Sabtu, 18 Juli 2020

Tuhan sudah merencanakan seluruh perjalanan hidupku

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepada-Mu. Pikullah kuk yang kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Matius 11:28-30). 


Ketika melihat kembali ke masa kecil, saya menyadari betapa ada beberapa periode di masa kecil saya yang kurang kasih dalam keluarga. Saya hidup dalam pola asuh otoriter, dimana orang tua tidak memberikan ruang diskusi yang cukup pada anak. Saudara-saudara dan saya harus patuh, dan konsekuensi jika melanggar adalah hukuman yang ditentukan bahkan sampai pukulan. Jadi sedari kecil saya sudah terbiasa menerima persetujuan atau larangan, tanpa ada penjelasan mengapa hal itu boleh atau tidak boleh dilakukan. 

Ada suatu contoh konkrit yang masih saya ingat, ketika ayah saya melihat rambut saya dipotong pendek dan beliau sangat tidak suka, bahkan beliau mendiamkan saya selama berhari-hari. Saya dibiarkan kebingungan mengapa ayah saya tidak mau berbicara kepada saya. Hingga beberapa tahun kemudian saya mulai memahami tindakannya, beliau sangat takut jika anak perempuan nya akan bersikap kelaki-lakian jika rambutnya dipotong pendek. Dan hal sederhana seperti ini harus saya yang menyimpulkan, karena tidak ada diskusi yang menjelaskan segala sikap dari orang tua saya. 

Dan masa remaja saya, saya selalu merasa dianak tiri-kan” karena tidak ada penjelasan yang bisa saya terima mengapa ibu saya selalu membela kakak laki-laki saya meskipun sikapnya salah, ataupun ketika ibu saya membela adik saya jika berbuat kasar dan terus mengingatkan saya jika adik adalah anak yang membawa keberuntungan dalam kepercayaan orang tua. 

Dalam keluarga tidak ada sikap yang terbuka atau diskusi yang netral, banyak sekali pertanyaan dalam hidup saya yang tidak terjawab. Oleh sebab itu semasa masa SMP, saya memberontak dengan cara mengikuti banyak kegiatan di sekolah supaya tidak perlu pulang ke rumah tepat waktu. Saya mengikuti berbagai kegiatan seperti OSIS, koor untuk pelayanan di gereja, atau tim inti regu voli sekolah yang memakan waktu latihan cukup banyak. Dan dengan semua kegiatan ini, semua emosi negatif dan tenaga saya bisa tersalurkan dengan sebebas-bebasnya

Maju beberapa tahun kemudian, masa dimana saya kuliah kebetulan ibu saya menghendaki saya kuliah di suatu jurusan idamannya. Dan universitasnya pun sudah ditentukan harus yang di dekat rumah saya. Namun saya merasa itu bukanlah jurusan yang saya inginkan dan kebetulan juga jurusan yang saya inginkan tidak ada di universitas yang disarankan ibu saya. Dan saya pun mendapatkan suatu bentuk “hukuman” yaitu tidak boleh menggunakan fasilitas transportasi yang disediakan orang tua. Jadi saya selama beberapa tahun awal masa kuliah saya harus naik transportasi umum yang beberapa kali berganti (dari keluar gang berjalan kaki, naik bemo, lalu mengejar bus umum). 

Efek negatif dari pola asuh ini menjadikan saya seorang yang mandiri dan tomboy. Dari kecil memang saya suka memanjat pagar, memanjat pohon di depan rumah atau kalau sedang di rumah kakek, bisa saya panjat juga pohon kelapa di halaman rumahnya. Untuk bermain ke rumah sahabat saja saya lebih memilih untuk memanjat tembok samping rumah, hingga pada suatu hari ayah saya tanpa berkata apa-apa atau tanpa memberi peringatan langsung memasang teralis penghalang hingga tidak bisa saya lewati lagi.

Namun, puji Tuhan dengan segala karakter tomboy dan kemandirian saya, semua ini menjadi keuntungan besar untuk saya selama masa kuliah yang harus menggunakan transportasi umum. Dengan gaya tomboy dan wajah yang tidak begitu ramah membuat saya bisa lebih menjaga diri dengan baik ketika ada preman atau pengamen kasar di bus umum yang memiliki niat tidak baik pada penumpang. 

Semakin dewasa saya tumbuh dengan karakter yang keras, mudah marah dan mudah sekali menangis ke arah frustasi karena saya tidak bisa menyalurkan perasaan seperti orang kebanyakan. 

Sedari dulu karena hal ini saya selalu bercerita kepada Bunda Maria. Kebetulan dulu sekolah saya berdempetan dengan komplek gereja. Dan setiap curhat ada rasa kelegaan yang bisa menenangkan jiwa saya. Tuhan seakan selalu mendengarkan dan memberi petunjuk untuk semua keputusan yang saya tanyakan. Dan salah satunya adalah mengenai jodoh. Saya selalu rutin berdoa Rosario semenjak saya mendapatkan suatu Rosario skapulir oleh-oleh dari Korea Selatan pemberian boss saya. 

Dan ketika saya bertanya apakah ada seseorang di luar sana yang bisa memahami saya? Lalu suatu hari Tuhan jawab dengan mengirimkan seorang laki-laki yang berbeda dari kebanyakan teman laki-laki saya. Suami saya dulu pertama kali mengajak “date” bukan ke restoran atau cafe tetapi ke acara adorasi bersama Rm. Yohanes, O Carm. 

Singkat cerita setelah 4 tahun pacaran, kami menikah dan selama awal pernikahan kami mengalami pasang surut hubungan sebagai pasangan. Bertahun-tahun kami mengandalkan kekuatan manusia, tidak mengikuti ajaran Tuhan Yesus untuk saling mengasihi. Pertengkaran demi pertengkaran kami lalui hingga suatu saat keadaan rumah tangga kami hampir renggang. Hal itu terjadi karena saya keras kepala dan suami tidak sabar menghadapi saya . 

Akhir tahun 2016 suami saya mengikuti Camp Pria Sejati (PRISKAT) dan saya pun mengikuti Camp Wanita Berhikmat Katolik (WABERKAT). Puji Tuhan, kami dipulihkan dan saya mulai melihat begitu banyak sisi pandang lain yang dulunya dengan keras kepala saya tolak untuk melihat. 

Berkat pengajaran di Camp kami disadarkan akan peran kami masing-masing agar kehidupan keluarga kami bisa lebih harmonis dan bahagia. Selain itu saya juga melihat Tuhan membentuk saya dengan cara-Nya yang misteriusDia membentuk saya menjadi pribadi yang terus berharap dan mengandalkan kekuatan-Nya sejak saya kecil hingga saat ini. Sejak saat itu, saya merindukan menjadi "anak terang". 

Dengan berjalannya waktu  saya semakin mengerti arti cinta kasih yang saya rasa hilang dari orang tua tidaklah benar-benar hilang. Dulu, saya memang tidak di-didik dengan bahasa kasih melalui sentuhan atau pelukan. Sekarang, Tuhan memperlihatkan pada saya bahwa orang tua saya telah melakukan segala hal untuk saya dengan bahasa kasih melalui hadiah dan melayani. Setelah mengerti hal ini, maka saya sungguh berterima kasih atas segala pengorbanan mereka.

Oleh karena itu, saya mendekatkan anak-anak kepada Tuhan, mengajari mereka  untuk saling terbuka dan membantu sebisanya jika ada salah satu dari mereka mengalami kesulitan atau menghadapi masalah. Kami sekeluarga mulai belajar saling mendengarkan, saling mendukung dan saling menyayangi satu sama lain. 

Ketika saya letih lesu dan berbeban berat, saya percaya Tuhan akan memberikan kelegaan kepada saya. Dan ketika Dia mengatakan “pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” dan saya memegang janji-Nya ketika mengatakan: “jiwamu akan mendapatkan ketenangan”. Sebab ternyata benar saya bisa rasakan kuk yang dipasang itu enak dan bebannya pun ringan.”