05.09 -
*Panggilan Allah*
Dapatkah Engkau Minum Cawan Itu?
Minum cawan yang diminum Yesus adalah menjalani
kehidupan di dalam dan dengan semangat Yesus, yaitu semangat cinta yang tak
bersyarat – tindakan pengosongan diri, tindakan kepercayaan total, tindakan
berserah kepada Allah yang akan memberi kita apa yang kita perlukan pada saat
kita memerlukannya.
Keakraban antara Yesus dan Bapa-Nya adalah intimitas
dari kepercayaan yang sempurna – memberi Yesus kekuatan untuk minum cawan-Nya.
Keakraban yang sama itu ingin diberikan Yesus kepada
kita sehingga kita bisa minum cawan kita – dengan bimbingan Roh Kudus yang akan
memberi kita kekuatan dan keberanian untuk tetap menjawab “ya”.
Sebagaimana ada bermacam-macam anggur yang tak
terhitung banyaknya, kehidupan pun beraneka ragam, tak terhitung jumlahnya.
Tidak ada dua kehidupan yang sama. Kita harus memegang cawan kita sendiri.
Banyak orang bisa menolong agar kita sanggup menapaki kehidupan, tetapi setelah
semuanya dikatakan/dilakukan, kita tetap harus menentukan pilihan-pilihan
tentang bagaimana kita harus hidup.
Refleksi mutlak dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan perubahan. Di situ terletak kekuatan khas manusia. Kehidupan
yang tidak direfleksikan adalah kehidupan yang tidak bernilai.
Dapatkah kita memegang kehidupan kita, mengangkat
kehidupan kita, dan meminumnya, seperti yang telah dilakukan Yesus?
Cawan Yesus adalah cawan penderitaan, tidak hanya penderitaan-Nya sendiri, tetapi penderitaan seluruh umat manusia – penuh kecemasan fisik, mental, dan spiritual akibat kelaparan, siksaan, kesepian, penolakan, perasaan ditinggalkan, dan kecemasan yang sangat mendalam – penuh kepahitan. Siapa yang mau meminumnya?
Yesus pun tidak kuasa menghadapinya – terlalu banyak
kesakitan yang harus ditanggungnya, terlalu banyak penderitaan yang harus
direngkuh, terlalu banyak beban berat yang harus dipikul. Ia merasa tidak
sanggup minum cawan yang seluruhnya penuh berisi penderitaan.
Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku (Mat 26:39)
Kebersamaan yang akrab dengan Bapa-Nya, yang
menyebabkan Dia tetap memegang cawan itu dan berdoa,
… janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan
seperti yang Engkau kehendaki (Mat 26:39).
Dengan kekecewaan-Nya Yesus tidak melemparkan cawan
itu, tetapi tetap memegang cawan itu di kedua tangan-Nya. Ia meminum semuanya
dengan tuntas. Di tengah doa Yesus yang sedang
dilanda kesedihan sangat dalam yang meminta Bapa membiarkan cawan
penderitaan-Nya berlalu, ada satu penghiburan juga.
Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri
kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya (Luk 22:43)
Setiap orang yang berani
menyelami penderitaan manusiawi kita secara mendalam akan menemukan pewahyuan sukacita - kegembiraan sejati,
yang bukan berdasarkan pada kesuksesan, kemajuan ataupun jalan keluar dari
kemiskinan mereka, tetapi yang mencuat dari semangat ketabahan manusia, hidup yang sepenuhnya berada di
tengah semua keadaan yang aneh.
Cawan kehidupan adalah
1. Memegang cawan kehidupan - cawan sukacita yang sama banyaknya dengan cawan dukacita – kesedihan dan kegembiraan, ratapan dan kegirangan dan tidak dapat terpisahkan.
Itulah sebabnya kita harus memegang cawan tersebut dengan kedua tangan kita dan memperhatikannya dengan saksama sehingga kegembiraan yang tersembunyi di dalam kesedihan bisa kita temukan – memerlukan disiplin yang keras/melihat secara kritis apa yang kita jalani.
Diperlukan keberanian yang besar untuk melakukannya, karena pada waktu kita mulai memperhatikan, kita bisa menjadi ngeri akan apa yang kita lihat – ketakutan bisa muncul dari tempat-tempat yang tidak terduga, lalu kita akan tergoda untuk berkata, “Jalani saja hidup ini apa adanya.
Semua pemikiran-pemikiran tentang kehidupan hanya akan mempersulit keadaan saja.” Meskipun secara naluriah kita tahu, kita akan kehilangan pandangan dan arah kita.
2. Mengangkat cawan kehidupan = mempersembahkan berkat – cawan mereka yang berhati lembut yang dipersembahkan bagi kita. Supaya orang lain bisa melihat dan juga mendorong mereka untuk mengangkat kehidupan mereka.
Undangan untuk meneguhkan dan merayakan kehidupan bersama-sama dalam komunitas – persahabatan antara orang-orang yang tidak menyembunyikan kegembiraan dan penderitaan mereka, tetapi membiarkannya terbuka bagi sesama dalam sikap berpengharapan.
Banyak orang merasa dikutuk Tuhan dengan adanya penyakit, kehilangan, cacat, dan ketidakberuntungan. Mereka percaya tidak ada satu berkat pun dalam cawan mereka.
Tetapi, ketika Yesus mengambil cawan pada malam sebelum kematian-Nya, cawan itu bukanlah cawan kutukan, melainkan cawan berkat (misteri Ekaristi - cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu – Luk 22:20) – cawan perjanjian baru dan kekal yang mempersatukan kita dengan Allah dan antara kita dengan yang lain dalam komunitas cinta.
Komunitas itu bagaikan mosaik yang besar. Setiap keping kecil kelihatannya tidak begitu berarti. Tetapi, bila semua batu kecil ini disusun menjadi mosaik besar yang melukiskan wajah Kristus, siapakah yang akan pernah menanyakan arti setiap keping itu? Jika salah satu batu itu hilang, meskipun yang paling jelek, wajah itu tidak menjadi lengkap.
Dalam satu mosaik, setiap batu kecil sangat diperlukan dan memberikan sumbangan yang unik bagi kemuliaan Tuhan. Itulah komunitas, persahabatan antara orang-orang bersahaja yang secara bersama-sama membuat Tuhan dapat terlihat di dunia.
Janganlah ragu-ragu menerima realitas kehidupan. Marilah saling mendukung untuk mensyukuri anugerah yang kita terima.
3. Minum cawan kehidupan – mengambil dan menyelami kehidupan yang unik sepenuhnya, dengan segala kesedihan dan kegembiraannya. Tidaklah mudah untuk melakukannya.
Acap kali protes yang keras terhadap “nasib” timbul dalam diri kita. “Mengapa saya harus seperti ini? Saya tidak meminta dan menghendakinya.”
Baru setelah mampu menemukan kekuatan yang unik, kita bisa mengatasi protes kita dan menaruh cawan kehidupan kita pada bibir kita dan meminumnya, perlahan-lahan, hati-hati, tetapi secara penuh pengharapan, keberanian, dan kepercayaan dalam menghadapi realitas di sekeliling dan menanggapi semuanya itu dengan hati kita sehingga kita menemukan kebebasan yang sejati.
Kalau kita tidak minum cawan kita karena menghindari kesedihan, sama saja dengan menghindari kegembiraan dalam hidup, maka kehidupan kita menjadi palsu, tidak jujur, dangkal, dan membosankan – kita menjadi boneka-boneka yang digerakkan ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, seturut kemauan pengendali-pengendali boneka di dunia ini (jadi korban dari kepentingan dan kemauan orang).
Minum cawan keselamatan berarti mengosongkan cawan penderitaan dan sukacita sehingga Allah dapat mengisinya dengan kehidupan yang murni.
Menjalani kehidupan yang lengkap berarti minum cawan kita sampai kosong, percaya bahwa Allah akan mengisinya dengan kehidupan kekal.
Jalan untuk minum
cawan kita adalah:
1. Dengan tinggal dalam keheningan
Barangkali pada awalnya keheningan hanya membuat kita takut karena kita mulai mendengar suara kegelapan: iri hati dan amarah, rasa benci dan keinginan untuk membalas dendam, nafsu dan keserakahan, serta sakit yang kita rasakan akibat kehilangan, perlakuan yang kasar dan penolakan.
Suara ini kerap kali gaduh dan riuh, bahkan bisa membuat kita tuli. Reaksi kita yang paling spontan adalah lari menjauhinya dan kembali ke hiburan kita (radio, televisi, buku, film, kerja keras, kehidupan sosial yang sibuk).
Tetapi, kalau kita memiliki disiplin untuk bertahan dan tidak membiarkan suara kegelapan ini mengintimidasi, maka sedikit demi sedikit kekuatan suara itu akan hilang.
Dan berganti dengan suara-suara tentang perdamaian, kebaikan, keramahan, kebajikan, sukacita, harapan, pengampunan, dan terutama cinta – suara kebenaran.
2. Dengan kata-kata
Kalau kita berani berbicara dari lubuk hati terhadap sahabat-sahabat yang diberikan Allah kepada kita, secara bertahap kita dapat menemukan kebebasan baru di dalam diri kita dan keberanian baru untuk menjalani kesedihan dan kegembiraan kita sepenuhnya.
Bila kita dikelilingi sahabat-sahabat yang mencintai kita, kematian akan menjadi pintu gerbang untuk masuk ke dalam persekutuan para kudus.
3. Dengan bertindak
Tidak mudah membedakan antara mengerjakan apa yang harus kita lakukan sesuai dengan panggilan kita dengan mengerjakan apa yang ingin kita lakukan.
Tindakan yang benar mengarahkan kita pada kepenuhan panggilan kita. Kalau kita melakukan kehendak Allah dengan sepenuh hati dan bukan melakukan kehendak kita sendiri, ternyata membawa kita pada sukacita dan damai sejati.
1. Dengan tinggal dalam keheningan
Barangkali pada awalnya keheningan hanya membuat kita takut karena kita mulai mendengar suara kegelapan: iri hati dan amarah, rasa benci dan keinginan untuk membalas dendam, nafsu dan keserakahan, serta sakit yang kita rasakan akibat kehilangan, perlakuan yang kasar dan penolakan.
Suara ini kerap kali gaduh dan riuh, bahkan bisa membuat kita tuli. Reaksi kita yang paling spontan adalah lari menjauhinya dan kembali ke hiburan kita (radio, televisi, buku, film, kerja keras, kehidupan sosial yang sibuk).
Tetapi, kalau kita memiliki disiplin untuk bertahan dan tidak membiarkan suara kegelapan ini mengintimidasi, maka sedikit demi sedikit kekuatan suara itu akan hilang.
Dan berganti dengan suara-suara tentang perdamaian, kebaikan, keramahan, kebajikan, sukacita, harapan, pengampunan, dan terutama cinta – suara kebenaran.
2. Dengan kata-kata
Kalau kita berani berbicara dari lubuk hati terhadap sahabat-sahabat yang diberikan Allah kepada kita, secara bertahap kita dapat menemukan kebebasan baru di dalam diri kita dan keberanian baru untuk menjalani kesedihan dan kegembiraan kita sepenuhnya.
Bila kita dikelilingi sahabat-sahabat yang mencintai kita, kematian akan menjadi pintu gerbang untuk masuk ke dalam persekutuan para kudus.
3. Dengan bertindak
Tidak mudah membedakan antara mengerjakan apa yang harus kita lakukan sesuai dengan panggilan kita dengan mengerjakan apa yang ingin kita lakukan.
Tindakan yang benar mengarahkan kita pada kepenuhan panggilan kita. Kalau kita melakukan kehendak Allah dengan sepenuh hati dan bukan melakukan kehendak kita sendiri, ternyata membawa kita pada sukacita dan damai sejati.
Apabila kita mendengarkan suara Allah dalam keheningan
dan berbicara kepada sahabat-sahabat dalam kepercayaan, maka kita tahu apa yang
harus kita lakukan sesuai dengan panggilan kita dan akan kita lakukan dengan
hati penuh rasa
syukur.