15.40 -
SP Matius
Mat 23:23-26
Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya
Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)
Penanggalan liturgi
Selasa, 28 Agustus 2018: Pw St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja - Tahun B/II (Putih)
Bacaan: 2 Tes 2:1-3a, 13b-17; Mzm 96:10, 11-12a, 12b-13; Mat 23:23-26; RUybs.
Selasa, 27 Agustus 2019: PW St. Monika - Tahun C/I (Putih)
Bacaan: 1 Tes 2:1-8; Mzm 139:1-3, 4-6; Mat 23:23-26; Injil khusus Luk 7:11-17; RUybs.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu (1A) orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Hai kamu (2A) pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu (1B) orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai (2B) orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.
Renungan
1. Pemimpin yang baik
(2A) Mereka seharusnya menjadi seorang pemimpin yang baik, sebab mereka adalah tokoh-tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat. Mereka berlaku tidak adil dan memanfaatkan otoritas yang mereka miliki.
Pada zaman ini ada banyak juga orang yang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin karena mereka berpikir bahwa ketika dirinya menjadi pemimpin, maka ia secara otomatis memiliki kekuasaan yang besar, wewenang yang kuat untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu.
Pandangan ini adalah sebuah pandangan yang sangat keliru tentang arti menjadi seorang pemimpin.
Bila kita merasa terpanggil menjadi seorang pemimpin atau memiliki karunia untuk memimpin, hendaklah kita menjadi seperti Kristus. Sebab, Allah Bapa mengutus Roh dan Kebenaran yang menuntun Putra-Nya kepada keselamatan, demikian juga kita akan dituntun-Nya menuju kebahagiaan dalam hidup.
2. Kesetiaan
(1AB) Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak setia menjalankan hukum. Kewajiban-kewajiban keagamaan mereka jalankan, namun yang lebih penting tidak mereka lakukan.
(2AB) Mereka tidak menunjukkan kesetiaan, mereka menampilkan hal yang berbeda. Tindakan ini sungguh tidak berkenan bagi Tuhan. Kemenduaan, keterpisahan tindakan dan sikap batin bukan merupakan kesetiaan.
Sebagai orang beriman, kita perlu untuk setia. Hari ini kita bisa mencontoh St. Monika. Sebagai seorang istri, ia setia pada suaminya hingga wafat. Sebagai ibu, ia setia mendampingi iman sang anak, St. Agustinus.
Sebagai seorang beriman, ia setia dalam doa. Atas kesetiaannya, St. Monika memperoleh berbagai rahmat, berkat dari Tuhan. Terjadi perubahan dalam hidup suami dan anaknya. Suaminya pada akhir hidupnya menjadi beriman, sedangkan anaknya menjadi seorang uskup. Ia sendiri, pada akhirnya digelari kudus.