Senin, 10 Oktober 2016

18.42 -

Perbuatan baik




Suatu hari saya ada pelayanan di Surabaya. Untuk menghindari kemacetan di Jakarta, saya berangkat jam empat pagi. Sesampainya di airport, saya menunggu resto dibuka. Begitu resto dibuka, saya langsung masuk, memilih makanan dan membayarnya. Lalu saya memilih meja paling pojok supaya dapat melihat suasana di dalam resto itu. 

Tiba-tiba masuklah empat pemuda dengan penampilan acak-acakan, rambutnya gondrong, memakai anting-anting, bajunya tidak berlengan sehingga tangan yang penuh dengan tato kelihatan, celana jeansnya robek, suaranya besar. Suasananya begitu gaduh, seakan-akan para pengunjung yang lainnya tidak dianggap manusia. 



Melihat hal itu saya sedikit tegang karena takut terjadi sesuatu, maka langsung saya percepat makan saya. Pemuda itu duduk dengan kakinya diangkat ke kursi sambil makan sup buntut dan minum anggur. 



Tiba-tiba datanglah seorang anak kecil menyapa pemuda tersebut dengan sopan: “Selamat pagi om.” Tetapi pemuda itu tidak menjawabnya. 



“Boleh saya semir sepatunya om?” Jawab pemuda itu: “Kalau lu mau semir sepatu gua, berapa gua mesti bayar?” Jawab anak itu dengan sopan: “Terserah om.” 



Kata si pemuda lagi: “Kalau gua nggak bayar gimana? Jawab si anak: “Kalau om tega ya ndak apa-apa.” “Ya sudah, kerjain sepatu gua, tapi lu jangan copot sepatu gua.”


Dengan tenang, anak itu menurunkan kotak semirnya, kemudian dia jongkok dan mengambil saputangan putih bergaris biru yang bersih dan rapi dari kantongnya untuk membersihkan debu yang melekat di sepatu itu. 

Setelah selesai mengelap sepatu tersebut, saputangan itu dimasukkan lagi ke kantongnya, lalu dibukanya kaleng semir sepatu itu dan mulailah dia menggosok sepatu tersebut.

Pada waktu menggosok, dia melihat pemuda yang sedang menikmati sopnya. Tetapi begitu pemuda itu melihatnya, dia bekerja lagi. Ketika pemuda itu sedang menggigit empalnya, lagi-lagi anak itu melihatnya. 

Kemudian si pemuda bertanya: “Lu sudah sarapan apa belum? Biasanya lu sarapan jam berapa?” Jawabnya: “Belum. Ya tergantung om, kalau dapat uangnya siang ya siang, kalau sore ya sarapannya sore.”

Tiba-tiba pemuda itu diam lalu berkata: “Lu taruh semir dan sikat, cuci tangan. Lalu lu ambil makanan seperti yang gua makan , terserah lu mau makan apa.” 

Tetapi anak tersebut tidak langsung melakukannya, pikirnya: “Jangan-jangan saya makan lalu saya harus bayar sendiri.”

Pemuda itu sadar bahwa anak itu tidak berani melakukan perintahnya, lalu dia berteriak kepada pelayan: “Mas, tolong berikan makan dan minum apa saja yang dia mau, tulis di bon, gua yang bayar.”

Setelah diberi piring oleh pelayan, dia mengambil makanan sampai sepiring penuh. Lalu dia duduk di dekat kaki pemuda itu. Kata pemuda itu: “Ngapain lu makan di situ? Di depan gua ada kursi kosong.” Jawabnya: “Saya pilih di sana aja om.”

Dari tadi saya melihat seorang ibu dan seorang anak laki-laki yang memperhatikan anak tersebut di luar resto. Ketika anak tersebut makan, ibu itu langsung masuk resto dan marah-marah, katanya, “Berani-beraninya makan di sini, lu dapat uang dari mana? Siapa yang bayar lu?” Melihat kejadian itu pemuda itu bertanya: “Siapa itu?” Jawabnya: “Ibu saya.” 

Kata pemuda itu: “Gua yang bayar, ibu ambil makanan sekarang yang ibu mau, silahkan! Gua yang bayar.” Tanpa komentar ibu tersebut langsung mengambil makanan sepiring penuh seperti anaknya. 

Lalu saya melihat anak yang di luar itu juga masuk ke resto. Pada waktu anak itu melewati pemuda itu, dia ditanyai: “Ee ... Siapa lu?” Jawabnya: “Kakak dari tukang semir yang duduk di sana.” Kata pemuda itu: “Ayo lu juga makan.”

Pemuda itu berkata: “Bu, tambah lagi sampai kenyang, demikian pula dengan kedua anak ibu.” Jawabnya: “Sudah kenyang, tuan.” 

Ibu dan kedua anak itu mengucapkan terima kasih. Dan pemuda itu berkata lagi: “Bu, ambil lagi makanan untuk makan siang dan malam. Minuman botol kaleng ambil juga, gua yang bayar.” 

Setelah makan, kedua anak ini mendekati pemuda itu hendak menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi pemuda itu berkata: “Nggak usah!” 

Dengan polos anak tersebut menjawabnya: “Sepatu sebelah mengkilap, sepatu sebelah nggak mengkilap.” Jawab pemuda itu: “Nih, gua kasih tahu, yang begitu itu namanya unik.” 

Akhirnya keluarga ini mengucapkan terima kasih, sambil membungkukkan badan mereka pamit. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan dompet dan memberi masing-masing seratus ribu rupiah sambil berkata: “Terserah mau dibelikan apa, mau beli baju, sepatu, dll.” Setelah mereka pamit, pemuda itu melanjutkan lagi makannya dan kakinya dinaikkan lagi ke kursi.

Setelah selesai makan, saya mendekati pemuda itu dan menyapanya: “Selamat pagi. Saya Achsen GUMELAR..” Lalu saya langsung disapanya dengan sopan dan suaranya rendah: “Selamat pagi pak Gumelar, silahkan duduk.” 

Kata saya: “Saya tidak punya kalimat yang terbaik untuk mengganti kotbah anda, kotbah anda begitu luar biasa. Untuk agama yang saya imani, perbuatan baik itu hanya berasal dari Allah saja. Jadi, hanya orang-orang yang menghadirkan Allah, di mana Allah bertahta dalam dirinya, hanya dia yang berbuat baik. Sedangkan orang yang tidak berbuat baik bukan berasal dari Allah.” 

Lalu dia bertanya agama saya, maka saya menjawabnya bahwa saya beragama Katolik. Jawabnya: “Kami ada yang Katolik, Kristen Protestan tapi tidak pernah ke Gereja, sedang saya umat muslim tapi sudah lama tak pernah solat. Yang penting kami yang tidak pernah ke Gereja dan tidak pernah solat tapi kami hanya dapat melakukan perbuatan baik ini.”

Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam sambil menceritakan kisah hidupnya: “Pak Gumelar, dulu saya seorang tukang semir sepatu. Kadang-kadang saya hanya minum air putih saja karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan. 

Pada suatu pagi, saya menuju terminal tanpa makan. Di tengah perjalananan ada sebuah rumah makan padang yang terang benderang, di sana ada seorang yang sedang makan sop daging dengan kakinya diangkat ke kursi. 

Ketika saya menawarkan jasa, dia menyetujui. Lalu saya kerjakan sepatunya dengan tanpa mencopotnya di atas kursi. Ketika dia menggigit empal, saya berharap ada satu suwir empal yang dia tinggalkan di piring dan ketika dia menghirup kuah sop, saya berpikir mudah-mudahan dia meninggalkan satu sendok kuah sop di piring. Tidak dibayarpun pekerjaan saya, tidak apa-apa. 

Tetapi sampai saya selesai menyemir sepatu itu, kuah sopnya bersih, empal gorengnya pun tidak ada tersisa, nasinya bersih. Setelah itu ongkos semir sepatu itu ditawar lagi, padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan harga. 

Saya begitu kecewa, tanpa melihat uang yang dibayarkan, saya langsung pamit. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya menangis dan sesampainya di rumah saya langsung mengunci pintu dan mengunci kamar. Saya menangis dan saya berdoa: ‘Jika saya ada rejeki, saya akan memberi makan orang yang membutuhkannya.’ 

Ketika anak itu menengok saya untuk ketigakalinya. Saya diingatkan oleh Tuhan, sepertinya saya sebagai tukang semir sepatu yang datang kepada tuannya yang adalah saya yang sudah Tuhan bebaskan jadi tukang semir sepatu. 

Kami grup band, nanti malam kami akan manggung. Saya bahagia sekali dapat melakukan perbuatan baik ini. Memang kami yang tidak ke gereja dan tidak pernah solat, tetapi setiap honor yang kami terima dari penampilan kami, honor tersebut sebagian kami bagikan bagi mereka yang tidak bisa makan. 

Ketika saya berumur 14 tahun, ayah saya berlari lari dan berteriak menemui saya, katanya: ‘Cepat lu pulang, ibu lu sakit.’ Maka saya dan kawan saya segera berlari menuju rumah. 

Ternyata... saya melihat ibu saya mengerang-ngerang kesakitan berguling-gulung di lantai. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Meskipun badannya berat, saya menggendongnya ke puskesmas yang berjarak tiga kilometer. 

Sesampainya di puskesmas, diperiksa dokter. Ketika dokter tersebut memberi resep, saya bingung lagi karena tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Sambil menangis kami membaringkan ibu saya di lantai, dia tiada hentinya mengerang kesakitan. 

Tanpa berkata apa pun, tiba-tiba kawan saya berlari. Berapa saat kemudian dia datang dengan membawa uang, katanya: ‘Mana resepnya, gua belikan di apotek.’ 

Dia langsung berlari untuk membeli obat di apotik. Setelah dia datang, obat tersebut di minumkan pada ibu saya. Beberapa saat kemudian ibu saya tertidur di lantai dengan tenang. Setelah itu kami bawa pulang dengan digendong. 

Beberapa hari kemudian, kawan saya berterus-terang mengatakan bahwa uang itu hasil nekad mencuri. Untung Tuhan melindungiku. 

Jika kami mendapat honor, sebagian honor itu juga kami bawa ke rumah sakit agar dapat membantu orang lain yang betul-betul tidak dapat membeli obat bagi keluarganya yang sakit. 

Pak Gumelar, doakan kami ya ... nanti malam kami tampil supaya ada bagian untuk mereka.” 

Lalu kami berdiri sambil berpelukan, saya berdoa: “Saat anda melihat empal yang digigit oleh seorang bapa yang sepatunya anda semir. Tuhan ada di mukamu, saat ini Tuhan hadir, mengatakan kepadamu ‘tenangkanlah hati dan jiwamu, Aku mengasihi engkau’. 

Dan saat engkau menggendong ibumu dengan menangis dan menjerit dan ibumu mengerang kesakitan, Tuhan turut berlari bersamamu, Dia yang memberikan kekuatan. Ayo terus lakukan, Aku ada di sana bersama engkau.”

Dalam suasana hening, tiba-tiba pemuda itu menjerit dan mengeluarkan tangisnya sehingga semua orang yang berada di resto itu kaget. Tanpa sadar saya pun ikut menangis. Lalu mereka satu-persatu saya peluk sambil berkata: “Selamat ya. .. Tuhan memberkati anda.” 

Lalu pemuda itu bertanya: “Kapan kita dapat ketemu lagi?” Jawab saya: “Pagi ini, paginya Tuhan. Kita tidak pernah berpikir apa-apa. Pagi ini saya tidak berpikir akan mendengar kotbah anda yang indah ini. Maka dunia tidak cukup lebar untuk kita tidak bertemu.” 

Begitu saya pamit, orang lain di resto itu juga berdiri memberi selamat pada mereka. 

Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah (2 Kor 1:3-4)

Jika kita menghadirkan Tuhan dengan perbuatan kasih, maka yang melihat dan mendengarkan akan terharu. Dan kasih yang sejati juga akan menular pada orang yang melihat dan mendengarkannya.

Marilah kita belajar dari 1 Yoh 4:7-10

Marilah kita saling mengasihi 

» ayat ini tidak mengajarkan teori mengasihi/berdebat mengenai makna kasih/tidak berdiskusi tentang kasih. Tetapi ayat ini mengajak kita melakukan kasih seperti Allah, tindakan seperti Allah, bukan teori yang hebat tapi langsung melakukannya. Ada kalimat yang terlaksanakan yang tidak terungkapkan, yang tidak tergantikan ungkapan yaitu perbuatan kasih. 

Kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah 

» Manusia menghitung dengan cermat tentang gejala-gejala alam yang ada, sehingga mereka meramalkan akan terjadi kiamat tahun 2012. 

Sebagai orang percaya, kita tidak perlu mempermasalahkan ramalan tersebut, karena 

1. Bukankah Yesus berkata: “... tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mat 24:36). 

2. Yesus lahir atas nama kasih. Meskipun mengalami penderitaan sampai wajah-Nya tidak dapat dilihat, Yesus merasa hidupnya dibebaskan dan Dia dapat membebaskan, tidak tertekan sesuatu karena melakukan kasih. 

Jadi, bagi yang sudah mengasihi seperti Allah, kapan kiamat datang tidak menjadi masalah. Tetapi bagi yang belum melakukan kasih, boleh resah/gelisah/takut.

Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih 

» Gereja Katolik tidak pernah menakuti-nakuti umatnya mengenai akhir zaman, gereja Katolik hanya menjelaskan bahwa Allah mengasihi semua orang. Takutlah, gelisahlah jika sampai saat ini kita belum berbuat baik, karena itu yang akan membuat penderitaan kita pada hari pembalasan. 

Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya 

» Setiap orang dapat melakukan kasih sesuai dengan talenta dan kekayaannya. Orang yang tidak mampu pun Tuhan juga memberi kesempatan sesuai dengan kemampuannya (Luk 21:3-4). 

Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita.

Tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:17)

(Sumber: Warta KPI TL No. 77/IX/2010 » Renungan KPI TL tgl 17 Juni 2010, Bapak Achsen Gumelar).