Selasa, 21 Februari 2017

23.06 -

Teladan Maria



Kakek saya mempunyai peternakan babi dan pabrik kapuk, beliau sangat menarik di mata wanita-wanita di zamannya. Meskipun beliau sudah mempunyai anak sembilan, ada banyak wanita yang mencintainya. 

Pada suatu hari kakek saya membawa istri mudanya pulang ke rumah. Melihat kenyataan itu, nenek saya stress berat, separuh jiwanya hilang sehingga tanpa berpikir panjang beliau pergi ke Surabaya meninggalkan suami dan anak-anaknya, padahal anaknya yang terkecil baru berusia 6 bulan. 



Pada saat itu ibu saya baru berusia 5 tahun, beliau diambil anak oleh saudara jauh. Tetapi ibu saya diperlakukan lebih dari seorang pembantu, dari bangun pagi sampai sore beliau harus menyapu dan mengepel, mencuci dan menggosok pakaian, dan memasak. 

Jadi, beliau tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah sehingga beliau tidak bisa membaca dan menulis.

Pada usia 17 tahun, ibu saya mencari nenek saya ke Surabaya, beliau menemukan nenek saya. Tetapi nenek saya sudah tidak mampu lagi untuk menghidupi ibu saya, maka ibu saya menghidupi dirinya sendiri. 

Singkat cerita, ibu saya menikah dengan ayah saya, kehidupan kami serba sulit, seringkali kami tidak bisa makan 3 x sehari, bahkan kadang-kadang kami hanya bisa makan nasi dengan krupuk/trasi. 

Ada seorang wanita yang mempunyai 5 stand di pasar Turi, beliau meminjamlan 1 standnya secara gratis untuk ayah saya, bahkan beliau juga memberi baju-baju konveksi sebagai modalnya. 

Sejak saat itu kehidupan keluarga kami mulai membaik, ibu saya menjaga stand di pasar Turi, ayah saya berkeliling ke luar kota untuk menjajakan dagangan. 

Ibu saya sangat berbahagia mempunyai toko, karena beliau mempunyai impian, yaitu dapat menyekolahkan anak-anaknya sehingga tidak buta huruf seperti dirinya.

Tetapi pada suatu hari beliau mendapatkan kabar buruk, pasar Turi terbakar, termasuk stand yang dipinjamkan itu. Bon-bon luar kota yang tersimpan di toko itu juga terbakar, ayah saya berusaha menagihnya tanpa bon, tetapi para pelanggan tidak ada yang mau membayarnya. 

Menghadapi hal ini, ayah saya stress berat sehingga beliau harus masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian, kakak sulung saya juga masuk rumah sakit karena sakit lever. 

Kehidupan kami benar-benar jatuh dan tertimpa tangga. Meskipun demikian, saya tidak pernah melihat ibu saya menangis dalam menghadapi kabar buruk ini (pasar Turi terbakar, banyak hutang, suami dan anak masuk rumah sakit). 

Beliau segera bangkit dengan belajar membuat lumpia pada kakaknya. Lumpia itu dititipkan pada penjaja kue tenongan. 

Karena tidak ada biaya untuk membayar rumah sakit, ibu saya datang ke romo paroki, kata beliau: "Mo, hidup saya sangat susah, suami saya bangkrut, hutangnya banyak, suami dan anak sulung saya saat ini berada di rumah sakit." 

Kata romo: "Ibu, maukah ibu berpuasa 40 hari seperti Yesus? Tidak makan nasi tetapi makan kentang atau singkong saja? Jika ibu tidak kuat berhenti saja puasanya." 

Setelah selesai berpuasa 40 hari, tiba-tiba ada banyak rombong yang berada di depan rumah saya mau menjajakan lumpia bikinan ibu saya

Setiap hari ibu saya hanya tidur 2 jam, beliau tidur dari jam 12 malam dan bangun jam 2 pagi menyiapkan sarapan dan isi lumpia, jam 4 pagi anak-anaknya dibangunkan. 

Kami secara bergotong royong membantu ibu, kakak perempuan saya membuat dadar lumpia, kakak laki-laki saya menggoreng lumpia, saya membersihkan daun bawang dan memasukkan bumbu ke kantong plastik kecil. 

Setelah lumpia dititipkan pada penjaja kue, ibu saya berangkat dengan berjalan kaki dari rumah (Tambaksari) ke pasar Pabean. Hal itu beliau lakukan karena tidak mempunyai sepeda maupun ongkos untuk naik becak. 

Setiap pulang dari pasar saya selalu membukakan pintu buat ibu saya, saya melihat beliau sangat kelelahan sampai tidak mampu berjalan lagi. 

Tetapi saya tidak pernah melihat ibu saya menangis dan mendengar keluh kesahnya dalam menjalani kehidupan yang demikian berat ini. 

Dampak dari kebakaran pasar Turi ini menyebabkan keluarga saya mempunyai hutang banyak sehingga kami mengalami kesulitan biaya untuk masuk sekolah. Di SMP saya tidak mempunyai seragam sehingga pihak sekolah memberi seragam bekas dan bantuan sembako. 

Setelah lulus SMP saya ingin melanjutkan ke SMA. Biaya masuk SMA Rp 125 ribu, sedangkan tabungan ibu saya hanya Rp 25 ribu, maka beliau minta surat keterangan ke romo paroki

Tetapi surat itu ditolak oleh pihak sekolah, kata susternya: “Ibu, anak ibu sudah mendapatkan subsidi dari yayasan, biayanya paling murah, yang lainnya kena Rp 375 ribu. Kalau memang ibu tidak mampu, sebaiknya ibu menyekolahkannya ke sekolah kejuruan saja, apalagi nilainya pas-pasan.” 

Menghadapi kenyataan ini, saya maupun ibu saya tidak mendaftar ke sekolah lainnya. Di hari penutupan pendaftaran, tiba-tiba ada dorongan untuk datang ke sekolah tersebut

Sesampainya di sekolah, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, maka saya duduk dibangku sambil mengayunkan kaki. 

Tiba-tiba ada seorang wanita turun dari becak dan menegur saya: “Kesuma kamu sudah daftar?” “Belum tante, soalnya saya tidak mempunyai uang.” 

Katanya lagi: “Jangan kuatir Kesuma, ini uang untuk mendaftar. Uang ini tante pinjami. Jika ada uang, cicillah, tetapi jika tidak ada, tidak perlu bayar.”

Aku berdoa dan akupun diberi pengertian, Aku bermohon lalu roh kebijaksanaan datang kepadaku (Keb 7:7)

Di paroki saya ada 4 romo, orang-orang kaya yang ada di paroki saya hanya mengirimi makanan untuk 2 romo yang berasal dari Belanda. 

Melihat hal itu timbullah belas kasihan di hati ibu saya, maka setiap siang beliau mengirimkan tempe goreng dan tumis sayur kangkung/bayam/tauge kepada 2 romo lainnya. 

Di sinilah saya melihat kebenaran firman Tuhan, meskipun ibu saya selalu mengirimkan makanan ke romo, Tuhan mencukupkan segala kebutuhan rumah tangga keluarga kami.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu kekurangan (Ams 11:24)

Setelah lulus SMA, ada banyak teman-teman yang kuliah di WM, Petra dan Ubaya. Melihat keadaan orang tua saya, saya menggantungkan cita-cita saya untuk menjadi sekretaris. 

Tiba-tiba impian saya bangkit lagi ketika ada seorang teman yang memberitahu bahwa masuk Kopertis biayanya murah sekali. Saya minta uang Rp 10 ribu untuk pendaftaran ke ibu saya, jawabnya: “Mami tidak mempunyai uang sebesar itu. Yang ada pada mami hanya cukup untuk fotocopy 10 lembar ijazahmu. Jadi, carilah pekerjaan.” 

Akhirnya saya membaca koran dan mengirimkan 9 surat lamaran. Setelah menunggu dua minggu, tidak ada satu surat lamaranpun yang dipanggil. Di sinilah saya baru menyadari bahwa saya tidak mempunyai modal dan nilai jual (miskin, gemuk, pendek, banyak jerawatnya, tidak cantik, bukan fotogenik). 

Lalu teringatlah saya pada waktu SMP, ketika ada seorang cewek cantik lewat pintu gerbang sekolah, cowok-cowok SMA yang duduk dekat pintu gerbang tersebut bersiul, tetapi saya tidak pernah mendapatkan siulan tersebut. 

Tiba-tiba ada suara di hati: “Kesuma, kamu tidak bisa masuk dalam suatu perusahaan jika tidak bertemu muka dengan pemimpinnya.” 

Saya merasa tidak punya baju yang layak, maka saya meminjam baju, sabuk dan sepatu hak tinggi kakak perempuan saya. Semalaman saya berlatih berjalan di depan kaca. Besok paginya saya juga meminjam sepeda motor kakak perempuan saya. 

Dengan penuh sukacita saya berdandan dan membawa surat lamaran menuju kantor eksport import yang berada di jalan Pahlawan. 

Sesampainya di jalan Pahlawan, saya tidak menemukan kantor tersebut, yang saya lihat hanya nomer 5, sedangkan nomer besar tidak kelihatan. Setelah memutar jalan itu empat kali, akhirnya saya bertanya kepada tukang becak. 

Ternyata saya berada di dekat kantor itu, hanya berbeda tiga ruko. Di depan ruko itu ada cowok iseng yang menggoda, teriaknya: "Ri... nan... ri... nan..." 

Mendengar godaan itu saya bertambah bingung, malu dan patah semangat karena wajah saya agak hitam kena asap knalpot bis dan cara jalan saya yang agak sulit, karena tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi. 

Sesampainya di kantor itu, saya membuka kaca pintu kantor itu. Karena pintu itu sangat berat bagi saya, maka pintu itu saya dorong dengan memasang kuda-kuda untuk membukanya. 

Dengan bercucuran keringat yang sebesar jagung, saya berkata dalam hati: "Tuhan, begitu berat penderitaanku saat ini." 

Sesampainya di ruang sekretaris, dia berkata: "Tinggal saja surat lamarannya. Nanti akan saya sampaikan pimpinan." Surat lamaran itu tidak saya tinggalkan karena saya mau taat dengan hikmat yang Tuhan berikan

Menghadapi hal ini saya benar-benar merasa lelah dan harapan saya hilang. Sambil menangis saya berdoa: "Tuhan, hidupku kok sangat berat. Mengapa aku tidak punya modal untuk melamar suatu pekerjaan?" 

Tiba-tiba saya mendapat kabar baik dari kakak saya, bahwa ada adik temannya yang akan keluar dari bank karena sebulan lagi dia akan menikah.

Hanya bermodalkan nama pimpinan bank tersebut, saya dengan penuh semangat datang ke bank tersebut. Sesampainya di ruang sekretaris, dia berkata: "Tinggal saja surat lamarannya. Nanti akan saya sampaikan pimpinan." 

Mendengar hal itu, pikiran saya buntu dan tanpa sadar saya nekat berbohong: "Ibu, saya sudah di tunggu bapak X sejak kemarin." 

Setelah saya berkata demikian, saya disuruhnya masuk. Saya bertemu dengan seorang pimpinan yang masih muda, dia menyambut saya dengan sangat ramah. 

Saya langsung diberinya formulir calon karyawan, disuruh mengisi dan langsung diinterviu: "Apakah bisa bahasa Inggis?" "Tidak bisa pak." "Apakah bisa bahasa Mandarin?" "Tidak bisa pak." "Apakah bisa koresponden, steno dan mengetik?" "Tidak bisa pak." Ketika X mendengar jawaban saya, senyum beliau hilang. 

Dengan sambil lalu X bertanya lagi: "Kesuma kalau sekolah naik apa?" "Jalan kaki, pak." 

Entah mengapa tiba-tiba X berkata: "Kesuma, Senin masuk kerja. Asal you tahu, saya menerimamu bukan karena kamu punya potensi. Begitu banyak orang yang melamar, tetapi pekerjaan ini kamulah yang paling membutuhkan. Jadi, kamu harus menjaga sikapmu dalam pekerjaan." 

Hari Senin saya mulai masuk kerja jam 08.00, jam 10.00 tubuh saya kedinginan, gemetar dan ingus saya terus-menerus meleleh. Sepulang bekerja tubuh saya demam, maklumlah ... tidak terbiasa dengan udara AC yang dingin. Sesampainya di rumah saya bercerita kepada ibu saya, beliau berkata: "Bertahanlah ..."

Keesokan harinya saya bekerja lagi. Bagian saya menerima setoran uang di kasir. Saya disuruh menghitung uang yang jelek satu dos tanpa diajari caranya. 

Ketiak saya harus diangkat di atas counter sehingga dapat menghitung uang. Kaki saya rasanya mau patah karena saya memakai sepatu hak tinggi. Hal ini saya jalani sampai tiga minggu. 

Jika ada uang palsu atau uang kurang, teman-teman di bank selalu memfitnah dan menyindir-nyindir sayalah penyebabnya. 

Menghadapi hal ini saya tidak kuat, maka keesokan harinya saya datang lebih awal untuk memberikan surat pengunduran diri saya. 

Saya berkata: "Pak, saya tidak mampu bekerja di sini. Kalau saya bersalah, saya mau ditegur. Kalau saya difitnah dan disindir-sindir, saya tidak kuat. Meskipun miskin, saya orang jujur." 

X menjawab dengan sabar: "Kesuma, saya kira kamu mau bertahan bekerja di sini karena pekerjaan ini memang sangat kamu butuhkan. Saya tidak keberatan kamu keluar dari sini, tetapi kamu harus menyadari bahwa di sekolah masih bisa mendapatkan sahabat

Di tempat kerja tidak ada lagi sahabat, suatu saat mereka bisa menusukmu dari belakang. 

Jika hari ini kamu keluar, dan kau pindah di perusahaan lain, di situ kau cocok dengan temanmu, tetapi bisa keluar karena tidak cocok dengan pekerjaanmu dan kau keluar lagi. 

Kamu cocok dengan pekerjaanmu dan temanmu tetapi tidak cocok dengan pimpinanmu. Orang Hidup akan seperti itu, bukan hanya di bagian bawah, sampai tingkat direksipun mengalami hal yang sama. 

Artinya di seluruh dunia pun kita akan mengalami hal yang sama. Jadi, yang dibutuhkan harus bisa menyesuaikan kehidupan itu."

Singkat cerita, Tuhan membuka pintu dan mengangkat saya menjadi kepala pimpinan bank. Cita-cita saya menjadi sekretaris, ternyata Tuhan memberikan lebih dari cita-cita saya.

Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan jadi ekor. Engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah Tuhan dan kaulakukan dengan setia (Ul 28:13).

Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, bahkan orang yang paling kecil sekalipun dapat diangkat-Nya untuk kedudukan itu (Dan 4:17).

Meskipun ibu saya buta huruf, tetapi beliau seorang yang luar biasa dalam mendidik anak-anaknya sehingga di masa tuanya semua anaknya saling berebut untuk membahagiakannya.

Bahkan dokter yang merawatnya berkata: "Ibu sangat beruntung mempunyai anak yang berbakti. Orang kaya saja belum tentu mau memberikan obat yang termahal seperti ini. Tetapi ibu mendapatkan pengobatan yang terbaik, sampai-sampai saya dikontrak oleh anak ibu selama enam bulan untuk menerapi tulang yang keropos."

Untuk membalas kasih ibu yang demikian besar, maka saya dengan ikhlas meninggalkan pekerjaan saya untuk merawat beliau pada saat kedua kakinya patah.

Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu (Ams 29:17).

Pada waktu umur 80 tahun ibu saya bertanya: "Mami ini kok belum dipanggil Tuhan." "Mungkin Tuhan memberikan kesempatan buat mami untuk melakukan pemberesan-pemberesan."

"Mami nggak punya salah, kamu kan tahu bahwa mami selalu mengalah pada siapa pun, termasuk keluarga mami/papi."

"Kalau begitu kita mohon hikmat Tuhan saja karena Roh Kudus akan mengingatkan sesuatu dan meluruskan jalan yang berliku-liku."

Akhirnya ibu saya teringat dengan adiknya, beliau tidak berbicara dengan adiknya sejak saya berada di dalam kandungan.

Kata saya: "Mami harus berdamai. Kalau kita mau melakukan suatu pemberesan, janganlah melihat tua atau muda tetapi yang mempunyai kedewasaan rohani yang harus melakukannya terlebih dulu. Kalau mami malu melakukannya, mintalah hikmat dari Tuhan."

Tidak lama kemudian ibu saya menerima undangan adiknya ulang tahun. Ibu saya datang ke pesta tersebut, saya melihat mereka berdua berpelukan sangat lama.

Beberapa hari kemudian, ibu saya bertanya lagi: "Apa lagi yang harus mami lakukan." "Mungkin mami masih punya hutang." "Kamu kan tahu, sejak kebakaran pasar Turi mami membayar hutang dengan lumpia sejak kamu duduk di kelas 2 SD sampai lulus SMA."

"Kalau begitu kita mohon hikmat Tuhan saja." Keesokan harinya, ibu saya teringat bahwa memang beliau mempunyai hutang sebelum menikah.

Hal itu terjadi pada saat ibu saya ke Surabaya mencari nenek saya. Ibu saya disekolahkan oleh seorang tua yang kaya dan baik hati (Y), beliau menjual gelangnya seberat 33 gram untuk membiayai sekolah ibu saya.

Singkat cerita, kami mencari anak dari Y (Z) di tempat asalnya, ternyata mereka sudah pindah dan tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya.

Puji Tuhan, ada seorang pegawai Y yang tahu tempat tinggal Z sehingga kami menemukan rumahnya. Pada saat itu di rumah tersebut hanya ada istri Z.

Lalu ibu saya menceritakan Y dan memberikan gelang 33 gram tersebut. Sambil menangis istri Z berkata: "Terima kasih Tuhan, terima kasih. Engkau telah memberikan jalan keluar dari pergumulan kami. Seumur hidupku belum pernah aku mendengar orang berhutang mengembalikan kepada ahli warisnya." 

Tidak pernah orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti (Mzm 37:25)

Setelah selesai melakukan pemberesan dan hutangnya, saya bertanya: "Sebelum menghadap Tuhan mami ingin apa?"

Jawabnya: "Mami ingin ketemu B. Mami ingin menceritakan kehidupan mami selama 65 tahun ini." Nama itu baru saja saya mendengarnya.

Lalu saya minta ibu saya menceritakan keistimewaannya. Ternyata B adalah teman sekampungnya, dia begitu baik sekali melebihi saudaranya sendiri. Dia mempunyai satu baju kebaya Cina, dia rela berbagi dengan ibu saya. Jika hari ini B yang memakai kebaya Cina, keesokan harinya ibu saya yang memakainya.

Sungguh luar biasa rancangan Tuhan, tidak lama kemudian B datang dan menginap semalam di rumah saya karena cicitnya menikah di Surabaya. Ketika mereka berjumpa, mereka saling berpelukan lama sekali. Setelah B pulang, ibu saya tidak sadarkan diri dan meninggal dengan damai.

Hikmat lahir dari kelemahlembutan dan ada pada orang yang rendah hati sehingga memelihara hidup pemiliknya. Mulut orang benar mengucapkan hikmat, dan lidahnya mengatakan hukum. Taurat Allahnya ada di dalam hatinya, langkah-langkahnya tidak goyah (Yak 3:13; Ams 11:2; Pkh 7:12; Mzm 37:30-31)

Marilah kita belajar dari Maria (Luk 1:26-38):

[26-37] Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.

Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya dalam hatinya, apakah arti salam itu.

Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakup sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan."

Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?"

Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. ... Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil."

» Malaikat Alllah sudah menjelaskan rangcangan dahsyat Allah yang akan datang, tetapi Maria tidak mampu mencerna semua kata-kata yang disampaikan.

Itulah keterbatasan Maria sebagai manusia biasa. Baginya kabar itu adalah peristiwa buruk, karena dia mempunyai impian akan berumah tangga dengan pria yang dicintainya, selain itu pada zaman itu, orang yang melakukan perzinahan tidak ada tempat di masyarakat, tidak mempunyai hak hidup lagi, orang itu dirajam, dilempari batu berkali-kali sampai mati.

Seringkali kitapun seperti itu, Roh Kudus memberitahukan hal-hal yang akan datang tetapi pikiran kita terpaku dengan peristiwa buruk yang saat ini sedang kita alami sehingga kita tidak melihat rancangan damai sejahtera yang sudah Tuhan sediakan (Yer 29:11; Yoh 16:13).

[38] Kata Maria: " Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu.

» Maria mampu mengerti sebuah peristiwa hidupnya yang buruk, menerima dan melewatinya bersama Tuhan. Hal ini terjadi karena Maria selalu mencari hikmat Allah dalam hidupnya sehingga dia dapat segera mengerti pesan tersebut.

Peristiwa buruk yang dialami Maria

Mengandung – sebelum Yusuf dan Maria hidup sebagai suami istri (Mat 1:18). Pada saat itu, jika seseorang mengandung tetapi belum menikah, orang itu akan dirajam dan dilempari batu berkali-kali sampai mati.

Melahirkan – di palungan karena tidak ada tempat di rumah penginapan (Luk 2:7). Meskipun beroleh kasih karunia Allah, tetapi tidak mendapatkan kemudahan dalam menjalani peristiwa itu.


Kehilangan – menyimpan segala perkara di dalam hatinya (Luk 2:41-51). Di dalam menghadapi persoalan, tenang, sabar dan tidak putus asa.

Penderitaan akan merobek jiwa, jika orang tetap bertahan sampai pada kesudahannya akan diselamatkan (Ams 27:9; Mat 24:13).

(Sumber: Warta KPI TL No.111/VII/2013 » Renungan KPI TL tgl 20 Juni 2013, Ibu Kusuma).