Senin, 10 April 2017

17.45 -

Gejala pikun

Orang yang mulai memasuki tahap pikun, perangainya berubah drastis. Waktu Mama pada tahap itu, perangainya minta ampun ajaibnya dan sangat menguji kesabaran. 

Pada saat itu Mama belum ada gejala pikun. Masih bisa baca koran, diajak bicara jawabannya masih normal, segala sepertinya masih ingat.

Tapi perangainya berubah, di antaranya selalu mencari kesalahan orang di sekitarnya. Segala yang dilakukan orang lain tidak ada yang benar, pasti dikritik ini salah, itu salah. 

Misalnya, aku lagi masak, lalu Mama muncul di dapur, dari jarak 3 meter dia tanya, "Masak apa?" Dan setelah aku jawab, Mama akan bilang, "Pasti tidak kamu beri gula!" (atau garam, atau apalah pokoknya). 

Kan menjengkelkan toh, lha dari jarak 3 meter, belum dicoba, kok tau tidak diberi gula atau garam atau apa. 

Tapi begitulah. Belakangan aku baru mengerti bahwa Mama berbuat itu untuk membuktikan kepada dirinya sendiri dan orang lain, bahwa dia masih yang paling benar, yang paling pandai, yang paling tahu.

Keanehan lain, Mama selalu merasa orang lain membicarakan dia. Asal lihat orang lain berbicara, Mama bilang, "Ngrasani aku apa?" Jadi paranoid. Selalu curiga orang ngerasani dia.

Yang ketiga, selalu merasa orang lain mencuri barangnya. Selalu menuduh orang lain mengambil barangnya. Dari duit, sampai makanan sampai pakaian, sampai kunci, apa saja, pasti barangnya dicuri orang.

Yang keempat suka mengarang cerita bohong. Tidak ada peristiwa itu tapi bisa mengarang seolah-olah terjadi sungguh-sungguh. 

Dalam hal ini ceritanya selalu orang lain berbuat jahat kepadanya, merasa dizolimi gitulah istilahnya.

Yang kelima, selalu memberontak. Orang ngomong kiri, dia malah sengaja ke kanan.

Pokoknya sama sekali tidak mau dibantu, tidak mau diatur, tidak mau nurut sama sekali. Supaya dia mau pake pampers aja, harus bertengkar dulu, karena tidak mau.

Proses ini pada Mama terjadi sekitar 10 tahun. Dari mulai pikunnya tidak kentara, hingga akhirnya masuk ke kategori pikun. 

Setelah masuk ke tahap pikun, perangainya berubah 180 derajat, Mama menjadi seperti anak manis, 100% menurut, dan gembira, selalu tertawa. Sudah lenyap segala sifat antiknya.

Mengapa aku berbagi pengalaman ini?

Banyak anak tidak mengerti bahwa sebelum kita melihat gejala pikun itu pada orangtua kita yang lansia, mereka sendiri sudah merasa ada penurunan kemampuan, dan mereka berusaha memeranginya, tidak mengakuinya, menutupinya, supaya orang lain tidak tahu.

Karena itulah perangai mereka berubah. Mereka mau selalu dianggap benar, selalu dianggap bisa, selalu dianggap tahu segala.

Itu adalah respons yang alami terutama pada orang-orang lansia yang tadinya sangat kapabel dalam segala hal. Pada lansia yang tadinya tidak terlalu kapabel, perubahan perangai itu tidak terlalu parah.

Jadi bila kita menghadapi lansia yang menurut kita masih "normal" tapi perangainya berubah ajaib, kita harus sadar bahwa lansia itu sudah akan pikun. 

Ini supaya kita tidak stress menghadapinya, dan kita bisa menyusun kiat untuk mengatasinya.

Fase ini akan lewat setelah lansia itu benar-benar masuk tahap pikun. Yang sabar aja selama tahun-tahun transisi itu. Mereka tidak bermaksud menyulitkan hidup anak-anaknya, itu adalah sesuatu yang tidak bisa mereka perangi. 

Jangan dimusuhi, jangan dijahati, jangan dicuekin walaupun ini merupakan ujian kesabaran bagi kita.

Jaga aja kesehatan mereka, dampingi mereka, rawat mereka baik-baik supaya panjang umurnya dan bila nanti orangtua kita benar-benar pikun, kita punya kehormatan untuk merawat mereka seperti merawat anak balita kita. Saat itulah kita bisa membalas sedikiiiiit budi baik mereka yang telah membesarkan kita.

(Sumber : Shirley Theresia, tercenung membaca tulisan Bu S. Mara Gd)