Kamis, 26 Januari 2017

14.28 -

Dengan siapa kita mengidentifikasikan diri kita



Kisah nyata dari Theresa Hunt

Pada suatu hari aku dan suaminya sedang duduk di sebuah restoran. Kami makan sambil berbincang-bincang dengan memperhatikan orang-orang disekeliling kami. Sedangkan bayi kami, Erik duduk di kursi khusus anak-anak sambil tangan kecilnya menepuk-nepuk nampan di kursinya. Matanya terlihat gembira dan tersenyum lebar memperlihatkan mulutnya yang masih belum bergigi. Aku mencari penyebab kegembiraan bayiku. 

Ternyata ada seorang pria tua yang rambutnya kotor, kusam dan tidak tersisir, jempol kakinya menyembul ke luar dari sepatunya yang hampir hancur, jasnya yang compang-camping berada di seberang ruangan melambaikan tangannya sambil menyapa bayinya: "Hallo sayang ... Hallo anak pintar ... Ciluk ba ..." Sambil tertawa Erik membalas sapaan itu: "Hallo ... Hallo..."

Melihat kejadian itu kami saling berpandangan ... kami menjadi sangat malu karena menjadi perhatian orang-orang yang sedang makan di restoran itu. Maka kami berdiam diri, sedangkan Erik tetap menyanyikan lagu-lagu yang dikenalnya. 

Akhirnya kami selesai makan dan beranjak pulang, suamiku menyuruhku menunggu di tempat parkir.

Pada saat aku hendak ke luar dari restoran itu, aku berdoa: "Tuhan, biarkan aku dan Erik ke luar dari sini sebelum pria gembel itu sempat berbicara dengan aku dan Erik."

Pria itu duduk dekat pintu keluar. Untuk menghindari tersentuh tubuhnya yang sangat bau, aku berjalan menyamping.

Pada saat itu Erik menyandar pada lenganku, tiba-tiba dia meronta-ronta dari tanganku dan merentangkan tangannya minta digendong oleh pria itu. Tangan pria itu kotor dan penuh dengan tanda-tanda kepenatan karena terlalu sering dipakai untuk bekerja keras. 

Tetapi dengan lembutnya dia menyambut Erik dengan gembira sambil mengelu-elus punggungnya, dia memejamkan matanya, air matanya pun berlinangan di pelupuk matanya. Erik menaruh kepercayaan kepada pria itu, bahkan kepalanya yang mungil bersandar di atas pundak pria itu.

Aku terpana melihat kejadian itu, karena selama ini aku belum pernah melihat dua insan yang saling menyayangi begitu dalam.

Beberapa saat kemudian pria itu membuka matanya dan menatapku dalam-dalam sambil berkata dengan tegas: "Jaga bayi ini dengan baik." Mendengar perkataannya, kerongkonganku terasa tersumbat batu, akhirnya aku dapat menjawab: "Baik."

Lalu pria tua itu menjauhkan Erik dari dadanya sambil berkata: "Tuhan memberkati anda nyonya, anda telah memberiku hadiah natal yang istimewa." Mendengar itu aku tidak dapat berkata apa pun selain menggumamkan kata "terima kasih".

Sambil memeluk Erik dengan eratnya aku berucap: "Ya Tuhan, Tuhanku ampunilah aku. Aku baru saja menyaksikan kasih Yesus terpancar melalui kepolosan seorang anak kecil yang tidak memandang dosa, tidak menghakimi, seorang anak yang memandang jiwa dan seorang ibu yang hanya melihat penampilan luarnya saja."

Aku merasakan Tuhan bertanya kepadaku: "Apakah engkau bersedia membagi anakmu sesaat saja? Bukankah Aku telah membagikan anak-Ku untuk selama-lamanya.

Marilah kita merefleksikan pengalaman kecil ini. Siapakah diri kita sesungguhnya? Apakah kita seperti Allah Bapa yang bersedia membagikan anak-Nya, atau Yesus yang selalu membagikan sukacita pada setiap orang yang ditemui-Nya, atau si pendosa

(Sumber: Warta KPI TL No.101/IX/2012 » Renungan KPI TL tgl 12 Juli 2012, Dra Yovita Baskoro, MM).