Senin, 19 November 2018

05.37 -

Kemurahan hati pangkal keadilan



Keadilan sebagai kebajikan moral adalah kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka (KGK 1807). 

Buah-buah keadilan: bakti (hormat dan pelayanan kepada orang tua, negara dan mereka yang ada dalam otoritas yang sah), taat, tahu berterimah kasih, tulus, ramah-tamah, dan tidak sewenang-wenang. 

Marilah kita belajar dari Matius 20:1-16

[1-7] "Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia (1B) sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. 

Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan (2) apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. 

Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku (3 - tidak menjanjikan berapa besar upah yang akan diberikan). 

» Allah diumpamakan sebagai tuan pemilik kebun anggur. Dengan demikian, sistem pembayaran dalam perumpamaan ini mencerminkan nilai-nilai dari Kerajaan Allah

Pada saat Panen Raya sangat dibutuhkan banyak pekerja untuk memanen anggur agar kualitas anggur tidak akan menurun ketika dipanen. 

Pada jaman Yesus, amat lazim seorang pemilik kebun anggur mencari para pekerja di pasar, yaitu tempat di mana mereka menunggu pekerjaan dari tuan/majikan yang membutuhkan tenaga mereka. Upah satu dinar merupakan jumlah standar di masa itu untuk pekerja kasar yang bekerja selama satu hari

[8-16] Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar

Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka (4) bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: (1A) Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. 

Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. (1C) Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? (5) Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? 

Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir." 

» Alkitab mengatakan bahwa “Tuhan adalah adil dan Ia mengasihi keadilan (Mzm 11:7), senang kepada keadilan (Mzm 33:5), mencela umat-Nya yang hidup mengabaikan keadilan (Luk 11:42), bahkan memerintahkan umat-Nya untuk mengejar keadilan (1 Tim.6:11)” 

Namun di mana letak ketidakadilannya? Bukankah adil itu berarti berpegang pada kebenaran? Bukankah adil itu berarti memberikan apa yang menjadi hak orang lain? Tuan itu tetap berpegang pada kebenaran. Tuan itu telah memberikan apa yang menjadi hak para pekerja itu, yaitu satu dinar. 

Para pekerja yang datang paling akhir justru mendapat giliran pertama untuk menerima upah. Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan hanya mengandalkan kemurahan hati si pemilik kebun (1 Kor 13:4; Rm 9:15). Mereka tahu bahwa upah mereka sangat sedikit, jika dihitung menurut jam kerja, mereka hanya mendapat 1/12 dinar saja. Bagi mereka yang miskin, jumlah itu amat berarti daripada pulang ke rumah tanpa membawa apa-apa. 

Betapa gembiranya para pekerja yang bekerja hanya satu jam itu ketika mereka dibayar satu dinar (2 Kor 9:11). Karena pekerjaan mereka dihitung seolah-olah bekerja sehari penuh. 

Berita ini tentu saja tersebar cepat kepada pekerja-pekerja yang lain. Mereka mendengar itu sebagai kabar baik yang tak terduga. Apalagi bagi para pekerja yang masuk sejak pagi hari. Namun, pada saat pembayaran tiba, ternyata mereka hanya menerima satu dinar. Tidak lebih, tidak kurang. 

Jikalau kita pikir dengan akal sehat, sunggut-sungut para pekerja tersebut adalah normal (4). Mereka berpikir bahwa jika mereka yang hanya bekerja satu jam saja mendapat satu dinar, tentu mereka yang bekerja 12 jam akan mendapat 12 dinar. Cara pembayaran tuan dalam perumpamaan itu sungguh tidak adil. Itulah sebabnya, kita bisa mengerti perasaan para pekerja 12 jam. 

Pemilik kebun menegaskan bahwa ia tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum apa pun, ia telah bertindak sangat adil terhadap pekerja karena ia melakukan semua itu sesuai perjanjian yang sudah dibuat bersama (1ABC, 2, 3). 

Reaksi para pekerja itu menggambarkan pandangan mereka terhadap sesama. Mereka memandang sesama tanpa kemurahan hati. Mata mereka penuh dengan keserakahan akan uang sehingga mereka iri ketika melihat orang lain mendapat lebih dari apa yang mereka terima. Sebenarnya mereka tidak puas bukan karena diperlakukan tidak adil, tetapi karena sikap hati mereka yang tidak benar telah dikuasai oleh iri hati

Lebih dari adil, tuan ini juga murah hati (5). Keadilan yang ber-pangkal dari kemurahan hati ditunjukkannya dengan memberi kesempatan kerja kepada semua orang. Ia bahkan membayar sama kepada orang yang mulai bekerja lebih kemudian. 

Allah memperlakukan setiap orang dengan adil. Ia nyatakan keadilan-Nya dengan melakukan dan memberikan apa yang Ia janjikan. Hal ini menunjukkan kemurahan-Nya kepada siapa pun yang bersandar pada belas kasihan-Nya. Keadilan dan kemurahan hati adalah karakter yang mendasar dalam Kerajaan Allah

Keadilan biasanya dipahami dengan sekedar melakukan apa yang sepantasnya. Di dalam Kerajaan Sorga, semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan belas kasih-Nya. Keadilan Allah adalah keadilan yang bermuara pada kemurahan hati-Nya. Jadi, Allah memberi kepada manusia secara berlimpah karena Ia adalah Allah yang murah hati. 

Keadilan terhadap Allah dinamakan “kebajikan penghormatan kepada Allah” (virtus religionis). Keadilan terhadap manusia, supaya menghormati hak setiap orang dan membentuk dalam hubungan antar manusia, harmoni yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama. 

Manusia yang adil yang sering dibicarakan Kitab Suci menonjol karena kejujuran pikirannya dan ketepatan tingkah lakunya terhadap sesama (Im 19:15; Kol 4:1). 

Lalu, mengapa kita sering merasa diperlakukan tidak adil ketika orang lain mendapat kemurahan Allah? Bukankah seharusnya kita bersukacita bersama mereka yang bersukacita? (Rm 12:15). Allah ingin agar kita bersukacita dengan orang yang mendapat kemurahan-Nya. Bagaimana caranya? Cobalah tempatkan diri kita pada posisinya. 

Ingatlah! Kita bisa menjadi salah seorang dari warga negara Kerajaan Allah karena kemurahan Allah semata (Rm. 9:15). Kemurahan Allah tidak dapat dibeli dengan pelayanan atau dengan kesalehan kita. Anugerah ini diberikan secara cuma-cuma, alias gratis kepada setiap orang yang berdosa (1 Yoh 2:2). 

(Sumber: Renungan KPI TL Tgl 13 September 2018, Ibu Laksmi).