20.10 -
*Orang Kudus dan tokoh Alkitab*
Beato Louis Martin & Beata Marie-Azelie Guerin
Mereka selalu mengutamakan kehendak Allah dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka sadar bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang. Tidaklah mengherankan jika keluarga seperti ini dapat melahirkan orang-orang kudus.
Marilah kita belajar dari pasutri Louis Martin dan Marie-Azelie Guerin
Louis Martin: ayahnya adalah seorang militer, tetapi dia tidak memilih karier di dunia militer seperti ayahnya. Dia memilih untuk menjadi seorang pembuat jam.
Pada tahun 1842, dia mulai belajar membuat jam di Rennes-Inggris. Di sana dia tinggal dengan sepupu ayahnya, Louis Bohard. Setahun kemudian dia pindah magang di salah seorang teman ayahnya, Mathey.
Selama dua tahun di Strasburg, dia pergi ke Biara Kartusian di Pegunungan Alpen Swiss untuk bergabung di dalam komunitas tersebut. Syarat agar bisa diterima di dalam komunitas itu harus bisa berbahasa Latin. Maka dia pulang kembali ke keluarganya untuk belajar bahasa Latin.
Setahun penuh dia belajar dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya dia terpaksa menyerah karena terserang suatu penyakit.
Akhirnya dia mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana lain bagi dirinya dan dia melanjutkan kerja magangnya di Paris.
Pada tahun 1850, Louis kembali ke keluarganya di Alencon sebagai ahli pembuat jam dan mendirikan sebuah toko bernama “Rue du Pont Neuf” di Paroki St. Pierre de Monsort, Alencon. Dia menjalankan usahanya itu dengan rajin dan jujur. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik sehingga dia mampu membuka sebuah toko perhiasan.
Karena rumahnya besar, maka dia mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal bersama dengannya. Meskipun usahanya berhasil, namun kehidupan kerohaniannya tetap dijaga dengan baik.
Setiap hari Minggu dia menutup tokonya dan menggunakan hari tersebut hanya untuk Tuhan.
Selain itu, dia juga terkenal sebagai pengusaha yang baik hati dan murah hati. Ia tidak pernah mengambil keuntungan dari para pelanggannya, meskipun mereka kaya raya. Dia juga sangat murah hati kepada para fakir miskin dan tidak pernah ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada mereka.
Pada tahun 1857 dia membeli sebuah paviliun di luar kota Alencon. Paviliun ini menjadi tempatnya menyepi, dia membaca, berdoa dan memancing (hasil pancingannya sering dia bagikan ke Biara St. Klara).
Selama hampir delapan tahun dia hidup tenang dalam kesendirian. Dia tidak berkeinginan untuk menikah dan hal ini membuat hati ibunya gusar.
Marie-Azelie Guerin: Seorang gadis dengan kehidupan rohani yang baik. Hal ini diperolehnya dari pendidikan yang diterimanya dari para Suster Adorasi Abadi.
Dia pernah melamar untuk menjadi suster Cinta Kasih dari St. Vincentius a Paulo. Namun dia ditolak karena kesehatannya yang kurang baik.
Kemudian dia berdoa kepada Tuhan: “Karena aku tidak cukup layak untuk menjadi mempelai-Mu seperti kakakku (Marie Dosithee-Suster Visitasi di Le Mans), maka aku akan menikah untuk memenuhi kehendak-Mu, berilah aku banyak anak, dan berkatilah mereka agar mereka mau membaktikan hidupnya hanya untuk-Mu.”
Zelie melanjutkan hidupnya dengan mengambil kursus membuat pakaian di Alencon. Dia menyelesaikan kursusnya dengan hasil yang sangat memuaskan.
Di akhir tahun 1853 dia membuka sebuah toko pakaian di Alencon. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik dan mampu menarik banyak orang untuk bekerja padanya. Dia memiliki hubungan yang sangat baik dengan semua karyawannya. Dia mengganggap mereka sebagai saudaranya sendiri.
Dia juga menunjukkan bahwa dia selalu siap untuk memerangi ketidakadilan dan menolong orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan. Dia selalu berusaha agar apa pun yang dilakukannya selalu berdasarkan Kitab Suci.
Louis dan Zelie bertemu pertama kali di jembatan St. Leonard pada bulan April 1858. Pada saat berpapasan, Zelie sangat berkesan dengan penampilan Louis, seorang pemuda yang mencerminkan sikap dan martabat seorang bangsawan.
Lalu, Zelie mendengar suara di dalam hatinya: “Inilah dia yang Kusediakan bagimu.” Akhirnya mereka berkenalan dan dengan cepat mereka dapat saling mencintai dan menghargai satu dengan yang lainnya. Tiga bulan setelah pertemuan pertama, mereka memutuskan untuk menikah.
Kehidupan perkawinan yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan perkawinan pada umumnya. Karena Louis dan Zelie dulu pernah berkeinginan untuk menjalani kehidupan membiara maka mereka sepakat untuk tetap mempertahankan kemurniaan mereka bagi Tuhan.
Selama sepuluh bulan mereka menjalani kehidupan perkawinan yang seperti ini. Kemudian, karena bapa pengakuan mereka menyarankan mereka memerhatikan panggilan mereka sebagai orang tua, maka Louis dan Zelie mengubah pandangan mereka.
Mereka pun hidup layaknya pasangan suami istri pada umumnya dan memutuskan untuk memiliki anak. Perkawinan mereka dikaruniai sembilan orang anak, walaupun hanya lima anak yang dapat bertahan hidup dan kelimanya menjadi suster (Marie-Louis (22 Februari 1860-19 Januari 1940), kemudian menjadi seorang suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Maria dari Hati Kudus Yesus; Marie-Pauline (7 September 1861-28 Juli 1951), kemudian menjadi seorang suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Murder Agnes dari Yesus; Marie-Leonie (3 Juni 1863-16 Juni 1941), kemudian menjadi seorang Suster Visitasi di Caen dengan nama biara Suster Francoise-Therese; Marie-Celine (28 April 1869-25 Februari 1959), menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Genoveva dari Wajah Yesus; Marie-Francoise-Therese (2 Januari1873-30 September 1897), kemudian menjadi seorang Suster Karmelit di Lisieux dengan nama biara Suster Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan dari Wajah Kudus, dikanonisasi tahun 1925.
Louis sangat bergembira dengan kelahiran anak-anaknya. Namun, dia juga mengalami kesedihan karena tiga dari anaknya meninggal sewaktu masih bayi. Kesedihan terbesar saat kematian Helene yang baru berusia lima tahun pada 22 Februari 1870. Louis merasa hatinya hancur dan bertahun-tahun kemudian dia sering meratapi kematian anaknya.
Pada tahun yang sama, pada bulan April, Louis menjual tokonya kepada keponakannya, Adolphe Leriche. Bulan Juli 1871, Louis beserta seluruh keluarganya pindah ke rumah Zelie.
Di tempat baru ini, Louis membantu usaha Zelie dengan semaksimal mungkin. Dia mengambil alih pembukuan dan dia sering bepergian untuk bertemu dengan para pelanggan. Dia juga mengawasi proses pengiriman barang pesanan dengan sangat teliti, bahkan dia mengeluarkan desain sendiri.
Selain mengurusi keluarga dan usahanya, Louis bergabung dalam komunitas St. Vincentius a Paulo dan mengurusi adorasi malam hari kepada Sakramen Mahakudus.
Zelie bergabung dalam ordo ketiga Fransiskan dan sering mengunjungi orang-orang sakit dan miskin. Mereka adalah pasangan yang terkenal aktif dalam berbagai kegiatan di parokinya. Mereka tak segan-segan memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan.
Terhadap keluarganya, Louis begitu mengasihinya.
Ketika anaknya, Marie sakit typhus pada usia tiga belas tahun, Louis meluangkan banyak waktu untuk berada di samping tempat tidur Marie. Bahkan dia melakukan ziarah rohani ke Basilika Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dengan berjalan kaki sejauh 15 km, untuk memohon kesembuhan Marie. Sekembalinya ke rumah, Bunda Maria menjawab doa-doanya dan Marie sembuh dari penyakitnya.
Tahun 1865, Zelie divonis dokter terkena kanker payudara. Ketika mengetahui bahwa penyakit Zelie semakin parah, Louis melepaskan hobi memancingnya.
Setelah mengetahui hidupnya di dunia ini tidak lama lagi, Zelie berdoa: “Jika Tuhan ingin menyembuhkan saya, saya akan sangat bahagia, karena jauh di lubuk hati saya ingin hidup. Rasa sakit saya adalah meninggalkan suami dan anak-anak saya. Namun jika saya tidak sembuh, itu mungkin karena saya akan lebih berguna jika saya pergi.”
Bulan Juni 1877, Zelie berziarah ke Lourdes untuk memohon kesembuhan dan menaruh seluruh kepercayaannya kepada Tuhan.
Namun, dia kembali dalam keadaan yang lebih buruk. Pada malam tanggal 26 Agustus 1877 dia pergi ke Gereja Bunda Maria untuk meminta Pastor untuk memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit dan komuni kudus. Dua hari kemudian Zelie meninggal.
Kurang dari tiga bulan setelah kematian istrinya, Louis beserta kelima anaknya pindah ke Les Buissonnets di Lisieux, hal ini dilakukan untuk memenuhi keinginan istrinya, supaya dekat dengan kakak iparnya, Isidore Guerin dan istrinya (Celine).
Louis tetap tinggal di Alencon selama dua minggu sampai rumah dan usahanya terjual. Namun, dia memutuskan untuk tidak menjual paviliunnya sehingga dia mempunyai tempat tinggal ketika dia kembali ke Alencon kelak.
Kehidupan di Buissonnets, rumah baru di Lisieux, terasa lebih keras dan tersembunyi daripada di Alencon. Louis, dibantu Marie untuk mengurus urusan rumah tangga, menerapkan cara hidup yang lebih keras mengenai ketepatan atau disiplin waktu dan sopan santun.
Namun demikian, Louis sangat dihormati oleh kelima anaknya. Selain itu, Louis mulai kembali melakukan hobi memancingnya. Kadang kala Louis membawa Therese bersamanya dan hasil tangkapannya sering dia bagikan untuk para Suster Karmelit di sana.
Setiap sore, ketika cuaca sedang baik, dia sering berjalan-jalan ke gereja-gereja kota untuk melakukan kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Seringkali dia membawa Therese kecil bersama dengannya. Ketika mereka mengunjungi Kapel Karmelit, Louis menjelaskan kepada Therese bahwa di balik terali tersebut terdapat para suster yang sedang berdoa. Selain itu, Louis masih senang membaca di ruang kerjanya dan melewatkan waktunya di sana untuk bermeditasi dan berdoa.
Louis sering menghabiskan malam harinya bersama dengan kelima anaknya untuk bermain, membaca buku, menceritakan kisah-kisah tertentu (khususnya tentang sorga) dan bernyanyi bersama. Di akhir malam itu, Louis selalu mengakhirinya dengan doa malam bersama kelima anaknya.
Karena kesalehan hidup dari Louis, Therese pernah mengatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana orang-orang kudus berdoa, dia cukup melihat ayahnya yang sedang berdoa.
Louis juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Setiap hari dia membantu menyiapkan Misa Kudus di parokinya, seperti yang biasa dia lakukan di Alencon. Dengan bantuan saudara iparnya, Louis mendirikan suatu komunitas baru yang bernama Komunitas Adorasi Malam Hari.
Louis kembali aktif dalam komunitas St. Vincentius a Paulo. Salah satu kegiatan rutinnya adalah memberi sedekah kepada fakir miskin setiap hari Senin.
Suatu hari Louis mendapatkan suatu kabar yang sangat mengejutkan dari putri sulungnya, Marie. Marie meminta ijin kepadanya untuk mengikuti jejak Pauline masuk Biara Karmel di Lisieux. Louis tidak menyangka bahwa Marie akan masuk biara karena Marie tidak pernah menunjukkan ada ketertarikan untuk masuk biara.
Selain itu, Louis juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa Marie karena selama ini Marie selalu membantunya dalam mengurusi rumah tangga. Untuk ini hal ini, Marie berusaha meyakinkan Louis bahwa Celine akan bisa menggantikan posisinya dalam mengatur rumah tangga.
Kemudian Louis berkata kepada Marie: “Tuhan tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih besar dari saya. Saya pikir kamu tidak akan pernah meninggalkanku!”
Sebelum Marie masuk Biara Karmel, Louis mengajak semua anaknya untuk berkunjung ke makam ibu mereka di Alencon.
Saat mereka berada di makam itu, tiba-tiba Leonie memutuskan untuk masuk Biara St. Klara. Meskipun Louis merasa terkejut dengan kabar ini, namun dia mulai mermbiasakan diri mendengar kabar seperti ini.
Namun sayang, Leonie hanya dapat bertahan selama dua bulan saja karena dia tidak sanggup mengikuti peraturan biara.
Saat Therese berusia empat belas tahun, dia meminta ijin ayahnya untuk masuk Biara Karmel di Lisieux. Mendengar kabar ini, Louis tidak terlalu terkejut.
Bahkan, Louis berusaha agar Therese bisa mendapat ijin dari pimpinan Gereja (antara lain dengan menjumpai Bapa Suci) karena Therese belum cukup umur untuk masuk biara.
Setelah Therese masuk Biara Karmel, pada tahun 1888 Louis jatuh sakit. Dia terpaksa dirawat di Bon Sauveur, Caen. Suatu hari ketika kesehatannya sudah membaik, Louis pergi memancing di dekat Alencon. Saat sedang memancing itu, tiba-tiba dia disengat serangga beracun tepat di bagian belakang telinganya.
Pada awalnya bekas sengatan tersebut hanya berupa titik hitam kecil yang tidak terlalu membawa masalah. Namun tahun-tahun berikutnya, bekas sengatan tersebut mengalami infeksi sehingga dia harus mendapatkan berbagai perawatan. Sejak saat itu, kondisi kesehatan Louis semakin menurun.
Suatu hari Louis pergi ke Le Havre tanpa memberitahu siapa pun dan empat hari kemudian Celine dan pamannya menemukan Louis berada di sana dalam keadaan bingung.
Louis memiliki ide untuk pensiun dan pergi menyendiri sehingga dia dapat hidup sebagai seorang pertapa. Dalam kebingungan itu, Louis memutuskan bahwa dia harus meletakkan urusan bisnis dalam rangka untuk mengamankan masa depan anak-anak perempuannya. Hal ini menyebabkan dia harus melakukan beberapa kunjungan ke Paris. Louis melakukan pemberesan bisnisnya dengan sangat memuaskan.
Namun, ada beberapa kesempatan ketika Louis tidak kembali pada hari yang ditentukan dan kedua putrinya menjadi sangat kuatir, terutama saat dia membawa uang dalam jumlah besar.
Tanggal 10 Januari 1889, Louis menghadiri prosesi pemakaian jubah biara Therese. Tak lama setelah acara tersebut, Louis terkena penyakit stroke diikuti dengan arteriosklerosis otak yang menyebabkan ia kehilangan ingatan, kemampuan berbicara, dan halusinasi.
Atas saran dari saudara iparnya, Isidore Guerin, Leonie dan Celine memutuskan untuk merawat ayahnya di Bon Sauveur, Caen pada tanggal 12 Februari 1889.
Di rumah sakit tersebut, Louis menghabiskan banyak waktunya di kapel dan menerima Komuni Kudus setiap hari ketika dia merasa cukup sehat.
Louis berbagi segala sesuatu yang diberikan kepadanya dengan pasien lain dan dia tidak pernah mengeluh meskipun dia merasa menderita karena dipisahkan dari keluarganya.
Setiap minggu, Leonie dan Celine mengunjungi ayah mereka di rumah sakit. Pada tanggal 10 Mei 1892, Louis datang kembali ke Lisieux lagi.
Saat itu Louis masih menderita stroke yang menyebabkan kakinya lumpuh dan hampir tidak dapat berbicara. Hal inilah yang membuat Leonie dan Celine memberanikan diri untuk membawa ayahnya pulang.
Pada tanggal 12 Mei 1892, Louis dibawa untuk mengunjungi anak-anaknya di Biara Karmel. Hari itu adalah hari terakhir Louis melihat ketiga anaknya tersebut. Setelah tinggal untuk sementara waktu dengan keluarga iparnya, Louis, Leonie, dan Celine pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil di dekat rumah iparnya tersebut.
Pada bulan Juni 1893, Leonie memasuki Biara Visitasi di Caen lagi setelah sebelumnya dia harus dipulangkan karena sakit. Celine sendirian merawat ayahnya sampai kematiannya, namun dia tetap dibantu oleh keluarga iparnya.
Pada bulan Mei 1894, Celine pergi ke Caen. Saat dia berada di sana, pamannya mengirimkan telegram yang mengatakan bahwa tanggal 27 Mei Louis terkena stroke serius yang menyebabkan lengan kirinya lumpuh.
Mendengar kabar ini, Celine segera pulang. Saat itu Louis menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Bulan Juni Louis terkena serangan jantung yang serius. Sementara itu Celine masih berada di Katedral untuk mengikuti Misa.
Pamannya segera memanggilnya dan dia berlari sepanjang perjalanan pulang karena takut kalau dia tidak bisa tiba pada waktunya. Louis tampak benar-benar kelelahan dan memiliki kesulitan besar dengan pernafasannya.
Tanggal 28 Juli Louids terkena serangan jantung kembali dan kembali dia menerima Sakramen Pengurapan orang sakit. Sejak saat itu Celine selalu menemani ayahnya dan dia berdoa kepada Yesus, Maria dan Yusuf agar ayahnya dapat meninggal dengan bahagia.
Ketika Celine selesai berdoa, Louis memandangnya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Lalu Louis memejamkan mata. Isidore dan Celine datang ke kamar Louis dan Isidore menekan bibir Louis beberapa kali dengan salib yang dibawanya. Saat itu nafasnya telah menjadi sangat lemah. Pada hari Minggu 29 Juli 1894, Louis meninggal dunia.
Isidore mengatakan bahwa dia belum pernah melihat kematian yang lebih damai daripada kematian Louis. Jenazah Louis dibawa kembali ke Lisieux dan di makamkan pada tanggal 2 Agustus 1894 setelah Misa Requiem di Katedral.
Louis dan Zelie adalah teladan kekudusan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Di rumah, mereka selalu berusaha menciptakan suasana penuh iman dan sukacita.
Meskipun mereka masih hidup di tengah-tengah berbagai kesulitan dan penderitaan, mereka mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab dan menanamkan benih-benih iman Kristiani kepada anak-anaknya sejak mereka kecil.
Mereka selalu berusaha agar anak-anak mereka menyadari bahwa mereka sangat dicintai dan melatih mereka melakukan kebajikan-kebajikan.
Selain itu ada beberapa kebiasaan yang dilakukan bersama-sama dalam keluarga, antara lain:
* Tiap pagi hari pukul 05.30 merayakan Ekaristi.
* Mendoakan Ibadat Harian setiap hari di hadapan Bunda Maria.
* Selalu hadir dalam Misa mingguan dan benar-benar mengkhususkan hari Minggu sebagai hari Tuhan.
* Pada saat makan bersama, selalu dibacakan bacaan rohani.
* Melakukan ziarah rohani ke tempat-tempat suci di Perancis.
* Louis biasa melakukan retret pribadi di Biara Trapis, sedangkan Zelie di Biara St. Klara.
Louis dan Zelie tidak dapat mengendalikan situasi apa yang dapat mereka hadapi. Mereka tidak dapat menghindar dari berbagai tragedi dalam hidup, seperti perang Franco-Prussian di mana mereka harus menerima sembilan tentara Jerman di dalam rumah mereka; kematian keempat anaknya; penyakit yang mereka derita.
Mereka juga tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab sebagai pemilik bisnis, suami istri, orang tua dan pemerhati orang miskin dan menderita.
Sumber kekuatan mereka terletak dari cara mereka menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka. Mereka menerima ketidakberdayaan mereka dan percaya bahwa hanya Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan mereka.
Louis dan Zelie tidak dinyatakan kudus karena St. Theresia, anaknya. Justru St. Theresia bisa menjadi orang kudus karena mereka. Louis dan Zelie menciptakan suatu lingkungan hidup yang dapat membawa anak-anaknya kepada kekudusan.
Gereja menggelari pasangan Louis dan Zeline sebagai pasangan kudus untuk menunjukkan bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang Kristiani. Mereka adalah pahlawan-pahlawan dalam kehidupan sehari-hari.
Almarhum Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Keheroikan harus menjadi keseharian, dan keseharian harus menjadi sesuatu yang heroik.”
Pasangan Louis dan Zelie dinyatakan “terhormat” pda tanggal 26 Maret 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kemudian, Paus Benediktus XVI membeatifikasi pasangan ini pada Hari Misi Sedunia tanggal 19 Oktober 2008 di Basilika St. Theresia di Lisieux, Perancis oleh Kardinal Jose Saraiva Martins. Gereja memperingati pasangan Louis dan Zelie setiap tanggal 12 Juli.
(Sumber: Warta KPI TL No. 74/VI/2010 » Beato Louis Martin dan Beata Marie-Azelie Guerin – Pasutri Kudus yang melahirkan orang kudus, HDR Mei-Juni 2010).