Selasa, 10 November 2015

18.35 -

Janji-Mu Seperti Fajar



Pada tahun 1999, saya di pindah dari Magelang ke Karang Anyar. Romo yang saya gantikan di pindah ke Klepu, Yogya. Sebagai orang yang baik, saya antarkan Romo itu.

Di Magelang saya ada janji untuk memberikan renungan para pengusaha di sana jam 6. Setelah menurunkan Romo yang saya gantikan, perhitungan saya Yogya-Magelang + 1 ½ jam, masih ada waktu ½ jam untuk istirahat.

Tetapi tiba-tiba setelah lewat Sendangsono, pas di tengah-tengah sawah, tidak ada rumah di situ, mobil yang saya pakai bannya pecah. Begitu terasa oleng saya berdoa: “ Tuhan, tolong ... biar kalau ada apa-apa, biar aku saja yang celaka dan tidak membuat orang lain celaka. Biar menjadi kecelakaan tunggal saja.”

Selesai saya berdoa, mobil berhenti, saya tersadar telah mengalami nasib buruk, ban pecah. Pada saat saya mau ganti ban yang pecah, ternyata dongkraknya rusak, nggak bisa dipakai.

Saya berdoa mengandalkan pertolongan Tuhan, moga-moga Tuhan mengutus orang-orang yang baik lewat, paling tidak mau meminjamkan dongkraknya.

Di samping mobil yang bannya pecah itu, saya berdiri melambaikan tangan sambil tersenyum yang paling manis, siapa tahu ada orang yang berbelas kasihan melihat saya. Setiap melambaikan tangan ... lewat ... lewat ...

Nyaris putus asa, saya melihat dari kejauhan ada satu rombongan orang lewat, ada rosario besar digantungkan di spion tengah, manik-maniknya itu kilap-kilap, pasti mahal sekali harganya.

Pikir saya, pasti dia orang baik; saya tidak saja melambaikan tangan, tetapi juga membuat tanda salib, biar tahu kalau seiman ... ternyata lewat.

Saya berteriak: “Tuhan, mana janji-Mu, mana pertolongan-Mu! Kok ndak datang-datang, mana buktinya, kata-Mu janji-Mu laksana fajar cemerlang, menyinari orang yang meringkuk dalam kegelapan maut, mana pertolongan-Mu, mana fajar-Mu. Memang ini sudah siang, tolong Tuhan.”

Saya menghayati janji itu karena sejak frater, doa itu wajib saya doakan.

Lalu saya doa lagi, saya lihat dari jauh ada suster-suster pakai kerudung. Saya bukan saja melambaikan tangan, tapi juga saya memberi berkat. Saya pikir lebih baik ... ternyata lewat juga. Saya dikira orang gila, siapa percaya di tengah jalan ada orang memberkati.

Di situlah saya benar-benar putus asa, sudah mendekati sore dan sudah dikontak “Romo, di mana ini ... bisa terlambat.”

Jawab saya: “Tuhan tidak pernah terlambat memberi pertolongan, tapi maaf saya terlambat karena ban mobilnya pecah nggak bisa jalan.”

“Ya sudah Mo, kami jemput di ..., masih cukup waktunya.” Mobil saya tutup semuanya dan mobil tersebut saya tinggalkan, karena tidak ada harapan lagi untuk minta tolong.

Tiba-tiba ada mobil berhenti dan saya ditanya: “Yok opo cak, mobil kok ditinggal ndek situ?” “Ban-ne pecah mas, nggak punya dongkrak. Aku mau cari pertolongan ... tapi orang-orang yang lewat ndak ada yang perhatian. Lek boleh aku nunut sampai jalan besar.”

Jawabnya: “Kan kasihan mobilnya, ini aku ada dongkrak.” Tanpa diminta, dia menawarkan dongkraknya lalu dia duduk mengganti ban yang bocor itu, sambil mengucap: “Bismillah ...”.

Di Karang Anyar, sebelum berangkat saya diberi uang saku sebesar tujuh puluh lima ribu. Saya pikir berapa yang harus saya berikan sebagai rasa terima kasih pada Tuhan yang menolongku; lek seket ewu kepiye, mung duitku pitu limo, lek limo ewu kok sitik. Yo wis lah rong polo ewu, pantes. Saya ambil dompet ternyata... yang dua puluh ribu nggak ada. Akhirnya saya memutuskan untuk memberi lima puluh ribu saja, wong dia sudah berbuat baik, banyak pun nggak masalah.

Waktu saya buka dompet, sopir yang membantu mengganti ban yang pecah itu bilang: “Wong sesama sopir ae kok repot.”

*
Pengalaman hidup saya ketika menjadi misionaris di Sumatera, saya tinggal di seminari Pematang Siantar. Saya sehari-hari berbahasa Jawa, sedangkan mereka sehari-hari berbahasa Toba. Belum genap sebulan saya di Sumatera itu, saya ditawari asistensi di sebuah paroki Lubuk Pakan (Medan). 
 \
Di Sakristi saya lihat semua buku yang disediakan bahasa Toba, padahal saya baru bisa ngomong 2 kata saja yaitu ‘terima kasih’. 

Lalu saya panggil mudika yang mengantar saya ke pastoran, “Tolong sampaikan katekis kalau saya nggak bisa bahasa Toba, soalnya baru sebulan di sini.” Bapak itu mengatakan: “Kalau Misa bahasa Indonesia, pulang saja, Misa di rumah sendiri!” Sudah tak bela-belain basah kuyup sampai tempat itu, disuruh pulang. Bapak itu meyakinkan: “ Ini sudah ada bukunya, tinggal baca saja.”

Saya belum pernah membaca bahasa Toba tapi harus baca dan kotbah bahasa Toba. Saya baca saja pengantar yang dicetak miring, “Waktu sejak awal mula...” Mereka tidak menjawab ‘amin’ tetapi tertawa, karena saya ngomong salah semua. Ternyata bahasa Toba yang tertulis dan ucapannya sama sekali berbeda.

Selesai Misa semua orang tertawa dan menyalahkan saya: “Bagus sekali pastor ini, baca pun salah-salah/belajar bahasa Toba jangan seperti itu.” ~ hanya Tuhan yang memberkatiku, bukan salahku.

Telinga saya masih merah, ketika ada seorang anak datang berlari-lari menyampaikan berita bahwa neneknya yang sudah berbulan-bulan terbaring lemas itu minta di doakan.

Saya pun kena tugas, lagi-lagi panduan buku doa untuk orang sakit bahasa Toba. Saya baca buku doa itu, dan nenek yang pandangannya kosong, ndak bisa apa-apa itu, ndak bisa bergerak dan ngomong; mendengar saya doa yang salah-salah itu terpingkal-pingkal lalu bangun ... menjadi sembuh.

Tuhan selalu memberi pertolongan demi pertolongan yang tak pernah terlambat. Yang bodoh dipakai Allah untuk menyembuhkan orang itu.

Kadang-kadang kita sebagai manusia mengalami putus asa dalam menanggapi janji-janji itu. Tetapi Tuhan tidak pernah terlambat memberi pertolongan, janji-Nya seperti fajar, yang tak pernah terlambat bersinar. Yang menjadi soal ‘bagaimana kita menanggapi janji itu’.

Kalau kita mempersiapkan diri seutuhnya, dengan segala kerapuhan/kelemahan kita dan berkata: “ Tuhan, pakailah aku ...” – tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.


*
Pada waktu Zakaria sedang mempersiapkan Misa, malaikat menampakkan dirinya dan menyampaikan kabar sukacita, bahwa ‘istrinya yang tua dan mandul itu akan melahirkan seorang anak laki-laki dengan kuasa Allah’.

Zakaria mendengar kabar itu ragu/kurang percaya, maka lidahnya menjadi kelu dan dia menjadi bisu. Ternyata istrinya benar-benar mengandung dan melahirkan anak. Pada saat anaknya diberi nama Yohanes, lidahnya yang kelu dibebaskan, dan dia bisa berkata-kata serta memuji Tuhan.

Kidung Zakaria (Luk 1:68-80) inilah yang menjadi inspirasi lagu yang terkenal “JanjiMu seperti fajar

Terpujilah Tuhan ... Ia mengangkat bagi kita seorang penyelamat yang gagah perkasa; ... Ia mengunjungi kita laksana fajar cemerlang ... ~  janji Allah sendiri dinyatakan dan sudah terbukti, bukan sebagai janji tetapi sudah digenapi di dalam Yesus Kristus Putra-Nya.

Marilah kita berjuang meng-iman-i janji-janji itu, sehingga janji-Nya menjadi nyata bagi kita. 

(Sumber: Warta KPI TL No. 43/XI/2007; Renungan KPI TL Tgl 27 September 2007, Rm Aloys Budi Purnomo, Pr).