Minggu, 30 Oktober 2016

Lima tahapan menghadapi kematian

Ada lima tahapan yang umumnya dialami oleh orang-orang yang menghadapi kematian, baik kematian atas dirinya sendiri ataupun orang yang dikasihinya (Dr. Elizabeth Kubler-Ross, seorang ahli jiwa):



1. Tahap penolakan dan isolasi (denial and isolation)


Tahap penolakan atau penyangkalan ini terjadi saat awal seseorang mengetahui dirinya atau orang yang dikasihinya menderita penyakit yang berat atau sulit disembuhkan. Ini adalah reaksi pertahanan diri untuk mengatasi goncangan jiwa. 

Pada tahap ini, biasanya dibarengi dengan sikap lebih senang mengisolasi diri karena menitik beratkan pada pencarian jawab.

2. Tahap kemarahan (anger)

Tahap untuk menerima kenyataan menghadapi situasi yang buruk. Dalam taraf ini, perasaan takut dan bingung bercampur aduk, tidak pelak lagi penyangkalan yang lebih keras dalam wujud kemarahanpun muncul. 

Ekspresi dari kemarahan ini bisa berupa kerewelan atau mencari-cari kesalahan pihak lain untuk melampiaskan kemarahannya. Bahkan tidak jarang melakukan protes kepada Tuhan.

3. Tahap tawar-menawar (bargaining)

Pada tahap ini, orang akan sedikit lebih sabar, berusaha menerima kenyataan yang tak terhindarkan, berusaha mengontrol diri. Mengharap orang lain lebih mengasihinya, bagi yang beriman Kristiani, mulai menawar kepada Tuhan untuk mengurangi penderitaannya dan terhindar dari kematian. 

Pada tahap ini ada banyak orang yang bernazar: “Kalau Engkau menyembuhkanku, maka aku akan melakukan ...”

4. Tahap depresi (depression)

Tahapan putus asa, masa depan yang sulit diraih lagi. Sekalipun bagi orang percaya yang sudah mengenal Firdaus. Namun, kesangsian akan lawatan Tuhan tidak terhindarkan, buktinya penyakitnya semakin berat.

5. Tahap menerima (acceptance)

Tahap ketika penderita sudah nampak bisa menerima kenyataan bahwa kematian tidak terhindarkan. Biasanya diikuti dengan penurunan gairah keduniawian, mulai jarang mau diajak berkomunikasi, acuh terhadap peristiwa di sekitarnya. 

Pada tahap bisa menerima kenyataan, penderita mulai terbuka terhadap kunjungan orang lain, meskipun hanya terbuka untuk menerima individu-individu yang dirasakannya bisa memberikan pengayoman dan dukungan.

(Sumber: Warta KPI TL No. 84/IV/2011 » Renungan KPI TL tgl 18 November 2010, Dra Yovita Baskoro, MM).