Selasa, 05 April 2016

05.52 -

Hidup Berkelimpahan


Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).

Dalam Alkitab kita dapat menemukan 2 kata yang dapat diterjemahkan “hidup”, pertama “bios”, kedua “zoe”.

“Bios” adalah hidup yang dimiliki oleh semua mahluk hidup, baik manusia, binatang, dan tumbuhan. Dari kata ini kita mengenal “biologi”

Dalam kehidupan manusia, “bios” bisa digambarkan bagaimana manusia bekerja mencari uang untuk melangsungkan kehidupan yang layak, menikah, memiliki keturunan, begitu sepanjang hidupnya sampai akhirnya mati (selalu berhubungan dengan hal yang bersifat fisik).

“Zoe” berbeda dengan “bios” Zoe adalah hidup dengan segala kekayaan dan kualitas hidup sebagai manusia yang sesungguhnya, hidup yang membawa arti, bukan hanya arti yang bisa dirasakan orang lain, tetapi membawa arti untuk kekekalan.

Kata “hidup” dalam ayat di atas terjemahan dari kata “zoe”.  Zoe selalu berbicara tentang kehidupan dalam hubungannya dengan Tuhan yang dimanifeastasikan dalam segala hal, atau hidup yang selalu berhubungan dengan hal rohani dan tidak bersentuhhan dengan hal yang bersifat fisik atau yang sementara.

Jadi, Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk beroleh hidup yang kekal, bagi yang percaya kepada-Nya (Yoh 3:16-17).

Hidup yang kekal yaitu mengenal Tuhan, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang diutus-Nya (Yoh 17:3).

Jika kita mengenal-Nya secara pribadi, maka Kristus akan melimpahkan segala berkat rohani (Ef 1:3). Dia sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kita, supaya kita senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berlebihan di dalam pelbagai kebajikan. Kita akan diperkaya dalam segala kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah (2 Kor 9:8, 11).

Berhati-hatilah jika memperoleh kelimpahan yang bukan berasal dari Tuhan. Karena Iblis juga bisa memberikan kelimpahan secara fisik.

Iblis berkata kepada Yesus: “ Semua ini akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” (Mat 4:9).

Ingatlah! Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran (Yak 1:17).

Iblis benar-benar  mencuri dan membunuh dan membinasakan ketika dia memberi sesuatu, dia minta pertukaran, yaitu tumbal.
 
Marilah kita belajar dari “Orang miskin yang kaya (Bai Fang Li)”

Namanya Bai Fang Li. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya.

Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja.

Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melanglang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih.

Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian.

Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal.

Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu teplok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah.

Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.

Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek.

Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja.

Tubuh kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan.

Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari sorga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

"Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya ..." jawab anak itu. "Orang tuamu di mana ...?" tanya Bai Fang Li. "Saya tidak tahu ..., ayah ibu saya pemulung ... Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil ..." sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu peduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam enam pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang.

Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya.

Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm ... tapi masih cukup bagus ... gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini ...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapi dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan" katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan " Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa".

Bila seorang yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu penghuni sorga yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan selalu berbagi kepada sesama.

Hidup berkelimpahan berarti hidup yang dipenuhi oleh kasih Allah, yakni hidup yang tidak melekat pada hal-hal duniawi, melainkan hidup yang diarahkan pada kesatuan dengan Allah, mengalami keakraban interaksi dengan Allah.

Kesatuan dengan Allah tampak dalam praktek hidup keseharian: keramahtamaan, persahabatan dengan semua, kerelaan mendengarkan, kerelaan berbagi, kerelaan bersekutu, bergotong royong, mengunjungi dan menghibur siapa pun yang sakit atau membutuhkan, terlibat dalam tatanan bermasyarakat dengan sukacita, dan sebagainya.

Hidup berkelimpahan bukan soal banyaknya materi yang kita raih dan miliki, tetapi hidup yang dibagikan, hidup yang memerdekakan dan memartabatkan.

(Sumber: Warta KPI TL  No.131/III/2016 » Renungan KPI  TL Tgl  18 Februari 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).