Minggu, 28 April 2019

06.09 -

Luk 15:1-3, 11-32

Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Sabtu, 3 Maret 2018: Hari Biasa Pekan II Prapaskah - Tahun B/II (Ungu)
Bacaan: Mi 7:14-15, 18-20; Mzm 103:1-2, 3-4, 9-10, 11-12; Luk 15:1-3, 11-32

Minggu, 31 Maret 2019: Hari Minggu Prapaskah IV - Tahun C/I (Ungu)
Bacaan: Yos 5:9a, 10-12; Mzm 34:2-3, 4-5, 6-7; 2 Kor 5:17-21; Luk 15:1-3, 11-32


Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. (B) Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka.

Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.

Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya.

Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.

Maka (B1) bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. (A1) Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. (A2) Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

(B2) Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.

(A3) Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.

Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu.

Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.

Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: (D) Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi (A) kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang (C) telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.

Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena (A4) adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."


Renungan


1. Allah menunggumu pulang

Berdasarkan banyak pengalaman, tidak sedikit orang yang ketika sedang berada dalam keadaan terpuruk, malah menghujat Allah. Orang sulit melihat Allah sebagai pribadi yang penuh belas kasih, karena menganggap justru Allahlah yang membuat mereka terpuruk.

(A1-4) Tindakan ini menunjukkan bahwa bapa sudah memaafkan anaknya, meskipun anaknya belum mengucapkan kata meminta maaf sepenuhnya. Jadi, pertobatan sudah jauh melampaui kata-kata.

(B1-2) Tindakan menunjukkan keberanian untuk mengalahkan rasa malu. Kekuatannya adalah keyakinannya akan bapanya yang penuh belas kasih sedang menunggunya pulang. Pertobatan anak bungsu adalah teladan bagi kita, orang berdosa.

Allah selalu memaafkan, hanya kitalah yang terlalu malas meminta maaf. Bagi St. Yohanes Maria Viani, dosa-dosa kita hanyalah laksana titik air di tengah samudra api belas kasih Allah; atau bagaikan sebutir debu di hadapan gunung belas kasih Allah. Pintu maaf Allah selalu terbuka bagi kita. 

Apakah kita mau datang kepada-Nya untuk meminta maaf? Allah menunggumu pulang.


2. Marah menyebabkan ketiga perilaku ini

1. Marah membuat orang menjadi bodoh (Ams 14:29).

Harta pada zaman itu bukan hanya berupa uang, tetapi juga tanah dan ternak. Si sulung marah mengatakan kepada ayahnya (A). Padahal, ketika si bungsu meminta warisan kepada bapanya, si sulung yang tidak pernah meminta juga mendapatkan bagian dari sang bapa (B). Jadi, marah membuat si sulung jadi bodoh. Membuat dia lupa terhadap kebaikan bapanya.

2. Marah membuat yang tidak ada diada-adakan

Si sulung marah karena sang bapa menyambut adiknya dengan penuh sukacita tanpa memperhitungkan dosa sang adik (C). Bagaimana mungkin si sulung dapat mengetahui hal tersebut, sementara (D) dia selalu ada di rumah bapanya?

Perhatikan, marah membuat orang berfantasi. Jadi, jangan biarkan amarah mengontrol hidup Anda. Marah tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah-masalah baru.

3. Marah membuat hal kecil dibesar-besarkan

Ketika sang bapa tidak memperhitungkan kesalahan si bungsu, si sulung marah. Sang bapa memandang dosa yang dilakukan si bungsu sebagai sesuatu yang kecil (A3). Sebaliknya, si sulung menganggap hal yang kecil bagi bapanya itu sebagai hal yang besar. Padahal, tokoh yang paling berhak marah dalam kisah di atas adalah sang bapa.

Marah tidak pernah mengerjakan hal yang baik dalam hidup kita. Jadi, berhentilah marah dan meninggalkan panas hati, karena itu hanya membawa kita kepada kejahatan (Mzm 37:8).