Senin, 20 Juni 2016

Dipanggil ketika bekerja

Suatu hari kakek saya bercerita pada ibu saya bahwa beliau bermimpi dan juga beroleh  penglihatan dalam doa bahwa salah satu cucunya memakai jubah seperti pastor. Ibu saya menceritakan hal tersebut pada kami sekeluarga. Mendengar cerita itu kami tertawa karena menganggap mimpi itu sebagai bunga tidur saja.

Sebelum meninggal dunia kakek saya bertanya lagi kepada ibu saya: “Apakah kamu rela melepaskan salah satu anakmu menjadi pastor?” Jawaban ibu saya: “Seluruh kehidupan anak-anakku kuserahkan pada rencana Tuhan. Mengenai panggilan itu aku menyerahkan sepenuhnya pada anakku. Aku tidak akan menghalang-halangi.”

Ketika masih SD, saya sangat senang sekali ketika  pastor memberkati saya sambil tersenyum. Apalagi ketika melihat pastor melayani umat, seperti memberkati benda-benda rohani, walaupun dalam keadaan letih, beliau tetap melayani dengan ramah. Hal inilah yang menyebabkan saya bercita-cita menjadi pastor. Dengan berjalannya waktu saya melupakan cita-cita saya.

Setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, saya berangan-angan untuk bisa segera punya pacar. Lalu saya mengikuti suatu komunitas yaitu “Komunitas Jomblo Katolik” (KJK). Di sana saya sempat dekat dengan seorang wanita dan saya berencana memperkenalkan pada orang tua saya, namun di hati kecil saya berkata jangan terburu-buru dulu.

Hati saya gelisah dan bimbang ketika kontrak kerja saya tidak diperpanjang. Hal inilah yang membuat hubungan kami sedikit renggang dan akhirnya saya menyudahi kedekatan kami.

Atas saran seorang teman, saya setiap hari pergi ke Misa pagi untuk memohon pekerjaan baru. Beberapa saat kemudian Tuhan mengabulkan permohonan saya. Pada saat saya bekerja, jiwa saya sangat tertekan karena saya harus mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani saya.

Dalam kegelisahan dan ketakutan tanpa sadar seringkali saya kata: “Tuhan Yesus tolong saya, saya berjanji akan ikut Engkau. Saya ingin menyerahkan diri total pada kehendak-Mu.”

Ada sebuah pertanyaan yang seringkali muncul di dalam batin saya: “Kemanakah saya harus pergi melangkahkan kaki ini. Di pelabuhan manakah saya harus menyandarkan bahtera saya agar memperoleh hidup kekal.”

Suatu hari saya menemukan sebuah ayat di Yohanes 6:68 [“Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.”].   Dengan ayat ini lahirlah benih-benih panggilan imamat saya.

Setiap hari Jumat ada persekutuan doa ditempat kerja saya. Suatu hari renungan Kitab Suci yang kami baca tentang Nabi Yunus. Setelah selesai membaca Kitab Suci, tiba-tiba saya disadarkan bahwa saya seperti Nabi Yunus, melarikan diri dari panggilan Tuhan sehingga saya mengalami stres dalam mengarungi badai kehidupan.

Suatu hari saya mengikuti Misa di Stasi Agustinus Paroki Santa Maria Tak Bercela (Aula SMAK St. Hendrikus), homili pastor pada Minggu Panggilan: “Gereja Katolik membutuhkan banyak sekali tenaga imam. Jika sampai kita kekurangan tenaga imam, misa akan dilayani 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali. Dan kemungkinan terburuknya Gereja Katolik akan vacum dan bahkan dibubarkan.”

Ketika mendengar homili tersebut, saya merasakan panggilan tersebut, tetapi pikiran saya berkata: “Itu bukan urusan saya, tetapi urusan romo paroki, uskup dan paus.”

Di stasi St. Antonius Gurah-Kediri tempat asal ibu saya,  misa hanya dilayani 2 minggu sekali. Jika pastornya tidak ada, kegiatannya hanya Ibadat Sabda yang dilayani oleh seorang suster atau katekis.

Pada saat lebaran,  saya dan ibu saya pulang kampung. Ibu saya berkata pada bibi saya bahwa saya ada sedikit panggilan. Mendengar hal itu bibi saya dengan antusias berdoa agar suatu saat saya menjadi pastor di stasi  St. Antonius.

Beberapa saat kemudian saya punya kerinduan untuk mengabdikan diri kepada Gereja Katolik, saya ingin mempersembahkan apa yang telah saya miliki selama ini. 

Kemudian saya memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginan saya untuk menjadi pastor kepada ibu saya. Beliau menyambut gembira keinginan saya. Namun, ayah saya sepertinya sangat berat sekali untuk merestui panggilan tersebut, karena saat itu saya masih memiliki tanggungan KPR BTN.

Ibu saya bercerita pada teman-teman persekutuan doanya, mereka menyarankan saya untuk konsultasi pada pastor. Saya berkonsultasi pada Rm. Widyawan, Pr., sebagai romo pembimbing OMK dan pada  pembina OMK. Romo Wid menyarankan saya untuk datang ke Rm Senti, Pr. Beliau memberikan peneguhan bahwa Rasul Andreas (nama baptis saya) dipanggil Tuhan menjadi penjala manusia ketika ia sedang bekerja sebagai nelayan.

Ada seorang teman ibu saya yang menyarankan saya mengikuti komunitas Karmelit Awam di Perumahan Wisma Mukti. Di sana saya belajar berdoa “Ibadat Harian” , Lectio Devina, meditasi dan lain-lain. Setelah mengikuti kegiatan di komunitas ini, saya merasakan damai yang melampaui segala akal dan juga merasakan hadirat Tuhan yang sebelumnya belum pernah saya alami. Melalui pengalaman ini saya merasakan panggilan Tuhan semakin kuat untuk bekerja di ladang-Nya. 

Sungguh luar biasa penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarga saya. Meskipun saat ini saya tidak bisa ikut membayar KPR BTN, Tuhan sediakan berkat pada orang tua saya sehingga rumah kami tidak disita. Janji Tuhan sungguh-sungguh digenapi-Nya dalam kehidupan keluarga saya.

Ketika Tuham memberikan sebuah misi,
Dia selalu 
memasukkan kita ke dalam sebuah proses,
sebuah proses pemurnian,
sebuah proses kebijakan,
sebuah proses ketaatan,
sebuah proses doa.

(Paus Fransiskus)