Senin, 27 Juli 2020

Hidup bersama

 

Manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berinteraksi dengan sesama. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, tetapi sangat membutuhkan peran orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia membentuk pengelompokan sosial di antara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. Jadi, manusia tidak pernah bisa hidup seorang diri. Di mana pun dan bila mana pun manusia senantiasa memerlukan kerjasama dengan orang lain. 

Dalam kehidupan bersamanya, manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu jaringan interaksi sosial antar sesama untuk menjamin ketertiban sosial. Interaksi-interaksi itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan lingkungan hidup seperti keluarga inti, keluarga luas atau kelompok masyarakat. Jadi, manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi untuk kelangsungan hidupnya. 

Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukunSebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat kehidupan untuk selama-lamanya (Mzm 133:1, 3b). 

Sebagai pasangan muda, saya mempunyai kerinduan untuk mempunyai rumah tangga yang damai dan harmonis. Namun saya tidak tahu caranya untuk mengusahakan hal itu. 

Suatu hari saya bertemu dengan seorang ibu (A) di gereja. Karena melihat saya membawa anak, maka A meng-info-kan bahwa ada BIAK di Wilayah, tempat pertemuannya, beda satu gang dari rumah saya. Setelah satu bulan saya tidak menanggapi undangannya, maka setiap pulang dari pertemuan BIAK, A selalu mampir ke rumah saya. Karena sungkan (merasa tidak enak di hati), suatu hari saya membawa anak saya hadir ke pertemuan tersebut. Karena anak saya baru berusia 3 tahun, maka saya menungguinya. 

Suatu ketika, salah satu guru pembinanya tidak datang. Lalu saya diminta tolong oleh A untuk menggantikannya, katanya: "Bu, pembina yang membantu saya mendadak sakit perut. Tolong dibantu ya ... untuk bercerita pada anak-anak yang kecil. Hanya 5 menit saja lalu mereka diberi aktifitas." 

Awal mulanya saya menolak, akhirnya saya menyetujuinya dan saya bercerita tentang "kelahiran Yesus", meskipun saat itu bukan Hari Raya Natal. Sejak saat itu saya mempersiapkan diri dengan membaca Kitab Suci lagi. 

Suatu hari, A mengajak saya untuk mengikuti "Sekolah Bina Iman Anak Katolik" di Keuskupan Surabaya. Ada perkataan pengajar yang sangat berkesan di hati saya, yaitu: "Anda sekalian dipanggil Tuhan untuk membina iman anak. Jika seorang pembina sudah mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Kristus, maka pembina tersebut baru bisa mentransfer perjumpaan Pribadi itu kepada anak-anak yang dipercayakan Tuhan untuk dibina imannya". 

Pada saat retret, kami di-ingatkan juga tentang ayat di Matius 18:6, “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Oleh karena itu lebih dari 2 tahun saya belum berani mengajar BIAK karena saya takut salah mengajar. 

Dengan berjalannya waktu, Tuhan mempertemukan saya dengan “keluarga kaum beriman”, yaitu KPI TL. Melalui pengajaran-pengajaran di komunitas ini, saya beroleh banyak pengetahuan tentang cara “hidup kudus dan sempurna di hadapan Tuhan” (Visi KPI TL). 

Melalui komunitas ini, para anggotanya diajak untuk (1) menjadikan Sabda Allah sebagai pedoman hidup sehari-hari. (2) Mengambil bagian secara aktif dalam hidup menggereja. (3) Membangun kehidupan rohani dan membuka diri untuk dibentuk Tuhan bersama keluarga. (4) Mencintai Yesus yang ada dalam diri sesama (Misi KPI TL). 

Melalui berbagai kegiatan rohani (pengajaran di KPI TL dan Kursus Teologi di UKDC, seminar dan rekoleksi), akhirnya saya tahu “ajaran sehat” (1 Tim 6:3 » perkataan sehat, yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus) dan rahasia rumah tangga damai dan harmonis

Keluarga bahagia adalah rumah tangga yang dibentuk oleh manusia yang tidak sempurna. Akan tetapi, mereka berjanji akan menyerahkan diri dalam kasih kepada pribadi yang lain yang juga tidak sempurna. Keduanya diikat oleh kasih Tuhan Yesus Kristus. Inilah yang membuat mereka sempurna. 

Dengan janji itu kita tidak hanya melihat kekurangan istri atau suami saja. Kita tidak mudah bereaksi terhadap hal-hal negatif dari pasangan hidup kita. Dalam pernikahan pasti ada hal yang kurang sempurna. Akan tetapi, justru dari kekurangan dan ketidaksempurnaan itulah terdapat saling menerima dan melengkapi untuk menyusun rumah tangga bahagia. Menyusun keluarga yang harmonis dan bahagia bukan perkara yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. 

Hubungan suami istri yang sesuai dengan rencana Allah adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan kata lain, tanpa hubungan persatuan rohani, hubungan suami-istri tidak akan sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan

Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang hidup dalam Roh (berpusat pada Kristus; fokus perhatiannya pada doa, firman dan sakramen) sehingga menghasilkan buah Roh (KGK 1832: 1. Kasih 2. Sukacita 3. Damai sejahtera 4. Kesabaran 5. Kemurahan 6. Kebaikan 7. Kesetiaan 8. Kelemahlembutan 9. Penguasaan diri 10. Kerendahan hati 11. Kesederhanaan 12. Kemurnian). Perkawinan sebagai sakramen adalah tanda kehadiran Tuhan. 

Jika Tuhan Yesus menjadi pusat dalam hubungan suami dan istri, maka mereka akan menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak mereka sendiri, saling menghargai dan menghormati sehingga mereka memancarkan iman yang hidup dalam perbuatan kasih, baik kepada pasangan mereka maupun kepada anak- anak mereka. Kasih tidak sama dengan perasaan. Kasih itu bukanlah perasaan tapi tindakan dan suatu komitmen untuk tetap mengasihi sampai akhir. 

Kasih itu sifatnya memancar keluar, kasih itu memberi, dan menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi. Inilah prinsip kasih yang diajarkan oleh Tuhan. Dengan kasih semacam inilah kita seharusnya mengasihi Tuhan dan sesama kita, terutama anggota keluarga kita yang paling kecil dan lemah. 

Di dalam Kristuslah, “pasangan suami istri dikuatkan untuk memikul salib dan mengikuti Dia, untuk kembali bangun jika mereka jatuh, untuk saling mengampuni, untuk saling menanggung beban (Gal 6:2), dan untuk saling merendahkan diri seorang kepada yang lain demi penghormatan mereka kepada Kristus (Ef 5:21) dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati. 

Dengan kasih (1 Kor 13: 4-7), kita dapat selalu menemukan kebaikan di dalam diri pasangan kita, dan membangun rasa saling pengertian dengannya, sehingga kita tidak mudah konflik ketika ada masalah dalam rumah tangga. 

Oleh karena itu, kita harus menempatkan Kristus sebagai pusat kehidupan kita, kita harus berjalan bersama-Nya dan berada di jalur-Nya, kita harus berusaha memandang pasangan kita dengan cara pandang Kristus, yaitu dengan kasih. Jadi, tujuan perkawinan bukanlah berpikiran sama, tetapi berpikir bersama. 

Pasangan yang tepat adalah yang dapat melengkapi kekurangan kita, bukan yang sama seperti kita. Meskipun kita telah kawin dengan orang yang benar (tepat), tetapi kalau kita memperlakukan pasangan kita secara keliru, maka akhirnya akan mendapatkan pasangan yang keliru. Jadi, tidak cukup hanya kawin dengan orang yang tepat, tetapi jadilah pasangan yang tepat, yang memperlakukan pasangan kita dengan tepat pula. 

Kasih itu ramah. Kasih itu tidak suka membuat orang lain menderita. Kasih itu tidak berlaku kasar dalam kata-kata dan tindakan. Untuk pertemuan yang penuh kasih dibutuhkan “tatapan penuh kasih”, yang berarti tidak banyak memikirkan keterbatasan orang lain. Jadi, orang yang mengasihi mampu mengucapkan kata yang menyemangati, yang menghibur, yang menguatkan (Mat 15:28; Luk 7:50; Mat 14:27). 

Kasih itu tanpa kemarahan. Ketika seseorang marah, sesungguhnya batinnya dijerat dan dikuasai oleh Iblis (2 Tim 2:26). Reaksi yang benar adalah memberkati dengan cara mengampuninya karena dia tidak tahu apa yang diperbuatnya (1 Ptr 3:9; Luk 23:34). Oleh karena itu belajarlah terbuka satu sama lain sehingga tidak gagal paham dalam menghadapi suatu masalah

Kasih itu menutupi segala sesuatu. Kasih itu bersikap diam “terhadap keburukan yang mungkin ada pada orang lain”. Keluarga tidak ada sempurna. Ketidak sempurnaan pasangan untuk menguduskan hidup kita (1 Kor 7:14). 

Oleh karena itu, janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat (Ibr 10:25). 

(Sumber: Renungan KPI TL-ONLINE Tgl 25 Juni 2020, Ibu Vira).