Selasa, 21 Februari 2017

Komunitas-ku = rumah-ku



Hidup dalam komunitas seperti hidup dalam sebuahrumah besar”, ada susah, ada senangnya, ada kesulitan/masalah, ada jalan keluar/solusinya. 

Hidup satu rumah atau berada dalam suatu komunitas belum tentu merasa bagian dari rumah atau komunitas tersebut. Seperti dalam sebuah rumah, apa pun yang dilakukan salah satu anggotanya akan menimbulkan dampak bagi anggota yang lain.

Komunitas ada untuk menjadi tanda yang kudus kepada dunia tentang Kerajaan Allah, dan untuk membantu kerajaan itu datang. Tentu saja, kita tidak selalu mengalami komunitas dalam keadaan yang kudus dan penuh cinta. Komunitas sering kali menjadi sumber dari salib terbesar yang harus dipanggul sebagian dari kita. 

Justru di saat-saat seperti itu komunitas dapat membantu kita bertumbuh sebagai murid-murid Yesus dengan memberi kita secara berlimpah kesempatan-kesempatan berahmat untuk berdoa, menghayati kerendahan hati, bersemangat, bersabar, berbela rasa, melaksanakan pengampunan dan rekonsiliasi, keadilan dan perdamaian.

Dalam komunitas seseorang belajar hidup bersama sebagai saudara. Sikap persaudaran ini diuji oleh kehadiran sekian banyak orang yang memiliki latarbelakang berbeda. Hal inilah yang menyebabkan rawan konflik. 

Konflik adalah pertentangan dua orang/lebih/kelompok. Perasaan tidak cocok ini dapat berakibat menyingkirkan orang lain.

Penyebab konflik: salah pengertian (informasi tidak benar, bahasa sulit, bohong), karakter yang berbeda, hambatan komunikasi, batasan pekerjaan tidak jelas dan campur aduk; tekanan waktu (ingin cepat, mendesak), kebijakan tidak masuk akal, pertikaian pribadi, harapan tidak terwujud, keinginan tidak diperhatikan, sombong (merasa paling baik), iri hati, saingan berat, merasa disakiti, direndahkan, dihalangi.

Akibat konflik: suasana kacau, demo besar-besaran, PHK, korban: sakit dan kematian terutama dari pihak yang lemah.

Konflik ada yang positif dan negatif, jika konflik tidak diolah secara baik, dia akan berubah menjadi negatif. Dalam konflik yang tinggi, setan punya ambisi besar sekali untuk memecah belah komunitas.

Dampak positif konflik: meningkatkan usaha dan semangat, saling mengerti lebih mendalam, mendorong perubahan, pengambilan keputusan lebih baik, isu kunci muncul, pemikiran kritis muncul, memahami perbedaan, membuka kemungkinan baru komunikasi, tempat penyaluran emosi, refleksi diri lebih mendalam.

Dampak negatif konflik: penurunan komunikasi, dapat kurangi produktivitas, muncul perasaan negatif, stress dan tidak dapat istirahat, pengambilan keputusan dapat jelek, kerjasama dapat turun, penurunan komunikasi, dapat kurangi produktivitas, muncul perasaan negatif.

Strategi menghadapi konflik

1. Menghindari/Avoid (kura-kura): cenderung menghindari perselisihan, menarik diri dari soal, tidak perhatian pada orang lain, lose-lose.

2. Kompetisi (singa): harus mengalahkan yang lain, fighter, win-lose, aku harus menang, yang lain kalah.

3. Kompromi (zebra): negosiasi, kadang menang kadang kalah, win-lose, lose-win

4. Akomodasi (Chamelion): mengakomodasi kepentingan yang lain, self sacrifice, Ok orang lain menang, Ok dirinya sendiri kalah

5. Kolaborasi (dolphin): mencari bersama mana yang terbaik, win-win solution, mutual problems solving.

Sikap win-win: cari kemenangan pribadi, hindari kompetisi dan perbandingan tidak sehat, berkompetisi, tidak membandingkan, pengaturan emosi, penggunaan nalar/pikiran/obyektifitas, masukan orang lain, sikap rendah hati, keterbukaan pada orang lain, hindari orang yang suka membakar, refleksi.

Marilah kita belajar dari Yesus dalam menghadapi konflik, yaitu tidak mendendam tapi mengampuni dan mencintai; berbicara empat mata sebagai teman atau persoalannya disampaikan kepada jemaat (Mat 18:15-17; melihat nilai positif pada budaya lain (1 Ptr 2:12-17).

Jadi, hendaknya setiap orang menjaga mutu kehidupannya dengan baik karena nilai kita, martabat kita diukur oleh itu (lih. Spiritualitas "Jalan Kecil"). Kalau satu orang punya mutu hidup yang tinggi, dua orang mempunyai mutu yang tinggi, maka komunitas itu akan baik. 

Pembentukan komunitas apa pun dalam gereja merupakan wujud dari pelaksanaan tugas perutusan gereja umat Allah. “Komunitas jika sungguh hidup dalam kesatuan dengan gereja, merupakan wujud nyata dari paguyuban umat (Communio) dan sarana yang menumbuhkan bagi semakin berkembangnya persekutuan (Yoh. Paulus II – Redemptoris Missio No. 20).

Jadi, pada hakekatnya Gereja itu adalah persekutuan kaum beriman yang bersifat missioner. Semua komunitas di dalam gereja dibangun karena semangat persekutuan. Maka komunitas disebut sebagai tanda harapan bagi kehidupan persekutuan gereja.

Gereja mempunyai dua sisi, yaitu gereja yang tidak kelihatan dan yang kelihatan.

Gereja yang tidak kelihatan adalah persekutuan yang dijiwai oleh roh (rohani). Meskipun gereja terus-menerus diperhadapkan dengan berbagai-bagai penganiayaan (misalnya dibakar), gereja tidak akan mati karena kita yakin bahwa Gereja itu didirikan oleh Yesus Kristus dan Roh Kudus yang menjiwainya, sehingga ada kekuatan yang tidak kelihatan.

Gereja Katolik mengacu kepada Gereja yang kelihatan, yang bersatu dengan uskupnya, dalam kesatuan dengan Gereja Roma.

Gereja tidak terpisahkan dari Kristus, sebab Kristus adalah Kepala, dan Gereja adalah Tubuh-Nya (Ef 5:23). Maka jika Kristus itu sendiri adalah Allah yang mengambil rupa manusia untuk menjadi ‘kelihatan’ - dapat dilihat oleh manusia, maka konsekuensinya, Gereja yang adalah Tubuh-Nya juga harus kelihatan.

Kristus adalah Terang dunia (Yoh 8:12), maka kita dipanggil juga untuk meneruskan terang Kristus, yang bersinar bagi semua orang, agar terlihat (Mat 5:14).

Itulah sebabnya Gereja yang kelihatan itu, seperti halnya Kristus Kepalanya, yang juga kelihatan saat Ia hidup di dunia, menyampaikan rahmat Tuhan yang tidak kelihatan.

Jadi, Gereja yang kelihatan ini merupakanperpanjangan tanganKristus untuk menjangkau umat-Nya di sepanjang zaman sampai kedatangan-Nya kembali.

Iman itu pribadi sifatnya tetapi iman itu bertumbuh dan berkembang dalam persekutuan dengan saudara-saudara seiman

Maka komunitas sebagai tanda iman harus bersumber pada Kitab Suci dan Ajaran Resmi Gereja.

Pada akhirnya semua komunitas memang harus menjadi saksi imantanda iman akan kehadiran dan penyelenggaraan Ilahi

Jadi, apapun komunitas yang kita masuki, komitment harus kuat, komunikasi harus jalan, harus ada koordinasi agar tidak terjadi gesekan.


(Sumber: Warta KPI TL No.142/II/2017 » Rekoleksi keluarga KPI TL Tgl 4-5 Februari 2017, Rm Gregorius Kaha, SVD).