Jumat, 27 Januari 2017

06.25 -

Marah



Pada malam musim dingin, landak-landak berdekat-dekatan untuk saling menghangatkan tubuh mereka. Tetapi ketika landak-landak itu terlalu berdekatan satu dengan lainnya, mereka akan merasa kesakitan karena mereka saling menusuk temannya dengan duri yang ada di tubuh mereka



Oleh sebab itu, landak-landak tersebut harus berhati-hati dan harus menjaga jarak. Langkah itu harus dilakukan agar mereka tidak kedinginan namun mereka juga tidak saling menyakiti

Sama halnya dengan problem manusia. Kita butuh kehangatan kasih di antara kita satu dengan lainnya. Tetapi jika kita terlalu dekat, kita akan saling menyakiti. Bagi kita yang tahu hal ini, berbuatlah bijaksana, bagaimana kita bisa berdekatan dengan orang lain tanpa menjadi sakit.

Gibran menjabarkan dilema ini secara baik ketika dia berkata: “Kita butuh jarak dalam kebersamaan kita.” 

Manusia tidak akan merasa nyaman jika terlalu jauh atau terlalu dekat dengan manusia lain. Kita harus menjadi manusia yang matang dan peka untuk mengatur jarak kita dengan baik. 

Jika jarak itu terlalu besar, kita akan merasa kedinginan; jika jarak itu tidak ada, kita akan merasa kepanasan. Kedua ekstrem itu akan menimbulkan kemarahan. Karena itu, pengurangan kemarahan sangat tergantung bagaimana jarak hubungan itu diatur.

Semakin baik penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri, semakin baik dia menjaga jarak itu. Karena itu, harga diri yang kuat adalah pencegahan psikologik yang paling penting dari kemarahan.

Akibat kemarahan yang tidak rasional, tidak terkontrol dan menunjukkan kebengisan adalah kenyataan yang ada di mana-mana di dunia kita.

Yang sering kurang diperhatikan adalah akibat buruk dari kemarahan yang tidak tuntas, kebencian yang terpendam bertahun-tahun, yang merupakan kenyataan sehari-hari dalam banyak perkawinan, organisasi dan dalam dunia kerja. Kemarahan jenis ini jarang muncul menjadi kekerasan; tetapi lebih cenderung mengekspresi melalui sakit kepala migrain, tukak lambung, atau penyakit psikosomatik lain.

Kemarahan dapat menghancurkan perkawinan, persahabatan, dan merusak kesehatan, tetapi kemarahan dapat juga menjadi teman yang baik.

Tanpa kemarahan

Nabi Natan tidak akan menentang Raja Daud untuk bertobat atas perzinahan dan pembunuhan yang dilakukannya (2 Sam 12:1-23).

Paulus tidak akan menentang kemunafikan Petrus (Gal 2:11-21); tidak akan memberikan nasehat yang indah kepada jemaat di Korintus jika tidak ada roh pemecah belah (1 Kor 12-14).

R. A. Kartini tidak akan berjuang mati-matian untuk meningkatkan derajat kaumnya jika tidak ada pengekangan emansipasi wanita pada zamannya.

Kemarahan dapat menjadi bukti bahwa seseorang mempunyai hati dan kesadaran, bahwa mereka bersungguh-sungguh. Ketiadaan kemarahan lebih merupakan tanda ketidakpedulian daripada bukti kesalehan dan kebaikan.

Jika kita marah (Ef 4:26-30)
Janganlah berbuat dosa.
Janganlah beri kesempatan pada Iblis.
Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.
Janganlah kita mendukakan Roh Kudus Allah.

Jadi, pesan utama Paulus mengandung arti “kita bisa menjadi marah, tetapi kita tidak boleh menyimpan kemarahan.

Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yak 1:19-20).

(Sumber: Warta KPI TL No.103/XI/2012 » Mengatasi persoalan hidup, Lanny W. Baily).



Kemarahan perlu dikendalikan, karena jika tidak dikendalikan tidak menyelesaikan masalah, bahkan memperkeruh suasana dan membuat jurang pemisah dengan sesama. 

- ..., tetapi jangan berbuat dosa (Mzm 4:5, Ef 4:26)
- ... menimbulkan pertengkaran (Ams 29:22).

(Sumber: Warta KPI TL No. 08/XI1/2004).


Bahaya kemarahan dalam suatu hubungan. Karena kemarahan itu bergolak dalam diri kita dan dipanasi dari waktu ke waktu, dapat meletus dan tumpah. 

Sama seperti lava panas yang menghancurkan semua yang menghadangnya, ledakan kemarahan kita pun, yang berakar dari sakit hati, kepahitan dan rasa kasihan pada diri sendiri, bisa menghancurkan orang-orang yang ada di sekitar kita.

Cara untuk menghalangi kemarahan menguasai hati

- Kenalilah siapa musuh saudara. Musuh utama adalah setan, yang tak lain menginginkan agar mata saudara lepas dari Tuhan dan memandang masalah yang ada. 

- Ubah sudut pandang saudara. Di setiap situasi pasti ada segi positifnya, meskipun sulit untuk dilihat. Jika saudara tidak bisa melihat segi positifnya, maka berpeganglah pada kenyataan ini: “Tuhan mengasihi saudara dan akan tetap bersama melewati segala kesulitan”. 

- Minta Tuhan untuk memberi saudara kekuatan (Flp 4:11-13). 

Hal yang negatif pada pasangan kita/mata, hati dan pikiran hanya terfokus pada masalah. Namun menghormati bukan pekerjaan mudah. 

Dalam perkawinan, ada saat dimana pasangan kita mengecewakan, mengganggu, atau bahkan membuat kita jijik. Jika saudara sedang bergumul dengan hilangnya rasa hormat terhadap pasangan saudara, putuskanlah tidak memusatkan perhatian pada keburukannya. 

Setiap hari luangkan waktu untuk berterima kasih kepada Tuhan untuk hal-hal yang baik yang ada dalam diri pasangan saudara. Berdoalah agar Tuhan senantiasa mengembangkan dan menumbuhkan pasangan saudara sesuai dengan rencana Tuhan bagi hidupnya. Bersabarlah dan biarkan Tuhan bekerja sesuai dengan waktu Tuhan.

Bergembira bersamanya – tertawa/melakukan hal-hal yang menyenangkan berdua.

Untuk memulainya : 

- Rencanakan makan malam yang romantis 
- Putar musik lembut sebagai pengiring untuk membantu saudara berdua merasa nyaman. 
- Pergilah berlibur 
- Ikutilah ME 

Dari semua bahan yang dibutuhkan untuk tetap membuat api tetap menyala, ada satu barang yang tidak kelihatan namun sangat penting: Oksigen. Demikian juga dalam perkawinan, bahan yang sangat diperlukan namun tak terlihat adalah Tuhan.

Teladan Allah-lah yang membuat kita belajar untuk saling mengasihi, saling mengampuni, Roh Kudus yang ada di dalam hati yang membantu untuk mencintai yang kadang melebihi kemampuan dan pemahaman manusia. Api-Nya-lah yang menyulut kembali perkawinan yang sudah hampir padam, memperbarui api cintanya terhadap pasangan (Ibr 12:29).

Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang untuk membangunnya (Mzm 127:1a)

(Sumber: Warta KPI TL No. 16/VIII/2005).


Menghindari marah

Pada suatu hari yang cerah, seorang guru muda berjalan melintasi sebuah desa. Tiba-tiba saja langkahnya dihentikan oleh seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan tampak marah, katanya: “Hai, anda tidak berhak mengajari orang lain! Tahu tidak anda ini sama bodohnya dengan orang lain? Punya kepandaian sedikit saja, sok tahu! Badan begitu kecil, nyalimu cukup besar, kalau berani kita berkelahi!”

Dengan wajah tenang dan tersenyum sang guru muda bertanya: “Teman, jika kau memberi hadiah untuk seseorang, tetapi seseorang itu tidak mengambilnya, siapakah pemilik hadiah itu?” 

Spontan ia menjawab dengan lantang: “Pertanyaan bodoh! Tentu saja hadiah itu tetap menjadi milikku, karena akulah yang memberi hadiah itu!”

Guru muda itu tersenyum lalu berkata: “Kau benar. Kau baru saja memberikan marah dan hinaan kepadaku dan aku tidak menerimanya, apalagi aku tidak merasa terhina sama sekali, maka kemarahan dan hinaan itu pun kembali kepadamu. Benarkah? Dan kamu menjadi satu-satunya orang yang tidak bahagia. Bukan saya, karena sesungguhnya melampiaskan emosi kemarahan adalah sebuah proses menyakiti diri sendiri, membangkitkan sel-sel negatif di dalam diri.”

Ketika mendapat kesadaran baru, pemuda itu terdiam karena kepala dan hatinya seperti tersiram air dingin.

Sang guru muda melanjutkan: “Jika kamu ingin berhenti menyakiti diri sendiri, singkirkanlah kemarahan dan ubahlah menjadi cinta kasih. Ketika kamu membenci orang lain, dirimu sendiri tidak bahagia, bahkan tersakiti secara alami. Tetapi ketika kamu mencintai orang lain, semua orang menjadi bahagia.”

(Sumber: Warta KPI TL No.124/VIII/2014).