Sabtu, 14 Januari 2017

05.40 -

Anak yang hilang

Sejak ditebus oleh Yesus, status kita adalah anak Allah. Tetapi seringkali tanpa sadar sikap hati kita berlaku sebagai orang upahan yang selalu berbicara tentang hak dengan berkata: “Aku melakukan ini Tuhan, mana upahku, mana untungnya bagiku.” 

Ada seorang pengusaha yang mengalami kesulitan keuangan. Kadangkala gaji karyawannya dibayar terlambat satu atau dua hari. Karyawannya protes, yang paling keras protesnya adalah karyawan yang telah bekerja 20 tahun. 

Ini adalah hal yang wajar bagi orang upahan, kerjanya hanya menuntut dan menuntut, tidak mau berkorban dan tidak ada loyalitas dalam dirinya

Ada seorang pengusaha berbeda yang juga mengalami kemerosotan keuangannya, perusahaannya hampir bangkrut. 

Salah satu karyawannya pulang ke kampung menjual tanah dan sawahnya. Sekembalinya dari desa, seluruh penjualan tanah dan sawahnya diberikan majikannya, katanya: “Pak, ini adalah uang hasil penjualan tanah dan sawah, pakailah dahulu untuk membayar karyawan.” 

Jawab majikannya: “Nggak usah, itu adalah hakmu.” Karyawan yang baik hati itu berkata: “Selama ini Bapa telah memberkatiku. Saat ini saya juga merasakan kesusahan yang Bapa alami, maka saya ingin membalas kebaikan Bapa.” 

Ini adalah karyawan yang memposisikan diri sebagai anak, dia ikut merasakan apa yang dirasakan majikannya sehingga dia rela berkorban.

Hak kesulungan ini tidak secara otomatis aktif dalam hidup kita. Hak ini tidak aktif jika kita posisikan diri sebagai orang upahan dan bukan sebagai anak di hadapan Allah

Untuk dapat menanggapi rahmat Allah ini, maka kita harus mendengarkan perkataan-Nya sehingga damai sejahtera tidak dapat diambil dari pada kita (Luk 10:39, 42). 

Dan kita juga harus mempunyai kerinduan yang mendalam kepada Allah (Mzm 42). Kerinduan ini membuat kita ingin berdialog dengan-Nya dan hati kita pun terbuka untuk mendengarkan suara-Nya sehingga keegoisan dan kesombongan dikalahkannya. Hal ini harus kita kejar sehingga kita dijadikan sahabat-Nya (Yak 2:23). 

Jadi, kita harus bertobat setiap hari agar kita mengalami pemulihan dan perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan Yesus. Jika relasi kita dengan Tuhan baik, maka relasi kita dengan sesama, diri sendiri dan lingkungan juga menjadi baik

Marilah kita belajar dari Luk 15:11-32

Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. 

» Menurut hukum Yahudi, anak bungsu ini harus dihukum rajam. Pada zaman itu, jika ada anak yang minta warisan ketika orang tuanya masih hidup, maka ayahnya akan membawanya ke pintu gerbang kota dan berkata kepada para panatua kota: “Ini anakku, anak durhaka, masak aku belum mati dia sudah minta warisan.” Maka para panatua itu akan mengadilinya dan berkata: “Mari kita singkirkan anak durhaka ini.” 

Sementara anak itu dihukum rajam, ayahnya harus berkata: “Mati kamu…” Hukuman itu tujuannya untuk pelajaran bagi anak-anaknya yang lain agar tidak kurang ajar.

Dalam perumpamaan ini Yesus melawan hukum yang ada.

Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya dengan hidup berfoya-foya. 

» menggunakan haknya tanpa bertanggungjawab

Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 

Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. 

Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 

» Anak bungsu itu bertobat karena takut mati kelaparan. Kadangkala Tuhan mengabulkan permintaan kita meskipun hal itu tidak baik bagi kita. Tujuannya agar kita belajar sesuatu dari pengalaman yang tidak baik itu. 

Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. 

Ketika masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia

Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa. 

Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. 

Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang (di luar rumah, jauh di mata dekat di hati) dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria 

» bapa yang penuh belas kasihan ini adalah gambaran Bapa di sorga. Ayahnya memotong perkataan si bungsu dengan memberinya jubah kesulungan (simbol kepangkatan yang tinggi), cincin (digunakan sebagai meterai, simbol otoritas), sepatu (pada waktu itu sepatu hanya digunakan majikan). 

Ini adalah ungkapan bahwa ayahnya telah mengampuni dosa-dosanya dan mengangkatnya kembali menjadi anaknya dan tidak mengizinkan anaknya sebagai orang upahan. Jika kita mengerti kebenaran ini maka air mata kita akan mengalir karena merasakan kebaikan Bapa di sorga.

Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari tarian. 

Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatkannya kembali dengan sehat. 

Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia

Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku 

» Si sulung marah karena tidak diberitahu/diundang dalam pesta adiknya. Mengapa dia tidak diberitahu/diundang? Karena dia memposisikan dirinya sebagai orang upahan maka ayahnya tidak wajib memberitahu/mengundangnya

Meskipun demikian, ayah yang bijaksana ini mengundangnya masuk dalam pesta tetapi dia tidak mau masuk. Jadi, tanpa disadari si sulung juga terhilang di dalam rumah, dia berada dekat di mata tetapi jauh di hati

Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu

» si sulung tidak merasa memiliki kepunyaan ayahnya. 

Mari kita bertobat setiap hari sehingga kita boleh mengalami pemulihan hubungan dengan Bapa dan kita dapat berjalan sesuai dengan visi Allah. 

(Sumber: Warta KPI TL No. 95/III/2012 » Renungan KPI TL tgl 16 Februari 2012, Dra Yovita Baskoro, MM).