20.18 -
*Teologi*
Teologi tubuh
Meskipun secara umum saya menemukan kebahagiaan dalam hidup panggilan selibat, tetapi jauh di dalam lubuk hati saya ada sebuah suara yang penuh kegelisahan. Suara itu kadang meledak menjadi suara protes yang sangat keras kepada Tuhan.
Ledakan suara protes itu seolah ingin berteriak kepada Tuhan: "Mengapa Engkau memanggil aku untuk hidup selibat? Tuhan, mengapa Engkau memanggil aku untuk hidup tanpa bisa menikmati seks?"
Pencarian jawab atas suara protes saya itu mengalami titik balik pada bulan Juli 2008. Saya mendapat kesempatan istimewa untuk ikut serta dalam World Youth Day di Sidney.
Dalam hari-hari penuh doa dan perayaan orang muda itulah saya berkesempatan untuk menghadiri sebuah ceramah yang diberikan oleh Christopher West. Ia adalah seorang dari Gereja Katolik Roma yang membaktikan hidupnya bagi sebuah misi khusus untuk memperkenalkan "Teologi Tubuh" yang diajarkan oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II (Sejak 5 September 1979, selama kurang lebih lima tahun Paus berbicara tentang Teologi Tubuh (129 x) dalam audiensi umum hari Rabu bagi orang-orang yang berkumpul di Vatikan).
Kalian sedang salah jalan! Mengapa? Dunia telah ditipu habis-habisan oleh banyak konsep dan keyakinan keliru tentang seks.
Segala macam gejolak dunia seputar seks tidak lain adalah gejolak yang timbul karena manusia terus-menerus mencari arti tubuh manusia yang sebenarnya, dan telah sekian lama pula jawaban yang ditemukan dan disebarkan adalah jawaban yang keliru.
Kalau dunia dan semua manusia tidak secara serius mengerti dan melihat tubuh manusia secara benar, akan semakin banyak persoalan di dunia ini yang tak akan pernah bisa diselesaikan! (Santo Yohanes Paulus II)
Tubuh manusia adalah sebuah teologi yang membuka pintu bagi banyak jawaban atas persoalan zaman ini.
Ajaran Teologi Tubuh digambarkan sebagai perjamuan kawin (Why 19:9) oleh Christopher West.
Mereka yang dipanggil hidup dalam perkawinan seringkali terlalu kenyang oleh hidangan pembuka sehingga tidak memiliki nafsu makan lagi ketika hidangan utama disajikan.
Sedangkan mereka yang dipanggil hidup selibat dengan sadar dan bebas tidak mengambil sedikit pun hidangan pembuka karena ingin sungguh-sungguh menikmati hidangan utama yang diyakininya akan jauh lebih lezat dan memuaskan daripada segala hidangan pembuka itu.
Meskipun demikian, ini tidak menutup kemungkinan adanya "rasa sakit dan kesepian" dalam pemenuhan arti nupsial pada saat kebangkitan kelak.
Orang yang hidup dalam Roh secara benar akan menghayati tubuhnya secara benar.
Paulus mengajak kita untuk bersikap realistis (1 Kor 7:24-40):
Hidup Perkawinan: memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, harus siap untuk menanggung "kesusahan badani" dan "kekuatiran", seseorang tidak lagi bisa mengambil keputusan sendiri begitu saja.
Hidup Selibat: memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwanya kudus, melakukan apa yang baik dan benar, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.
Orang yang hidup selibat ingin merayakan perkawinan sorgawi itu sejak di dunia ini. Hidup tanpa perkawinan selama di bumi ini ingin menjadi tanda bagi dunia bahwa seperti itulah kelak hidup setelah kebangkitan (Mat 22:30 - tidak kawin dan tidak dikawinkan). Hal ini tidak mudah dipahami. Jadi, hidup selibat harus memiliki dua ciri: sukarela dan adikodrati.
Ukuran "baik" dan "lebih baik" dipandang dari hubungan pribadi yang bersangkutan dengan arti nupsial tubuhnya sendiri yang tidak terpisahkan dari kerinduannya akan penebusan tubuh dalam kebangkitan.
Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Muliakanlah Allah dengan tubuhmu! (1 Kor 6:8-20).
Marilah kita belajar dari Efesus 5:22-33, 21
22a Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suamimu adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat
» (1*) Kristus adalah kepala jemaat. Kepala tidak pernah bisa dipisahkan dari tubuh. Bila jemaat, Gereja, kita semua, terpisah dari Kristus, yang ada hanya satu kemungkinan: kematian!
(2*) Kepala menjadi ukuran identitas.
Di tempat-tempat rekreasi umum kadang ada tokoh yang digambarkan dengan tubuhnya. Anda bisa menempatkan diri pada posisi yang telah disiapkan sehingga ketika hasil foto dicetak akan terlihat "seolah-olah" anda sendirilah yang memiliki tubuh seperti itu.
Itu semua memperlihatkan bahwa identitas seseorang dikenali lewat wajahnya, artinya lewat wajahnya yang melekat tak terpisahkan dari kepalanya.
Tanda pengenal bagi kita semua, bagi Gereja-Nya, tidak lain adalah Kristus sendiri.
Ubahlah wajah pada kepala itu, dan segera orang akan mengidentifikasi tubuh yang ada secara berbeda.
Dengan kata lain, Kristus itu sangat menentukan bagi identitas jemaat. Tanpa Kristus, sekumpulan orang itu bukanlah jemaat, bukanlah Gereja; hanyalah segerombolan manusia belaka, tidak lebih dari itu.
(1#) Suami adalah kepala istri, ada kesatuan yang tak terpisahkan antara kepala dan tubuh.
(2#) Kesatuan antara suami dan istri sangat menentukan bagi identitas mereka yang tidak lagi dua melainkan satu.
Seruan itu adalah seruan bagi para istri agar sungguh mengusahakan hidup yang tak terpisahkan dari para suami mereka.
Dalam seruan kepada istri itu, sebenarnya terkandung seruan, bahkan tuntutan keras, bagi para suami untuk sungguh berusaha keras menjadi sama seperti Kristus sendiri.
22b Dialah yang menyelamatkan tubuh. 23 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu
» Kristus sebagai kepala menyelamatkan jemaat dengan menyerahkan Diri hingga wafat di kayu salib.
Demikian pula halnya, suami terhadap istri harus sampai pada kesediaan untuk mengorbankan dirinya demi hidup sang istri.
Kristus itulah yang menyelamatkan jemaat. Bila jemaat tidak tunduk kepada Kristus, jemaat justru kehilangan kesempatan untuk menerima pemberian Diri Kristus yang ingin menyelamatkan.
Terhadap suami yang menyerupai Kristus itu, bila para istri tidak tunduk, para istri akan kehilangan kesempatan untuk menerima pemberian diri para suami yang ingin menyelamatkan istri mereka.
Ketiga ayat di atas harus dibaca sebagai kesatuan yang tidak boleh dipisahkan sendiri-sendiri.
Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskan, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman.
Supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela
» Tujuan paling akhir dari tindakan Kristus terhadap jemaat adalah adanya terjaga kekudusan dan kecermerlangan umat.
Demikian pula halnya seluruh gerak dan tindakan suami terhadap istri! Suami harus mengusahakan agar istrinya tetap kudus dan cemerlang, tanpa cacat, kerut dan cela.
Kekudusan bukanlah sesuatu yang melulu merupakan rangkaian tindakan yang harus dikerjakan dan diusahakan sekuat tenaga oleh jemaat. Unsur itu memang ada dan tetap penting.
Namun demikian, bila jemaat melupakan tindakan dasar untuk "menerima" proses pengudusan itu justru tidak akan terjadi.
Kekudusan dalam arti ini adalah keadaan di mana manusia bersedia menjadi pihak yang menerima pemberian Tuhan. Lelaki adalah pihak yang memberi, sedangkan perempuan adalah pihak yang menerima. Istri menerima pengudusan yang dilakukan oleh suaminya.
Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatnya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya
» Dalam sebuah hubungan cinta, kedua pihak berperan sebagai subyek yang saling memberi izin bagi yang lain untuk menembus masuk ke dalam diri sendiri.
Ini yang terjadi dalam hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya. Kedua pihak, sebagai subyek menembus masuk. Bukan dengan paksaan atau sebuah manipulasi, melainkan dengan izin yang diberikan secara bebas.
Bila suami tidak mengasihi tubuhnya sendiri, ia telah menyangkal identitas dirinya sendiri. Maka, bila suami tidak mengasihi istrinya, ia pun sebenarnya telah menyangkal identitas dirinya sendiri. Adalah mutlak bagi seorang suami untuk mengasihi istrinya, karena dengan itulah ia memperlihatkan identitasnya secara utuh.
Mengasihi istri bukanlah sebuah pilihan yang boleh diambil boleh tidak. Mengasihi istri adalah soal mempertahankan identitas suami, sama halnya dengan Kristus yang mempertahankan identitas-Nya sebagai Kristus dalam bentuk tindakan yang mengasuh dan merawat tubuh-Nya, kita semua.
Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat
» Bersatunya tubuh lelaki dan tubuh perempuan menjadi satu daging dalam tindakan persetubuhan antara suami dan istri yang sah hanya bisa dipahami dalam terang hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya.
Pada saat seorang lelaki bersatu menjadi satu daging dengan istrinya, sebagian dari tubuh lelaki itu masuk ke dalam tubuh perempuan. Tidak bisa sebaliknya. Persatuan ini membuat adanya pihak ketiga, yakni anak mereka sendiri.
Jadi, lelaki menjadi pihak yang "memberi", perempuan menjadi pihak yang "membuka dan menerima".
Gambaran tentang suami yang mengasihi istri dan istri yang menghormati suami tidak lain adalah gambaran tentang Allah yang memberi dan manusia yang menerima.
Ini misteri mahaagung tentang Kristus yang memberikan diri, dan kita sendiri yang menerima pemberian Diri-Nya yang menyelamatkan dan menguduskan kita.
Yang terlibat dalam peristiwa "menjadi satu" itu bukan hanya tubuh melainkan juga jiwa; bukan hanya hukum alam melainkan juga pribadi; bukan hanya yang sekedar bersifat biologis melainkan juga yang non-biologis.
Tegasnya, persatuan seksual bukanlah sebuah kenyataan biologis belaka, melainkan juga kenyataan teologis.
Penggunaan kontrasepsi menjadikan dirinya sendiri bukan lagi sebuah subyek, melainkan sebuah obyek untuk sebuah manipulasi. Dalam terang Teologi Tubuh, tindakan itu adalah pelanggaran yang tidak bermoral yang langsung menyerang kebenaran dasar hakikat persatuan antara suami dan istri, merendahkan martabat lelaki dan perempuan, menjadikan manusia kembali sebagai bagian dari dunia animalia.
Hal ini bertentangan dengan keyakinan iman di dalam Gereja Katolik Roma. Dalam bahasa Teologi Tubuh pelanggaran ini berarti pelanggaran terhadap kebenaran dasar yang sebenarnya senantiasa disuarakan oleh tubuh manusia, lelaki dan perempuan, suami dan istri, ketika keduanya menjadi satu daging.
Gereja telah mengajarkan cara ber-KB secara alamiah, yaitu Metode Ovulasi. Untuk menjalankan metode ini dibutuhkan kepekaan, dan terutama ketaatan, untuk membaca tanda-tanda yang sudah secara kodrati menjadi bagian dari tubuh manusia.
Jadi, Allah telah secara bijaksana mengatur hukum-hukum kodrati dan saat-saat kesuburan, supaya dengan bekerjanya hukum-hukum tersebut tercipta jarak antara satu kelahiran dan yang berikutnya.
Penguasaan diri bukanlah sesuatu yang mudah. Satu alasan jelas adalah bahwa kita mencoba melakukan itu dalam tubuh kita yang masih membutuhkan penuntasan pembebasannya agar bisa kembali membaca bahasa-dalam-tubuh secara benar.
Dengan berpantang dari seks sebagai ungkapan pengendalian diri, manusia justru dilatih untuk mengarahkan gairah pada garis perkembangan yang tepat.
Pada saat yang sama, ia juga semakin mampu mengarahkan emosi agar semakin mendalam dan intensif berakar dalam batinnya. Dari sanalah akan tumbuh sebuah cinta yang murni dan tanpa pamrih.
Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya
» Seruan bagi kita semua untuk hidup sungguh secara penuh sebagai manusia yang senantiasa siap "menerima" di hadapan Allah yang senantiasa siap "memberi".
Tidak semua orang siap melakukan ini, karena tidak semua orang sungguh siap percaya bahwa Allah sungguh-sungguh ingin memberi.
Tidak semua orang siap melakukan ini, karena sudah begitu terbiasa dengan logika yang berbeda sejak dosa pertama, yaitu logika untuk "mengambil" (lih. [Kej 1:27; 2:7, 16-25; 3:1-11] Misteri penciptaan).
Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus
» Cinta adalah penyatuan kehendak. Suami dan istri saling merendahkan diri, bukan demi salah satu atau demi mereka berdua, melainkan demi Kristus sendiri.
Bersama-sama mereka menyatukan kehendak dengan Kristus sendiri, karena sungguh sadar bahwa kehendak Kristus tidak lain adalah untuk memberikan Diri-Nya secara penuh terus-menerus kepada mereka.
Tubuh tidak lagi memperlakukan orang lain sebagai subyek yang berada dalam tubuhnya, melainkan melulu sebagai obyek. Tubuh semacam inilah yang ditebus Kristus.
Marilah kita meneladan "cinta kuat seperti maut" dari doa Tobia dan Sara (Tob 8:4-8)
Tobia berkata kepada Sara: "Bangunlah adinda, mari kita berdoa dan mohon kepada Tuhan kita, semoga dianugerahkan-Nya belas kasihan serta perlindungan."
» Kisah Tobia dan Sara yang berdoa sebelum persetubuhan mereka pada malam pertama memperlihatkan bahwa persatuan suami dan istri menjadi "satu daging" adalah sebuah bentuk keikutsertaan manusia secara nyata di dalam seluruh karya Allah Pencipta sejak awal mula.
Mereka angkat doa sebagai berikut: "Terpujilah Engkau, ya Allah nenek moyang kami, dan terpujilah nama-Mu ... Engkaulah yang telah menjadikan Adam dan baginya telah Kaubuat Hawa istrinya sebagai pembantu dan penopang; dari mereka berdua lahirlah umat manusia seluruhnya. Engkaupun bersabda pula: Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, mari Kita menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia
» dalam doa ini banyak hal dari seluruh pembicaraan dalam kerangka Teologi Tubuh seolah dipadatkan.
Kisah penciptaan Adam dan Hawa menggemakan secara istimewa dalam konteks cinta Tobia dan Sara apa yang dialami oleh pasangan pertama sebagai "kesendirian asali".
Di sana juga secara implisit digemakan pengalaman akan "kebersamaan asali", yang merupakan penegasan akan bahasa-dalam - tubuh (the language of the body).
Bukan karena nafsu birahi sekarang kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati yang benar ..."
» pernyataan "bukan karena nafsu birahi" adalah gema pasangan pertama akan "ketelanjangan asali".
Ketika itu, mereka masih sungguh mampu untuk saling membaca dengan benar "bahasa-dalam-tubuh" pasangannya sebagai pribadi, sebagai subyek, sebagai tuan atas diri sendiri.
Tobia mendekati Sara "dengan hati yang benar. Ini adalah sebuah keadaan ideal ketika manusia sungguh-sungguh dengan sadar mampu menghindar dari godaan untuk "mengambil" untuk memandang dengan tatapan yang memperlihatkan sebuah "perzinahan dalam hati".
Sebagaimana terlihat dalam seluruh kerangka Teologi Tubuh, panggilan ke arah perkawinan adalah panggilan yang diberikan kepada sebagian besar umat manusia. Hanya sekelompok kecil yang dipanggil untuk selibat. Kedua panggilan ini saling melengkapi.
Manusia menjadi gambar Allah tidak hanya melalui kemanusiaannya, melainkan juga melalui persatuan antarpribadi (communio personarum), yang sejak awal mula dibentuk oleh lelaki dan perempuan. Manusia menjadi sebuah gambar Allah baik dalam saat-saat kesendirian, maupun dalam saat persatuan (Santo Yohanes Paulus II)
(Sumber: Warta KPI TL No.106/II/2013 » Lihatlah Tubuhku, Deshi Ramadhani, SJ).