18.29 -
*Teologi*
Teologi mistik
Teologi adalah pembicaraan tentang Allah, tidak terbatas sebagai salah satu bidang ilmu akademis. Gereja Timur memberikan gelar teolog bukan hanya kepada orang yang lulus kuliah teologi secara akademis, melainkan juga kepada para suci (santo-santa) yang tahu berbicara tentang Allah dari pengalaman hidupnya.
Teologi mistik adalah
* mengenal Allah lewat pengalaman yang didapat dari pelukan cinta yang menyatukan (Jean Gerson – seorang penulis mistisisme).
* Rahasia kebijaksanaan Allah; untuk mencapai persatuan dengan Allah, tentu saja intelek harus membutakan dirinya akan semua jalan yang dapat dilaluinya (St. Yohanes Salib).
Hidup mistik dapat dijelaskan sebagai suatu persatuan yang begitu dekat antara Allah dan hakikat kita sebagai manusia lemah, bahwa yang ilahi tak lagi tersembunyi di balik yang manusiawi, tetapi menyemburat keluar bagai cahaya agung.
Allah yang dialami itu didapatkan atas prakarsa-Nya serta terungkap dalam suatu pengalaman direngkuh oleh Sang Cinta, yakni Allah itu sendiri.
Allahlah yang menganugerahkan diri-Nya untuk dialami oleh manusia. Ia membuka selubung misteri yang menyelimuti-Nya agar manusia dapat mengalami kehadiran-Nya (Beato Titus Brandsma).
Manusia tidak dapat memahami Allah, ia tidak mampu bercakap-cakap dengan Allah karena bahasa manusia dan “bahasa” Allah berbeda jauh. Untuk itu Roh Kudus menjembati ini semua.
Jadi, jika kita berbicara tentang menjadi mistik, kita tidak sedang membicarakan bagaimana mengetahui banyak tentang Allah karena seorang atheis pun bisa melakukan hal ini.
Tapi, yang kita bicarakan adalah bagaimana kita belajar mencari Allah dan mengalami hadirat-Nya yang kudus dan penuh cinta. Pengalaman ini didapatkan terutama melalui doa.
Untuk itu, kita juga perlu belajar dari pengalaman para kudus karena dari merekalah kita mengenal pengalaman yang asli tentang Allah.
Orang Kristiani dalam masa mendatang harus menjadi mistikus atau tidak menjadi Kristiani sama sekali. (Karl Rahner – seorang teolg besar abad lalu)
Membahas pengalaman tentang Allah memang tidak mudah. Contoh: dalam seminar “pisang goreng” diundang dua orang pembicara; yang satu ibu sederhana penjual pisang goreng dan yang lain seorang filsuf dari Chicago.
* Ibu penjual pisang goreng (contoh orang yang mengalami Allah; seorang Kristen yang sungguh mengimani Yesus)
Pembicaraannya akan sangat hidup karena ibu ini berbicara dari pengalamannya. Dengan lancar dia berbicara detil tentang pisang goreng, dari bagaimana harus memilih pisang, menakar tepung, mencampur air, memotong pisang, menggorengnya, kadar panas apinya, dan kapan pisang itu harus diangkat dari penggorengan, serta sampai kapan pisang goreng itu dapat bertahan.
* Sang filsuf dari Amerika (contoh orang yang tahu tentang Allah dari teori; seorang atheis yang menjadi dosen Kristologi).
Pembicaraannya panjang lebar meninjau dari berbagai sudut filosofis: bahwa ke-pisang-an itu yang memungkinkan pisang bereksistensi dan atribut “goreng” hanya melekat pada pisang itu pada permukaan jati diri pisang tanpa mengubah hakikat ke-pisangan-nya; bahwa atribut “goreng” pada pisang bukanlah satu-satunya atribut karena ada atribut yang lain misalnya: kekuningan, kehijauan, kemanisan: jadi pisang goreng memberikan contoh salah satu atribut yang dapat melekat pada pisang yang membuat ke-pisang-an itu menjadi nyata berada.
Penjelasan filosofi ini hanya akan membuat orang mengantuk karena ia berbicara teori dan buku tentang pisang goreng, sedangkan pisang gorengnya sendiri belum pernah ia lihat atau makan, apalagi memasaknya.
Salah satu cara yang paling klasik untuk menilai keaslian pengalaman itu adalah melihat buah Roh dalam kehidupan orang itu (Gal 5:22-23 - kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri).
Jadi, pengalaman boleh tinggi ngawang, tapi jika tidak berbuah konkret dan nyata dalam sikap hidup keseharian, pengalaman itu bisa disebut palsu karena jika Allah sungguh hadir, Ia akan mengubah dan membawa kebaikan yang semakin lebih bagi orang yang mengalaminya dan juga bagi orang lain.
Pengalaman akan Allah dalam doa bisa menjadi pengalaman yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Maka, sering para mistik tersebut mengungkapkannya dengan perumpamaan (analogi/metafora/simbol) atau puisi atau diam sama sekali.
St. Teresa Avila:
* Perjalanan hidup rohani dibagi menjadi tiga bagian besar - metafora “bagaimana cara mendapatkan air”:
Via negativa/purgativa: jalan penolakan/pembersihan, di mana kita harus banyak berusaha menolak dosa dan mengatasi kelemahan-kelemahan diri serta banyak berlatih dalam doa. Matiraga dan disiplin diri di dalam tahap awal ini menjadi amat penting.
Kita harus menimba air dari sumur dengan tangan kita, kita harus bekerja keras menimba air itu untuk mengairi taman bunga.
Via illuminativa: jalan pencerahan. Kita lebih kurang berusaha dan Allah lebih banyak berinisiatif dan melakukan ini dan itu.
Kita tetap harus menimba air, tapi sudah ada alat bantu timba dan pipa-pipa air yang membuat pekerjaan kita menjadi ringan.
Via unitiva: jalan persatuan. Di sini kita diam pasif dan Allah yang aktif berkarya dalam diri kita.
Kita berhenti menimba, tugas kita hanya mengarahkan pipa ke mana air harus mengaliri taman. Kita tak bekerja keras, air datang dari sumber mata air atau dari sungai.
Akhirnya, kita menjadi sama sekali pasif karena air datang dari hujan dan hujan ini akan menyuburkan taman bunga kita.
Bahasa atau metafora yang digunakan para mistikus yang lahir dari pengalaman mereka biasanya sangat sederhana, tetapi makna dan penjelasan yang ada dibaliknya sungguh amat dalam.
Pengalaman ini bisa didapatkan di mana saja, jika Allah menghendaki, namun tempat yang wajar adalah dalam doa.
* Tahap-tahap hidup rohani - analogi sebuah perjalanan memasuki sebuah puri yang mempunyai banyak ruang untuk dapat sampai ke ruang tengah puri itu (lih. Ziarah ke pulau Puri Batin).
St. Yohanes Salib
* Allah Roh Kudus – puisi Nyala Api Cinta.
NCA ini adalah Roh Sang Pengantin, yakni Roh Kudus. Jiwa merasakannya di dalamnya bukan saja sebagai api yang melahap dan mengubahkan, melainkan juga sebagai api yang membakar dan bernyala di dalamnya. ... Dan api itu, setiap kali ia menyala, membasuh jiwa dalam kemuliaan dan menyegarkannya dengan kualitas hidup ilahi.
* Perjalanan menuju Allah - analogi Mendaki Gunung Karmel.
Doa adalah karya Roh Kudus dalam diri kita dan dalam hidup kita; karya Roh Kudus, bukan karya manusia. Dialah yang berkata-kata apabila kita tidak mampu berkata-kata (Rm 8:26).
Ia membimbing kita kepada persatuan dengan seluruh Gereja dan membantu kita untuk memperdalam pengalaman kita akan Allah.
Roh Kudus adalah pemberian terbesar dari Allah. Dalam Roh-Nya Allah selalu memberikan diri-Nya kepada manusia.
Dalam arti ini Allah selalu mengawali setiap komunikasi, percakapan, hubungan dengan manusia. Dari pihak kita manusia yang diminta dan diperlukan adalah sikap keterbukaan.
Roh Kudus sebagai Sang Pemberi Hidup berada dalam hati manusia (1 Kor 3:16). Ia adalah mata air yang terus menerus memancar sampai pada kehidupan kekal (Yoh 4:14).
Analogi tentang seberapa banyak dan sejauh apa usaha manusia itu dalam hidup doa. Kita hanyalah pembantu koki yang memotong semua daging dan sayur, menyiapkan semua bumbu, dan Allahlah Sang Koki, Ia yang memasak bahan-bahan mentah itu menjadi masakan yang nikmat dan lezat. Kalau mau dimengerti lebih dalam lagi, Allah jugalah yang menciptakan bahan-bahan makanan itu.
Jadi, singkatnya Allah menciptakan bahan makanan, manusia menyiapkan bahan tersebut untuk dimasak, dan akhirnya Allah jugalah yang memasaknya menjadi makanan yang lezat.
(Sumber: Warta KPI TL No. 88/VIII/2011 » Berkobar-kobar Bagi Allah, Benny Phang , O. Carm).