Senin, 24 Juni 2019

Penguasaan diri



Pada suatu hari ada seorang penggembala yang miskin dari negeri Skotlandia melihat sekuntum bunga cantik. Begitu cantiknya, sampai ia tak dapat menahan diri untuk tidak memetiknya. Pada saat ia memetik bunga itu, terdengarlah suara. 

Ketika ia menengadah, ia melihat dinding gunung itu terbuka dan muncul sebuah gua yang di dalamnya berisi permata dan logam berharga. Ia melangkah masuk ke dalam gua itu, ia meletakkan bunganya dan mulai memungut emas dan permata sebanyak-banyaknya. 

Ketika tangannya sudah penuh dan hendak keluar, terdengarlah suara: “Jangan lupakan yang terbaik!” Ia berbalik dan memungut lebih banyak benda-benda berharga itu. Ketika ia keluar dari gua itu, gua itupun menutup dan gunung itu kembali seperti sedia kala. Pada saat itulah, semua yang ada di tangannya berubah menjadi debu. Suara itu kembali berkata, “Kamu melupakan yang terbaik. Bunga itu adalah kunci untuk membuka gua itu.” 

Cerita itu menggambarkan realita kehidupan orang masa kini. Pada mulanya seorang mencari Tuhan, mendekat pada Tuhan, rindu mendengar suara Tuhan. Sejalan dengan itu, kehidupannya tambah diberkati Tuhan

Tetapi lama kelamaan, rasa haus akan Tuhan bergeser menjadi rasa haus akan berkat-berkat Tuhan. Akhirnya di dalam kegairahan mencari berkat Tuhan, ia kehilangan yg paling penting, yaitu: keintiman dengan Tuhan sendiri! Kesibukannya dalam urusan berkat Tuhan justru membuatnya menjauh dari Tuhan. Ia lupa bahwa tanpakunciitu, yaitu keintiman dengan Tuhan, semua berkat itu adalah debu

Ketika ia kehilangan apa yang sejatinya paling berarti, yaitu hubungannya dengan Tuhan, maka apa yang di anggapnya paling berarti, yaitu berkat-berkat Tuhan ternyata hanya debu. 

Allah, sumber segala kasih karuniayang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamusesudah kamu menderita seketika lamanya (1 Ptr 5:10). 



Alkisah, seorang laki-laki yang sedikit berbeda paham dengan seorang Guru Spiritual mengeluarkan kecaman dan kata-kata kasar, dan meluapkan kebenciannya kepada Sang Guru yang bijak. Sang Guru hanya diam, mendengarkannya dengan sabar, tenang dan tidak berkata sepatah kata pun. 

Setelah lelaki tersebut pergi, seorang murid yang melihat peristiwa itu dengan penasaran bertanya, “Mengapa Guru diam saja tidak membalas makian lelaki itu?” 

Sesaat kemudian Sang Guru pun berkata kepada si murid, “Jika seseorang memberimu sesuatu, tetapi kamu tidak mau menerimanya, menjadi milik siapakah pemberian itu?” “Tentu saja menjadi milik si pemberi,” jawab si murid dengan lugas. 

“Benar. Maka begitu pula dengan kata-kata kasar tersebut,” tukas Sang Guru. “Karena aku tidak mau menerima kata-kata itu, maka kata-kata tadi akan kembali menjadi miliknya, dan dia harus menyimpannya sendiri.” 

Kemudian, lanjut Sang Guru, ”Mungkin dia tidak menyadari, karena nanti bukan aku atau orang lain yang harus menanggung akibatnya baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi energi negatif yang muncul dari pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan hanya akan membuahkan penderitaan hidup. Ketahuilah, sama seperti orang yang ingin mengotori langit dengan meludahinya. Ludah itu hanya akan jatuh mengotori wajahnya sendiri.” 

“Demikian halnya, jika di luar sana ada orang yang marah-marah kepadamu, biarkan saja. Karena mereka sedang membuang sampah hati mereka. Jika engkau diam saja, maka sampah itu akan kembali kepada diri mereka sendiri, tetapi kalau engkau tanggapi, berarti engkau menerima sampah itu.” 

“Hari ini, betapa banyak orang di jalanan yang hidup dengan membawa sampah di hatinya berupa sampah kekesalan, sampah amarah, sampah kebencian, dan lainnya … maka jadilah kita orang yang bijak.” 

Sang Guru melanjutkan nasihatnya, “Jika engkau tak mungkin memberi, janganlah mengambil. Jika engkau terlalu sulit untuk mengasihi, janganlah membenci. Jika engkau tak dapat menghibur orang lain, janganlah membuatnya sedih. Jika engkau tak bisa memuji, janganlah menghujat. Jika engkau tak dapat menghargai, janganlah menghina. Jika engkau tak suka bersahabat, janganlah gemar menambah musuh.” “Akhirnya,” pungkas Sang Guru, “Inilah saatnya bagi kita melatih diri untuk membuang semua sampah yang ada di hati kita.” 

Kita tidak berdamai dengan orang lain karena kita tidak berdamai dengan diri sendiriKita tidak berdamai dengan diri sendiri karena kita tidak berdamai dengan Allah (Thomas Merton). 

Orang yang mempunyai penguasaan diri mampu mengendalikan dirinya, tidak mudah di-pengaruh-i oleh kata atau perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya. Karena batinnya sudah dipulihkan sehingga segala sesuatu yang dialaminya selalu direfleksikan, dan ia tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm 8:28). Dan ia juga tahu bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yer 29:11). 

Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita menggunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan menjaga keinginan dalam batas-batas yang patut dihormati (KGK 1809). 

Pribadi yang memiliki penguasaan diri mengarahkan kehendak inderawinya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan berpikirnya secara sehat untuk menilai, dan berani mengatakan “cukup” (Sir 5:2). Sebagaimana sabda Tuhan, “Orang yang mampu menguasai dirinya akan “menjalani hidup yang bijaksana, adil dan beribadah di dunia ini” (Tit 2:12) (KGK 1809). 

Penguasaan diri tidak datang dengan sendirinya namun melalui suatu proses, yaitu: tunduk pada pimpinan Roh Kudus; tanpa-Nya mustahil kita dapat menguasai diri terhadap pencobaan 

(Baca juga: Penyangkalan diri). 

Apa saja yang perlu dikuasai

1. Menguasai lidah (Yak 3:2 » orang sempurna - tidak bersalah dalam perkataannya, dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya; Ams 16:23 » Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi; Luk 6:45 » Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya). 

Beberapa hal yang berhubungan dengan penguasaan lidah: menyimpan rahasia (Ams 11:13; 20:19), perkataan yang negatif (Ul 1:28, Bil 13:26-33), mengucapkan kata-kata yang menyakitkan/olok-olok/cemooh (2 Raj 2:23-24), dusta dan tipu daya (Yak 3:14-15; Im 19:11; Kol 3:9), jangan memuji atau merayu secara berlebihan (Mzm 5:10), cerita-cerita dan humor jorok (Ef 5:3-5; Kol 3:8), jangan terbawa arus untuk menfitnah atau menggosipkan (Kej 39:17-19). 

2. Menguasai mata (Mat 6:22 » Mata adalah pelita tubuh; Pkh 1:8 » mata tidak kenyang melihat). 

Beberapa hal yang berhubungan dengan penguasaan mata: nonton film atau sinetron (1 Kor 6:12 - bukan semuanya berguna), belanja (Pkh 1:8; Flp 4:11-12), melihat lawan jenis (2 Ptr 2:14; Mat 5:27-29). 

3. Menguasai perasaan (Flp 2:5 » Hendaklah menaruh perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus). 

Beberapa perasaan yang harus diusahakan untuk dikendalikan: amarah (kita harus berlaku sebaliknya, yaitu lemah lembut – Ef 4:2; Mat 5:5. Yesus marah untuk suatu alasan yang mendidik seperti seorang ayah marah kepada anaknya – Mat 21:12-13, 23:13-36; Mrk 8:33; 10:14), iri hati (Yak 3:14-15), ketidaksabaran (1 Kor 13:4 – Sabar adalah wujud pernyataan kasih; Kesabaran didapatkan melalui banyak mengalami kesengsaraan dan ujian sehingga mental orang menjadi dewasa – Rm 5:3; Kesabaran juga dapat kita peroleh jika kita mau menggunakan akal sehat dan pengertian – Ams 19:11; 14:29). 

4. Menguasai pikiran (Kemenangan atau kekalahan setiap pertempuran di dalam kehidupan rohani kita, dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan; Flp 4:8 » semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu). 

Beberapa macam pikiran yang harus dikendalikan: pikiran jahat (Mat 15:19), pikiran kotor (Kol 5:5 – percabulan, kenajisan, hawa nafsu), pikiran serakah (Flp 4:11-12 – belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan). 

Marilah kita belajar dari Yak 4:1-10

Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang (1) saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu (2A) membunuh; kamu (2B) iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu (2C) bertengkar dan kamu (2D) berkelahi

Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu (3A) tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu (3B) salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu. 

Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa (4) persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah. 

Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." 

Karena itu (5B) tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! (5C) Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! Dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati! 

Sadarilah kemalanganmu, berdukacita dan merataplah; hendaklah tertawamu kamu ganti dengan ratap dan sukacitamu dengan dukacita. (5A) Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu. 

» Nafsu merupakan dorongan yang ada pada setiap manusia dan memberi kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidup tertentu. Hawa nafsu adalah keinginan atau dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. 

Nafsu itu ibaratnya seperti garam yang memberi rasa pada masakan supaya menjadi gurih dan enak dimakan. Tetapi bila garamnya kebanyakan, masakan menjadi asin dan tidak enak dimakan; seperti itulah gambaran hawa nafsu yang timbul karena nafsu yang berlebihan. 

Keinginan adalah akar dari segala godaan (Yak 1:14-15). Orang Kristen yang masih dikuasai oleh keinginan dan kesenangan adalah sahabat dunia dan musuh Allah (4). 

Dosa ialah pelanggaran hukum Allah (1 Yoh 3:4). Pada waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, dirangsang oleh hukum Taurat (Rm 7:5; Gal 5:19-21 » perbuatan daging) sehingga timbullah konflik dengan diri sendiri (1), konflik dengan sesama (2A-D) dan konflik dengan Tuhan (3AB). 

Salah satu hawa nafsu yang penting disalibkan adalah “malas”. Kemalasan adalah musuh jiwa. Dan orang malas adalah bantal guling setan (St. Fransiskus Asisi). Orang menjadi malas karena tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, terlalu banyak dan terlalu lama membiarkan pikiran atau perasaan negatif. Jika kita menolak bangkit, semua kemalasan sifatnya abadi. 

Langkah penting untuk menghindari dosa

(5A) Harus rendah hati. Jika kita sungguh mengenal diri kita sendiri (menyadari kerapuhan, kekecilan dan ketidakberdayaan diri sendiri dan kepada kecenderungan-kecenderungan kepada yang jahat), kita akan sungguh menjadi rendah hati dan hidup di hadirat Allah. Kerendahan hati yang sejati adalah buah dari cinta kasih (1 Kor 13:4-7). Kerendahan sejati yang sejati diperoleh melalui pengalaman kasih Allah (St. Teresa Avila). Tuhan memberikan kasih-Nya, Dia sekaligus menyinari kita dengan rahmat-Nya. 

(5B) Tunduk kepada Allah. Kata tunduk dalam bahasa Yunani adalah “Adore”, artinya menyembah. Jadi, ada sikap kekaguman dan penyembahan serta hormat kepada Tuhan. Untuk lebih lagi menjadi sahabat Allah, kita harus menyadari posisi kita di hadapan Allah, dengan kata lain, kita harus mengadakan penyerahan diri secara total kepada Allah (Mrk 14:36; Doa Bapa Kami – Jadilah kehendak-Mu). Tunduk lebih dari sekadar ketaatan. Untuk tunduk diperlukan kerendahan hati. Jadi, Iblis, musuh Allah itu, harus dilawan. Apabila dilawan, ia akan lari dari padamu. 

(5C) Mendekatkan diri kepada Allah. Tidaklah mudah seseorang untuk mendekatkan diri kepada seorang sahabatnya. Mereka pasti mengorbankan waktu, tenaga, materi, perhatian dan lain sebagainya untuk berjumpa dengan seorang sahabatnya. Demikian pula kepada Allah, Allah merindukan sahabat-sahabat-Nya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara merendahkan hati tanpa ada unsur kesombongan di hadapan-Nya. 

Sejak dibaptis, kita adalah milik Kristus Yesus. Oleh karena itu kita harus melatih tubuh kita dan menguasainya seluruhnya, menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya agar dapat menguasai diri dalam segala hal untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi (1 Kor 9:25-27). 

(Sumber: Warta KPI TL No. 170/V/2019 » Renungan KPI TL Tgl 23 Mei 2019, Dra Yovita Baskoro, MM).