21.04 -
*Padang gurun*
Munculnya rasa lelah dalam pendakian
Namun, semua itu bukanlah halangan bagi para murid untuk bangun membelah kegelapan pagi. Mereka begitu bersemangat hendak mendaki gunung bersama gurunya.
Semangat para murid serta gurunya untuk menikmati keindahan pemandangan di puncak gunung seakan menjadi pelita bagi perjalanannya.
Tiupan angin dingin tak pernah mampu menyentuh kulit para murid yang telah dihangatkan semangatnya. Memang sesungguhnya halangan, rintangan maupun hambatan dalam hidup ini tidak begitu berarti kalau seseorang telah mempunyai tujuan yang jelas.
Sebaliknya, orang akan mudah patah semangat dan mudah diombang-ambingkan keadaan kalau tidak mempunyai rencana mau dibawa ke mana hidupnya.
Walau telah dimakan oleh umur, namun langkah kaki Sang Guru senantiasa tegap berjalan di depan sebagai penunjuk jalan bagi para muridnya.
Tetapi, seringkali langkah Sang Guru terpaksa ia hentikan karena langkah kaki murid-Nya mulai lamban. “Baik, kita berhenti sejenak!”
“Guru, mengapa kita beristirahat? Bukankah semakin cepat perjalanan kita akan semakin baik!” “Tidak anakku, kita beristirahat dulu. Sebab, lihatlah ada salah satu dari teman kalian ada yang sudah lelah! Kalau kita lelah, tetapi tetap memaksakan diri untuk berjalan, maka perjalanan ini tidak akan dapat kita nikmati.
Padahal, tujuan perjalanan kita semata-mata untuk sampai di puncak gunung sana saja. Tujuan kita yang sebenarnya adalah agar kita dapat menikmati pemandangan yang kita temui dalam perjalanan pendakian ini.
Kalau kita memaksakan diri untuk berjalan dalam kelelahan, kita akan mudah sekali menggerutu, setelah menggerutu pasti akan memancing kemarahan, akhirnya kemarahan yang tidak terkendali hanya akan menyakiti orang lain. Dan puncaknya, timbullah kebencian dan permusuhan dengan orang lain.
Jangan sekali-kali memaksakan diri untuk tetap bekerja kalau memang sudah lelah! Sebaiknya kalau mengalami lelah harus istirahat, baru setelah pulih nanti kita dapat bekerja lagi!”
“Betul guru, kakiku sangat berat untuk melangkah karena punggungku sangat berat dan lelah membawa beban, karena terlalu banyak bekal yang kubawa dalam pendakian ini!”
“Sebenarnya lelah itu dari mana datangnya, Guru?”
pertama, kelelahan itu datang dari kesalahan kita sendiri, yang terlalu banyak membawa bekal. Buat apa kau bawa beberapa pasang sepatu, kau juga bawa boneka, bahkan kau bawa beberapa buah kelapa hijau?”
“Semua barang yang kubawa adalah barang-barang yang sangat saya senangi. Saya membawa beberapa pasang sepatu hanya untuk berjaga-jaga kalau sepatu ini rusak. Saya membawa beberapa buah kelapa hijau karena airnya dapat memberi kekuatan baru kepada kita. Dan, boneka ini adalah teman setiaku!”
“Anakku sekalian, memang bekal itu bisa berguna dalam menunjang perjalanan, tetapi kalau terlalu banyak justru akan menghambat perjalanan kita.
Lihat saja dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang terlalu memusatkan diri dalam mencari bekal dalam hidupnya, tetapi kemudian mereka lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Secara lahiriah memang bekal yang banyak itu menyenangkan, namun buat apa kalau hal itu justru membelokkan kita dari tujuan perjalanan yang sesungguhnya?”
“Jadi, kita harus berani juga meninggalkan kesenangan-kesenangan lahiriah kalau hal itu akan menghambat perjalanan kita!” “Betul, anakku!”
“Lalu, rasa lelah yang kedua datangnya dari mana, Guru?” “Rasa lelah yang datang dari adanya keterbatasan tenaga kita.
Rasa lelah itu memang murni karena perjalanan yang telah kita tempuh. Kita merasakan bahwa semakin ke atas pemandangan di gunung ini semakin indah.
Tetapi untuk menikmati keindahan tersebut kita juga dituntut untuk mengeluarkan tenaga yang lebih.
Nah, pada keadaan ini, banyak orang yang justru menjadi putus asa karena perjalanan yang telah begitu melelahkan. Lalu banyak yang tidak mau melanjutkan perjalanannya, dan sebaliknya mereka lebih suka mendengarkan keindahan daripada berusaha untuk menyaksikan keindahan itu sendiri dengan menanggung kelelahan!”
“Apakah perjalanan kita juga hampir sama dengan perjalanan batin kita, Guru?” “Maksudmu, anakku?” “Kita tidak perlu takut oleh kekeringan hidup kalau kita tidak melakukan kesalahan.
Sebab, mungkin saja kekeringan itu muncul karena kita ditarik oleh Allah semakin ke atas sehingga kita harus berani merelakan dan meninggalkan kebiasaan lama kita yang ternyata hanya akan menghambat perjalanan kita untuk merasakan dan melihat keindahan cinta sejati!”
“Betul, betul. Maka, jangan kamu sangka bahwa kehadiran-Nya hanya membawa damai saja, tetapi juga membawa pedang yang siap memangkas kedamaian-kedamaian palsu yang ada dalam dunia ini, yang biasanya berupa kesenangan-kesenangan yang menyesatkan!”
(Sumber: Warta KPI TL No. 74/VI/2010 » Menabur benih dalam kehidupan – Munculnya Rasa Lelah dalam Pendakian, Wahyu Sulistiyana).