Minggu, 26 Februari 2017

21.15 -

Keluarga yang bersekutu: Keluarga Kudus Nazaret



Keluarga dipanggil untuk melayani hal-hal jasmani sekaligus juga hal-hal rohani

Tiga tiang penyangga persatuan hidup berkeluarga adalah 

1. kasih
2. ketaatan kepada Allah dan sesama
3. memiliki kerendahan hati. 

Tiga pilar ini adalah nilai utama dari Injil.

Keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali dinamakan “Gereja Rumah Tangga” satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen. (KGK 1666)

Marilah kita belajar dari Keluarga Kudus Nazaret (Luk 2:41-52)

[41-42] Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu 

» Tiga kali setahun setiap orang laki-laki Yahudi dewasa harus menghadap hadirat Tuhan di Yerusalem (Kel 23:14-17; 34:23; Ul 16:16). Namun tidak sedikit perempuan-perempuan saleh juga pergi ke Yerusalem (1 Sam 1:7). 

Persekutuan dalam hidup berkeluarga belum sempurna tanpa persekutuan dalam ibadah bersama. Maria menyadari hal ini, oleh karena itu dia menemani Yusuf pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah.

Yang lazim dilakukan oleh orang tua Yahudi pada waktu itu

- Ketika masih bayi hingga disapih, diasuh oleh ibunya.

- Sesudah disapih kemudian diasuh oleh ayahnya. Yusuf mempersiapkan Yesus sebaik-baiknya agar benar-benar dewasa secara fisik maupun secara rohani, maka dia memperhatikan bukan saja segi fisik (perkembangan dan kesehatan tubuh), melainkan juga kecerdasan (otak), pengolahan batin (perasaan dan emosi), rasa religious (agama), dan segi sosial. Maka Yusuf mengajari Yesus bukan hanya Hukum Taurat, tetapi juga melatih-Nya berpuasa dan mengajak-Nya ikut perayaan-perayaan di Yerusalem. 

Jarak dari Nazaret ke Yerusalem cukup jauh, sekitar 150 km atau empat hari perjalanan. Biasanya, dalam melakuan ziarah suci, penduduk sebuah desa pergi bersama-sama dalam suatu rombongan. Rombongan anak-anak paling depan, kemudian rombongan perempuan, disusul dengan rombongan laki-laki. 

Mereka akan bertemu di suatu tempat perhentian atau penginapan yang mereka sepakati. Berjalan dalam rombongan seperti ini sangat berguna bukan saja untuk perlindungan atau keamanan, melainkan juga memberi kenyamanan karena adanya teman seperjalanan dan teman ngobrol yang membuat perjalanan jauh yang berat dan meletihkan menjadi kurang terasa. 

Terlebih bagi anak-anak, perjalanan ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk bermain bersama, bersosialisasi, beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman seperjalanan. 

Mereka belajar bagaimana menghargai teman, melepaskan ego, peduli pada teman dan memperlakukan orang lain secara benar. Jadi, Yusuf mengajak Yesus pergi ke Yerusalem untuk mengembangkan jiwa-Nya dalam segi sosial. 

- Pada usia dua belas tahun, anak laki-laki Yahudi dinyatakan secara resmi sebagai anggota masyarakat dewasa melalui upacara inisiasi yang disebut Bar Mitzvuah (artinya “anak ajaran Taurat”, maksudnya anak yang hidupnya diarahkan untuk mentaati Hukum Taurat). 

Sejak menerima upacara inisiasi, seorang anak bisa berperan penuh dalam jemaat, ambil bagian secara penuh dalam perayaan Paskah atau ibadat lainnya

Mereka bertanggung jawab penuh dalam mentaati Hukum Taurat, oleh karena itu, agar memahami Taurat dengan baik, mereka pun mulai diterima dalam sekolah Taurat.

[43-45] Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. 

Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. 

Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia 

» Di pelataran Bait Allah ada banyak kelompok sekolah Taurat, Dia berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Begitu asyiknya sampai-sampai Dia lupa pulang dan tidak menyadari bahwa orang tua-Nya sudah berangkat ke Nazaret. 

Yusuf menyangka Yesus berada di rombongan anak-anak atau rombongan ibu-Nya, sedangkan Maria menyangka Yesus berada di rombongan anak-anak atau rombongan bapak-Nya. 

Komunikasi dalam keluarga sangat penting, tiadanya komunikasi dapat mengakibatkan salah pengertian yang berujung pada malapetaka. Memberikan keleluasan kepada anak itu memang baik asalkan diiringi dengan komunikasi yang baik agar si anak tidak lepas kendali. 

[46-47] Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya 

» sudah menjadi kebiasaan bahwa pada hari raya dan hari Sabat, Mahkamah Agung dan para alim ulama, yakni para nabi memberi pengajaran teks-teks Kitab Suci yang menunjukkan kehendak dan rencana Allah kepada para peziarah. 

Metode pengajaran yang dipakai umumnya dialog: para peziarah bertanya dan mereka menjawab. Yesus bukan sekedar berada di antara para peziarah untuk mendengarkan pengajaran, melainkan juga aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan jawaban yang cerdas. 

Hal ini terjadi karena Yesus datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Allah, oleh sebab itu Dia tahu apa yang menjadi kehendak Allah.

Yesus tidak menganut budaya instan, Ia menjalani hidup-Nya tahap demi tahap secara alami, pendidikan orang tua-Nya menjadi tempat persemaian cinta kepada Allah dan sesama

Sebelum menjadi pengkotbah, Dia menjadi pendengar yang baik. Sebelum menjadi pengajar, Dia menjadi murid yang belajar penuh minat. Sebelum menyampaikan hukum-hukum Allah, Dia menjadi murid yang benar-benar mencintai hukum Allah (Mzm 119:20). 

[48] Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” 

» Maria menganggap apa yang Yesus perbuat tidak benar karena telah membuat orang tuanya cemas. Kata-kata Maria menunjukkan betapa mereka mencintai Yesus dan peduli pada-Nya

[49-50] Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka 

» Sepintas jawaban Yesus mencerminkan jawaban khas anak muda yang cerdas namun kurang berpikir panjang. Ketika Maria mengingatkan Dia akan kewajiban-Nya terhadap Yusuf, bapa-Nya, Yesus mengingatkan Maria akan kewajiban-Nya terhadap “Bapa-Ku”, yakni Allah. 

Apa yang dikatakan Yesus ini sulit dipahami. Ketidakmengertian ini biasa dialami oleh manusia ketika berhadapan dengan misteri keputraan ilahi Yesus.

[51a] Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka 

» Ketika Yesus tampil sebagai Anak Allah, Dia sering bersikap dan melakukan hal-hal yang mengherankan dan sulit dipahami. Namun, sebagai anak Yusuf, Dia selalu tampil sebagai anak yang penurut, taat, setia serta menghormati orang tua-Nya

[51b] Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya 

» Maria belum memahami apa yang dilakukan dan dikatakan Yesus. Namun, Maria cukup rendah hati untuk mengakui bahwa banyak hal tentang putranya, khususnya tentang keputraan ilahi-Nya, tidak mudah dipahami. 

Maria tidak berhenti pada apa yang terjadi, melainkan terarah ke masa depan karena dia sadar bahwa tidak segala sesuatu bisa dipahami serta merta. 

Jadi, “menyimpan semua perkara itu dalam hati” tidak identik dengan menerima begitu saja karena tidak mau repot, melainkan bergumul dengan misteri itu, sehingga hari demi hari makin memahami misteri itu

[52] Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia 

» Berkat hidup dalam kehangatan kasih sayang di tengah keluarga yang saleh. Dan pembinaan yang dilakukan oleh Yusuf sejak dini, secara bertahap, menyeluruh, dan berkesinambungan menghasilkan buah yang menggembirakan, yaitu membuat hati Yesus semakin peka dalam melihat dan memahami kebutuhan orang lain. 

Jadi, Yesus benar-benar telah bertumbuh secara fisik, pikiran, perasaan, dan kerohanian-Nya menjadi pribadi yang utuh dan menjadi berkat bagi sesama. 

Hikmat-Nya diperoleh bukan saja dari pengalaman hidup sehari-hari melainkan terutama karena keakraban-Nya dengan Tuhan, sumber hikmat. Berkat hikmat-Nya, Yesus tahu apa dan siapa yang menjadi prioritas hidup-Nya

(Sumber: Warta KPI TL No.114/X/2013 » Renungan KPI TL tgl 19 September 2013, Dra Yovita Baskoro, MM)