Rabu, 29 Juni 2016

06.08 -

Mrk 12:28b-34

Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. 
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Jumat, 9 Maret 2018: Hari Biasa Pekan III Prapaskah - Tahun B/II (Ungu)
Bacaan: Hos 14:2-10; Mzm 81:6c-8a, 8bc-9, 10-11ab, 14, 17; Mrk 12:28b-34

Minggu, 4 November 2018: Hari Minggu Biasa XXXI - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: Ul 6:2-6; Mzm 18:2-3a, 3bc-4, 47, 51ab; Ibr 7:23-28; Mrk 12:28b-34

Kamis, 2 Juni 2016: Hari Biasa IX - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 2 Tim 2:8-15; Mzm 25:4bc-5ab, 8-9, 10, 14; Mrk 12:28b-34


Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?"

Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. (2) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.

Dan hukum yang kedua ialah: (1) Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."

Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga (3) mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."

Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.




Renungan





1. Hidup yang berlandaskan kasih

Ahli Taurat bertanya hanya dengan tujuan ingin menguji Yesus, apakah Ia menghargai hukum Musa. Yesus memberikan jawaban yang menarik. Walau diminta memberikan satu hukum yang dianggap terbesar, Ia menjawab dua hukum.

Mengapa? Karena mengasihi orang lain adalah tindakan yang muncul bila orang mengasihi Allah.

Kedua hukum ini saling melengkapi. Kita tidak dapat melakukan yang satu tanpa memenuhi yang lain. Hukum itu menyatakan kewajiban manusia kepada Allah dan tanggung jawab kepada sesama.

Hidup manusia yang berlandaskan kasih ditopang oleh hati, jiwa, akal budi dan kekuatan dirinya dalam hidup itu.

Arus modernisasi dan teknologi yang pesat ini telah menyebabkan manusia lebih menyembah dan mencintai teknologi daripada Tuhan. Teknologi dijadikan dewa. Contoh nyata: orang bisa asyik BBM an saat ibadah berlangsung.

Sikap Yesus ini seharusnya juga menjadi sikap kita, terlebih saat kita berhadapan dengan orang yang membenci kita atau yang tidak menyukai kita. 

Ingatlah! Kebencian dan dendam adalah dua hal yang dapat menutup hati kita sehingga kita tidak akan mampu memberikan kasih kepada sesama kita.

Jika kasih sebagai jantung dalam hidup kita, maka hidup kita akan menjadi lebih damai.


2. Mengasihi Tuhan

(3) Mencintai dirinya sendiri adalah ”menerima diri sendiri apa adanya”, termasuk pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, entah yang disadari maupun belum/tidak disadari. Jika kita belum selesai dengan penerimaan diri kita – diri sendiri apa adanya- , jangan pernah berharap kita ”bisa mencintai sesama” apalagi ”mencintai Tuhan”.

Bahwa dengan menerima diri sendiri apa adanya, kita dapat menerima orang lain seperti apa adanya mereka, tanpa menuntut orang lain menjadi seperti ‘mau’nya kita.

Mencintai seseorang saat kita tidak merasa aman, adalah hal yang perlu diperjuangkan dengan keras. Inilah yang dimaksud dengan mencintai dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan.

Mencintai Tuhan saat kita memperoleh musibah, penderitaan, kegamangan hidup, keputus-asaan, merupakan pergulatan batin yang mendalam dan memurnikan iman kepada Tuhan. Hidup seperti itulah yang disebut hidup yang bertumbuh, berkembang dan hidup yang selalu menghasilkan buah.

Mencintai Tuhan dalam keadaan apapun, menumbuhkan seseorang menjadi pribadi yang tenang, teguh, mantab, tangguh, pasrah dan bahagia. Pribadi seperti inilah yang selalu diinginkan Tuhan bagi kita.

Menjadi orang-orang yang mempunyai hati yang tulus, luas, tinggi dan dalam, yang selalu menebarkan ketenangan bagi siapa saja. Sudahkah kita menjadi orang yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi kita?

Tuhan Yesus memberkati.



3. Mengasihi Tuhan dan sesama

(1) Mencintai dirinya sendiri adalah ”menerima diri sendiri apa adanya”, termasuk pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, entah yang disadari maupun belum/tidak disadari.

Jika kita belum selesai dengan penerimaan diri kita – diri sendiri apa adanya- , jangan pernah berharap kita ”bisa mencintai sesama” apalagi ”mencintai Tuhan”. Bahwa dengan menerima diri sendiri apa adanya, kita dapat menerima orang lain seperti apa adanya mereka, tanpa menuntut orang lain menjadi seperti ‘mau’nya kita.

Mencintai seseorang saat kita tidak merasa aman, adalah hal yang perlu diperjuangkan dengan keras. Inilah yang dimaksud dengan mencintai dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan.

(2) Mencintai Tuhan saat kita memperoleh musibah, penderitaan, kegamangan hidup, keputusaasaan, merupakan pergulatan batin yang mendalam dan memurnikan iman kepada Tuhan. Hidup seperti itulah yang disebut hidup yang bertumbuh, berkembang dan hidup yang selalu menghasilkan buah.

Mencintai Tuhan dalam keadaan apapun, menumbuhkan seseorang menjadi pribadi yang tenang, teguh, mantab, tangguh, pasrah dan bahagia. Pribadi seperti inilah yang selalu diinginkan Tuhan bagi kita. Menjadi orang-orang yang mempunyai hati yang tulus, luas, tinggi dan dalam, yang selalu menebarkan ketenangan bagi siapa saja.

Sudahkah kita menjadi orang yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi kita?



4. Kasih sebagai rujukan dalam perbuatan dan perkataan

Tuhan Yesus menekankan tindakan mengasihi sebagai yang terutama, karena Allah adalah Kasih itu sendiri. Allah menciptakan dunia dan segala isinya dengan kasih-Nya yang melimpah. Dunia ciptaan dan manusia adalah luapan kasih Allah. Hal ini berpuncak pada peristiwa inkarnasi, dimana Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Putra-Nya. Karena kasih-Nya yang begitu besar akan dunia ini maka Allah mengutus Yesus untuk menyelamatkan kita.

Ketika mengasihi menjadi hukum yang terutama, maka kasih hendaknya menjadi rujukan pokok dari setiap perbuatan dan tindakan hidup manusia. Pola perilaku dan sikap hidup mesti berakar pada hal ini. 

Maka kualitas keberimanan kita sebagai pengikut Kristus dinilai sejauh mana sikap hidup kita mengekspresikan kasih terhadap Allah dan sesama manusia. Sesama di sini juga berhubungan dengan alam ciptaan, sebagaimana diteladankan oleh St. Fransiskus dari Assisi.

Dunia saat ini semakin induvidualis. Sering kali kita menjadikan kepentingan pribadi yang egois sebagai sumber dan tujuan dari sikap dan tindakan kita. Orang seperti ini akan sulit untuk mencintai. Sebab dalam pikirannya bukan lagi apa yang harus saya berikan kepada sesama, tetapi apa yang sesama harus berikan kepada saya. 

Kita ditantang untuk membangun sikap hidup tanpa pamrih, yang terarah pada kemuliaan Tuhan dan kebahagian diri dan sesama.