitan adalah bahwa kepahitan tersebut akan menyedot seluruh perhatian kita dan akan menghambat kemampuan mencintai orang lain.

Dunia ini adalah dunia yang penuh kepahitan. Kepahitan yang tersimpan rapat dalam hati kita jauh berbeda dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh sakit gigi. Kepahitan itu selalu kita bawa ke mana pun kita pergi, ketika bangun di pagi hari atau tidur di malam hari.

Kita cenderung menilai orang lain berdasarkan tindakan atau apa yang tampak. Jarang sekali kita dapat melihat jauh ke dalam menembus kepura-puraan yang menutupi hati yang tidak aman dan terluka. 

Akibatnya kita sering berusaha menghancurkan benteng kepura-puraan mereka dengan kritik atau sindiran yang membabi buta. Kita lupa bahwa benteng tersebut mereka kenakan hanya ketika mereka terancam. Hanya penerimaan dan pengertian yang dapat memancing mereka keluar dari benteng pertahanan.

Apakah kita benar-benar menginginkan kebahagiaan dan kepenuhan orang lain? Dapatkah kita menuntut bukan apa yang dapat diberikan orang lain pada kita melainkan apa yang dapat kita berikan? Bila kita benar-benar mau mencintai, kita harus bertanya pada diri kita sendiri dengan pertanyaan-pertanyasan tersebut. 

(Sumber: Warta KPI TL No.103/XI/2012 » Through Seasons of the Heart, John Powell SJ).


Menyembuhkan hati yang tertolak

Siapa pun dan apa pun alasannya, penolakan itu menyakitkan. Penolakan dapat menyebabkan luka yang tertanam dalam emosi dan proses pemikiran kita.

98% penolakan berakar dari ucapan yang menyakitkan hati (menyalahkan/menuduh/mencemooh). Ketika seseorang menolak kita, semua yang dia lakukan dan katakan akan membawa reaksi negatif pada kita.

Perkataan pemfitnah seperti sedap-sedapan, yang masuk ke lubuk hati (Ams 18:8)
Rasa tertolak adalah suasana atau sikap batiniah yang mencekam, yang mencerminkan keadaan dari suatu hubungan, atau lebih tepat, yang menunjukkan kegagalan dalam membina hubungan tersebut.

Contoh: kurang disenangi atau diusir/dikucilkan; atau perasaan kurang dihargai atau tidak masuk hitungan; atau merasa diperlakukan bukan sebagai sesama warga, melainkan seperti orang luar yang boleh melihat ke dalam, tetapi tidak boleh masuk.

Ada tiga hal yang dapat menimbulkan luka rohani itu.

1. Ibu-ibu yang hamil yang tidak menginginkan anak lagi karena mereka dihinggapi perasaan kuatir memikirkan bagaimana harus memberi makan semua anak yang sudah ada.

Tanpa sadar, di dalam batin ibu-ibu itu takut menantikan kelahiran anaknya, dan bayi itu akhirnya dilahirkan dengan rasa tertolak yang melukai batinnya.

2. Anak-anak yang menjadi besar tanpa merasakan kasih sayang dari orang tua, terutama ayahnya. Anak yang tidak cukup banyak dipeluk dan dicium cenderung menjadi orang yang kurang percaya diri dan menjadi orang yang merasa tertolak setelah dewasa.

3. Seringkali terjadi di dalam keluarga yang anaknya lebih dari satu tetapi salah satu anak mendapat perhatian yang berlebihan. Tentu saja anak yang lain itu akan merasa tertolak.

Kadangkala orang tua memperhatikan anaknya secara khusus karena anak tersebut mengalami sakit-penyakit atau mengalami suatu masalah yang berat. Ada juga anak sulung yang merasa terbeban karena harus mengurusi/mengalah pada adik-adiknya.

Tidak seorang pun manusia yang sanggup mengekspresikan atau menyatakan kasih sayang, kecuali ia sendiri sudah pernah menerima dan merasakan kasih sayang. (Bdk 1 Yoh 4:19)

Ada tiga macam reaksi atau sikap yang berkembang apabila seseorang menderita penolakan:

1. Sikap mengalah

Orang ini berkata dalam hatinya: “Aduh sakitnya. Tetapi apa boleh buat.” Karena menyerah kalah, terjadilah suatu rentetan perasaan yang kurang baik di dalam hati:

Penolakan menimbulkan rasa kesepian. Kesepian menimbulkan kesedihan. Kesedihan menimbulkan rasa mengasihani diri. Mengasihani diri menimbulkan depresi. Depresi menimbulkan rasa putus asa. Putus asa menimbulkan keinginan mati/bunuh diri.

2. Sikap untuk mengabaikan sakit yang dirasakan

Orang ini berkata dalam hatinya: “Cukuplah sekali ini saja aku terluka, tetapi sekarang tak akan kuberi kesempatan kepada orang lain untuk melukaiku lagi. Aku tidak akan mempercayai siapa pun lagi, sebab mungkin akan melukai aku.”

Orang yang dihinggapi rasa tertolak itu seolah-olah bersikap tidak peduli (cuek) terhadap lingkungannya. Ia berlagak gembira, tetapi kegembiraannya bersifat semu.

Di dalam masyarakat modern dewasa ini orang-orang yang seperti itu sudah mencapai ribuan jumlahnya.

3. Sikap melawan

Menurut Alkitab, roh atau sikap pemberontakan adalah saudara kembarnya dosa perdukunan. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa dengan sikap pemberontakan demikian pada akhirnya orang mulai bermain apidengan setan (okultisme, ilmu hitam, kuasa gelap).

Rentetan perasaan yang kurang baik di dalam hati:

Penolakan menimbulkan kekesalan. Kekesalan menimbulkan kebencian. Kebencian menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan menjurus ke perbuatan atau praktek sihir/okultisme.

Reaksi terhadap penolakan itu ketiga-tiganya mempunyai suatu persamaan. Pada dasarnya orang itu bersifat defensif (membangun tembok pertahanan diri, jaga jarak), karena itu ia membela diri dan berupaya untuk menyembunyikan kepedihan yang dirasakannya. Sebenarnya mengatasi penolakan dengan cara-cara seperti itu tidak ada gunanya.

Beberapa orang merasa bahwa menyembuhkan luka akibat penolakan ini memerlukan waktu lama, atau bahkan tidak dapat disembuhkan sama sekali.

Memang sulit bagi orang-orang yang luka hati dan tertolak untuk merasakan bahwa mereka telah diterima, bahkan oleh Bapa di sorga sendiri.

Agar suatu penyakit dapat disembuhkan, terlebih dahulu kita harus berani mengakui bahwa kita juga menderita penyakit tersebut. Jika kita mau mengakui penyakit tersebut dan memakai obat yang ditawarkan Allah, ada harapan untuk sembuh.

Sebab hanya Allah saja yang mempunyai satu-satunya obat penawar yang dapat menyembuhkannya

Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya (Ams 15:13; 18:14)

Obat mujarab Allah untuk menyembuhkan rasa tertolak (penolakan) itu adalah kematian Yesus di kayu salib atas nama (mewakili) seluruh umat manusia.

Pada kayu salib terjadi suatu transaksi tukar-menukar yang dari semula telah ditetapkan Allah. Di kayu salib itu Yesus telah menggantikan kedudukan kita. Ia telah menanggung semua aib dan kejahatan manusia, agar kita dapat memperoleh segala hal baik yang dimiliki Yesus (Yes 53:4-6).

- Yesus telah menjalani hukuman untuk dosa-dosa kita, supaya kita dapat menerima pengampunan.

- Ia telah ditulari semua sakit-penyakit kita, agar kita dapat disembuhkan.

- Ia telah dijadikan dosa dan memikul tanggung jawab atas semua dosa kita, supaya kita dapat dikuduskan oleh kekudusan-Nya.
- Ia telah dijadikan kutuk, agar kita boleh menerima berkat.

- Ia telah mati bagi kita, agar kita dapat menerima kehidupan-Nya.

Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani ... supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya ... (Ef 1:3-6)

Ada empat hal yang perlu dilakukan agar dapat diterima baik oleh Allah.

1. Ampunilah semua orang yang telah menolak atau menyakitimu (Mrk 11:25), terutama orang tuamu, karena sikapmu yang selanjutnya terhadap orang tua akan sangat menentukan nasibmu. Allah menuntut agar ayah dan ibu dihormati, supaya kita sejahtera dan panjang umur di bumi ini (Ef 6:2-3).

2. Kita harus mengeluarkan dan membuang jauh-jauh sikap yang pernah masuk di hati kita akibat rasa tertolak tersebut, yaitu hal-hal seperti kekesalan, kebencian, dan pemberontakan. Sikap atau suasana hati seperti itu adalah racun kehidupan. Apabila kita tetap menyimpannya di hati, itu akan meracuni seluruh hidup kita. Hal itu dapat mengakibatklan bermacam-macam problem emosional, bahkan juga penyakit. 

Semua sikap demikian tidak boleh dipendam di dalam hati. Ambillah suatu keputusan yang tegas untuk menyingkirkan hal-hal itu dari kehidupan kita. Katakanlah dengan tegas: “Saya mengusir keluar segala kekesalan, kebencian dan pemberontakan dari kehidupan saya.”

3. Kita harus bertindak dengan iman. Percayalah bahwa di dalam Kristus, kita sudah diterima baik oleh Tuhan (Bdk. Ef 1:6).

4. Terimalah diri sendiri apa adanya. Kita selalu teringat akan kegagalan yang telah berulang kali kita alami, sehingga harus mulai lagi dari awal. Ketika kita datang kepada Allah di dalam Yesus, kita sudah menjadi suatu ciptaan yang baru (Ef 2:10).

Ia yang menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka mereka (Mzm 147:3).

Ketika kita menjadi orang Kristen, kita tidak boleh lagi hidup untuk diri sendiri, karena secara bersama-sama semua orang Kristen membentuk suatu “tubuh”, dan masing-masing kita adalah anggota atau bagian dari “tubuh” tersebut (Rm 12:4-5; 1 Kor 12:14-16, 21-23).

Oleh karena itu, tidak seorang pun di antara kita dapat berkata kepada sesama saudara seimannya: “Saya tidak membutuhkanmu.” Semuanya saling membutuhkan. Kita harus mencari tahu di mana tempat kedudukan kita di dalam tubuh itu. Setelah menemukan di mana tempat kedudukan kita, maka perasaan bahwa kita telah diterima akan mulai terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan mencemarkan orang banyak (Ibr 12:15).

(Sumber: Warta KPI TL No. 83/III/2011» Rasa Tertolak, Bagaimana mengatasinya?, Derek Prince).