Senin, 04 April 2016

19.29 -

Mrk 3:1-6

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)



Penanggalan liturgi


Rabu, 17 Januari 2018: PW St. Antonius, Abas - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: 1 Sam 17:32-33, 37, 40-51; Mzm 144:1, 2, 9-19; Mrk 3:1-6; RUybs.

Rabu, 23 Januari 2019: Hari Biasa II - Tahun C/I (Hijau)
Bacaan: Ibr 7:1-3, 15-17; Mzm 110:1, 2, 3, 4; Mrk 3:1-6


Kemudian Yesus masuk lagi ke rumah ibadat. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. (1) Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia.

Kata Yesus kepada orang yang mati sebelah tangannya itu: "Mari, berdirilah di tengah!" Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja.

Ia (2A) berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan (2B) marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: "Ulurkanlah tanganmu!" Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu.

Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan (3) segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Dia.


Renungan


1. Aturan yang sehat

Aturan yang sehat adalah yang mendatangkan kebaikan. Jika aturan yang ada menimbulkan pertengkaran, pembatasan, dan kejahatan, berarti aturan itu tidak sehat.

Yesus mengundang kita untuk lebih mengutamakan perbuatan kasih daripada peraturan kaku yang kebanyakan merugikan manusia sendiri.

Semoga kita semakin bijaksana dan mampu melihat lebih dalam akan arti pentingnya nilai hidup manusia daripada peraturan-peraturan kaku.


2. Yang baru, yang menggoncangkan

Sejarah membuktikan bahwa setiap bentuk pembaharuan selalu datangkan goncangan bagi mereka yang picik dan terlena dengan aneka kemapanan. Tidak heran kalau muncul berbagai reaksi negatif, bahkan yang sangat brutal untuk basmi setiap gerakan pembaharuan itu.

Dengan Yesus, suatu tata dunia baru sedang datang ke dunia, dan Dia sendiri sedang tetapkan peraturan baru untuk itu, dengan pilar-pilar utamanya: keadilan, cinta, belaskasih, pengampunan dan damai sejahtera. Di dalam dunia baru ini, setiap hukum dan struktur manusia harus diarahkan kepada kesejahteraan total seluruh umat manusia.

Siapkah kita menerima pembaharuan dalam hidup kita? Lebih lagi, sanggupkah kita menanggung resiko sebagai konsekuensi dari cara hidup baru yang kita hayati dan saksikan?



3. Berbuat baik vs legalisme

(1) Legalisme semakin merasuk dalam hati orang-orang Farisi sehingga cara pandang mereka terhadap praktik Sabat tidak murni lagi.

Mereka berpegang pada pandangan legalistik, sehingga gagal melihat tujuan utama dari Taurat, khususnya tujuan dari Taurat Musa di Perjanjian Lama, yang sebenarnya menjadi “penuntun” atau “guru” yang membawa manusia kepada Kristus (Gal 3:24).

Itu sebabnya Tuhan memberikan pertanyaan retoris yang membandingkan perbuatan baik atau jahat, menyelamatkan atau membunuh. Terhadap pertanyaan tersebut, orang- orang Farisi tidak dapat berkata apa-apa. Jika mereka memilih perbuatan baik atau menyelamatkan nyawa, maka mereka tidak bisa menjebak Yesus meski itu adalah jawaban dan perbuatan yang benar.

(2AB) Bagaimana tidak, mereka adalah pemimpin agama yang seharusnya paham tentang bagaimana seharusnya mempraktikkan perintah agama dengan benar, tetapi nyatanya tidak. Mereka lebih memilih aturan daripada prinsip yang membangun aturan tersebut; lebih memilih perbuatan lahiriah daripada perubahan batiniah; lebih mengutamakan legalisme dibanding praktik kasih bagi sesama.

(3) Hati mereka telah mengeras dan spiritualitas mereka telah membeku sehingga rela melakukan apa saja termasuk kejahatan.

Bagaimana dengan hidup kekristenan yang kita jalani selama ini? Masih adakah kasih kepada Tuhan dan sesama? Atau justru kita sedang terjebak dalam legalisme yang membuat kerohanian kita membeku dan hati kita mengeras?

Mari kita memohon pertolongan Tuhan agar menjaga langkah kita menjauhi legalisme dan senantiasa hidup dalam kasih.