19.21 -
*Manusia"
Siapakah Aku Ini Tuhan?
Saya bekerja di Filipina 7 tahun. Tahun 1999 saya diberi kesempatan untuk ikut pelatihan pertanian di Thailand. Di atas pesawat menuju Thailand saya berdampingan dengan seorang turis, dan dia bertanya: “Pastor selalu kotbah cinta kasih, tetapi di mana-mana perang; kotbah keadilan tetapi di mana-mana terjadi penindasan; kotbah bahwa Tuhan Allah Maha Pemurah tetapi Afrika kering kerontang.” – turis itu butuh wujud konkrit dari Allah, dia tidak butuh teori filsafat/teologi.
Saya bingung, karena semua yang dikatakannya itu benar. Lalu saya berdoa: “Tuhan, kalau Engkau mau menobatkan orang ini, Kau tunjukkan saya pikiran yang baik, supaya saya tidak murtad 2 x daripada dia.”
Tiba-tiba ada pikiran yang muncul dan saya bertanya padanya: “Apakah engkau sadar, bahwa engkau masih hidup?”
“Ya, saya sadar, tadi pagi saya makan roti, keju, anggur ... Saya bosan dengan hidup, maka saya jalan kiri kanan untuk royal harta kekayaan saya. Saya punya rumah mewah, mobil ...”
“Tapi semuanya itu tidak ada gunanya, yang engkau tidak sadari itu yang memberi hidup saat ini.” “Apa?” jawab turis tersebut.
Saya menerangkan: “Engkau sedang bernafas atau tidak, itu sudah Tuhan, yang tidak dapat engkau lihat/pegang/sentuh/raba tapi dapat engkau rasakan dalam seluruh kehidupan kita melalui nafas. Nafas itu sesuai dengan janjinya ‘Aku selalu menyertaimu sampai akhir zaman.”
Tuhan menciptakan kita menurut rupa dan gambar-Nya. Ini suatu kepastian yang tidak boleh kita ragukan. Siapa pun sesama kita, meskipun berbeda latar belakang kehidupan, budaya, bahasa, warna kulit, orang miskin/kaya, punya jabatan besar/kecil – kita adalah satu dan sama di hadapan Tuhan, karena kita diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya sendiri.
Merefleksikan kehidupan tidak terbatas hanya pada fisik (ganteng/tidak, kaya/miskin, prestasi, jabatan, populeritas), karena semua itu hanyalah fana/sia-sia/hampa.
Karena itu kita sudah sepantasnya untuk merefleksikan dan bertanya: “Tuhan, apakah manusia itu, sehingga Engkau mengingat dan mengindahkan-Nya?” (Mzm 8:5). Siapakah aku ini Tuhan? Jadi biji mataMu... (Bdk. Mzm 17:8).
Hidup yang tidak direfleksikan,
tidak pantas untuk dihidupi.
(Aristoteles)
Marilah kita mengenangkan kembali peristiwa 11 September 2001.
Menara kembar pencakar langit di New York dibanggakan sebagai prestasi peradaban manusia, pusat perdagangan dunia lenyap seakan-akan ditelan bumi dan tinggal impian. Gedung megah yang tingginya sampai mencakar langit remuk karena ada keangkuhan di dalamnya.
Dunia terkejut, Amerika merasa terluka, karena menara kembar itu adalah simbol adi daya, kuasanya. Di situlah kekuatan ekonominya yang sekaligus mengendalikan ekonomi dunia.
Pada saat yang bersamaan Gedung Pentagon juga dihancurkan sebagian, padahal itulah simbol adi kuasa Amerika karena di situlah terdapat pusat militernya, sekaligus menjadi polisi dunia. Ternyata dengan memakai hasil teknologi Amerika sendiri, para teroris dapat merobohkannya dalam sekejap.
Amerika sang adi kuasa amat rapuh daya tahannya, warganyapun merasa amat terancam dengan adanya gas beracun dari antraks menyebar, pernafasan terganggu- seluruh warga hidup dalam keterancaman/ketakutan.
Hidup yang silih berganti, orang-orang meratap karena ketakutan/kecemasan/kebingungan/kekuatiran/penderitan-penderitaan/kepahitan, terdengar teriakan manusia yang lemah dan rapuh ini “Ya Tuhan, beritahukanlah kepadaku ajalku dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku! Bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa (Mzm 39:5-6) - diakibatkan karena mereka terlalu sombong/angkuh/terlalu percaya diri/mengandalkan kemampuan dan kekuatannya sendiri.
Hakekat kita dihadapan Tuhan seperti rumput dan bunga di padang; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi dia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi (Mzm 103:15-16).
Memang manusia itu rapuh seperti bunga di padang, pagi hari mekar, sore hari layu dan kering. Apabila kita mengalami problem dalam hidup, keluh kesah itu perlu kita sampaikan pada Tuhan (Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu – Mat 11:28) - undangan ini tidak termakan karat dan ngengat karena Tuhan tahu kelemahan kita.
Keluh kesah kefanaan dan kerapuhan merupakan ungkapan ketergantungan kita kepada Allah, bukanlah suatu tanda putus asa.
Dalam Kitab Suci terdapat kata ‘jangan takut’ sebanyak 365 x, yang mempunyai arti “Tuhan selalu membisikan kata ‘jangan takut’ setiap hari”, kata itu masuk ke telinga lalu turun ke hati, sehingga kita memperoleh kekuatan dalam menjalani ziarah ini.
Jangan takut...
Aku adalah awal dan akhir, Aku adalah perisaimu (Why 1:17; Kel 15:1).
Kuatkan hatimu, jika diaibkan oleh manusia (Yes 35:4; Za 8:13; Yes 51:7).
Jangan tawar hati/patah hati/hatimu kecut (Yos 8:1; 10:25; Ul 1:21; Yes7:4).
Berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan yang telah menebusmu, menyertaimu; memanggil namamu karena kamu ini kepunyaan-Nya (Kel 14:13; Kej 26:24; Bil 14:9; Yes 41:10: Yes 43:1).
Manusia yang rendah hati sadar bahwa ia selalu bergantung pada Allah, sehingga ia dapat menikmati kebahagiaan (ketenangan batin, kedamaian, sukacita) yang tidak bisa diberikan oleh dunia.
Sebaliknya kalau manusia menyombongkan diri dan menolak ketergantungannya pada Allah, maka ia sedang menuju pada kehancuran.
Hanya ada satu obat penawarnya, yaitu kembali pada Sang Pencipta (Tuhan).
Dalam menghayati hidup, kita perlu meneladani hidup Kristus sendiri, yaitu menghayati panggilan hidup sebagai hamba.
Yesus dalam kerapuhan dan kefanaannya, Dia tetap mempercayakan diri pada Allah (Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu! – Luk 4:1-13).
Marilah kita percayakan diri kepada Tuhan dan selalu merefleksikan tentang kemurahan dan kasihnya.
(Sumber: Warta KPI TL No. 42/X/2007; Renungan KPI TL Tgl 6 September 2007, Rm Vande SVD).