Minggu, 18 Desember 2016

Sekolah kehidupan



Kehidupan ini adalah sebuah sekolah bagi jiwa kita, sebuah media pembelajaran bagi jiwa kita untuk boleh bertumbuh. Jiwa tidak mungkin menaikkan kualitasnya tanpa menjalani kehidupan ini.


Hidup di dalam dunia ini seperti sebuah sekolah, ada guru, ada murid, ada ujian, ada remidi, ada peraturan, ada hukuman dan lain-lainnya.

Dalam sekolah kehidupan juga sama. Tiap-tiap orang dalam kehidupan ini adalah murid sekaligus guru. Jadi kita berfungsi 2 hal, sebagai murid dan juga sebagai guru. Saya adalah "murid" bagi sebuah peristiwa yang saya alami, dan saya adalah "guru" bagi peristiwa orang lain alami.

Pada saat mengalami hal yang tidak menyenangkan, kita adalah murid, gurunya adalah orang yang melakukan itu. Jadi dalam kehidupan ini selalu ada proses saling belajar-mengajar (Ams 27:17).

Misalnya: ada dua orang sahabat (A dan B) membangun suatu bisnis. Dalam bisnis itu A menipu B, tentunya B akan sangat kecewa dengan A, karena A yang sangat dipercayainya menipunya.

B adalah "murid", yang sedang menjalani kurikulum yang namanya "sabar", gurunya adalah A.

B adalah  "guru" untuk kurikulum "komitman" bagi A, karena A  tidak bisa pegang komitmen.

B menuntut A ke pengadilan, karena hendak mengajari A, sahabatnya pentingnya "komitmen". Tetapi jika B meng-iklaskan » "Ya sudahlah, saya ditipu tidak apa-apa", proses pembelajaran itu tidak tuntas, karena A tidak mendapat pelajaran.
Kalau B sudah tuntas menjalankan "kurikulum sabar" dan dan A belum tuntas menjalankan peran "kurikulum komitmen". Maka suatu saat A akan mengalami "remidi", mengalami hal yang sama ditempat yang lain.

Hal ini disebut "Hukum tabur tuai" dalam hukum Kristiani. Tujuan dari peraturan kehidupan ini bukan untuk menghukum tetapi bertujuan "menyadarkan" orang dari kesalahannya.

Jika kita mau menjadi manusia yang rendah hati, maka kita akan menyadari bahwa setiap orang yang kita jumpai dalam kehidupan kita adalah "guru" yang baik bagi jiwa kita.

Pelajarilah peristiwa itu ... Kalau kita bisa melakukan hal ini, maka kita bisa melihat diri kita yang sebenarnya ... (ternyata aku ini sombong, aku egois, aku mau menang sendiri dll.).

Dalam sekolah kehidupan ada tingkatan yang berbeda-beda pada setiap anak-anak Tuhan, ada anak kecil secara rohani, tidak memahami ajaran tentang kebenaran, ada juga orang-orang dewasa rohani yang mempunyai pancaindra yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat (Ibr 5:12-15).

Oleh pembaptisan kita dilahirkan kembali sebagai putra-putri Allah (KGK 1213). Bapa di sorga adalah sempurna, karena itu Dia menginginkan kita juga sempurna (Mat 5:48).

Ingatlah! Hutang kita sudah dibayar lunas oleh-Nya (1 Kor 6:20), maka dalam kehidupan kita harus menyukakan hati Bapa di sorga dari pada menyukakan diri kita sendiri.

Orang percaya yang hidupnya menyukakan dirinya sendiri, walaupun pergi ke gereja, secara tidak langsung dia dinyatakan "melepaskan dirinya" dari ikatan dengan Allah.

Karena orang-orang seperti ini hidupnya hanya berpikir apapun yang dikerjakannya semuanya harus mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri tanpa peduli perasaan orang lain.

Ingatlah! Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26), hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal 5:6).

Jadi, pisahkan dirimu dari orang-orang tak percaya dan janganlah menjamah apa yang najis  (2 Kor 6:17-18; Mat 15:18-19 » segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat).

Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi  (= penyembahan berhala) yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan.

Agar kita layak dan pantas disebut anak Allah maka kita harus memikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Jadi, jika kita menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, kita lebih dari pada orang-orang yang menang (Kol 3:2-5; 2 Kor 10:5; Rm 8:37).

Dalam sekolah kehidupan kepala sekolahnya adalah Tuhan Yesus, gurunya adalah Roh Kudus, dan kita adalah murid-murid dari sekolah kehidupan

Untuk lulus dari sekolah kehidupan, kita sudah diberikan kunci jawabannya, yaitu harus hidup sama seperti Kristus hidup (Yoh 4:34; Mrk 14:36 » melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya).

Perjalanan hidup di dunia merupakan pergumulan untuk memperoleh pengesahan sebagai anak oleh Bapa di sorga. Saat tertindas itu sangat baik untuk mendidik jiwa kita supaya kita belajar ketetapan-ketetapan-Nya (Mzm 119:69-71).

Beban kehidupan atau penderitaan tidak dirancang oleh Tuhan untuk menghancurkan hidup kita tetapi untuk membawa kita kepada-Nya. Jadi, kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr 12:9-10).

Menjalankan sekolah kehidupan, ibarat kita sedang menabur benih kehidupan dan kita akan menuainya di dalam kekekalan. Oleh karena itu kita harus memperhatikannya dengan serius apa yang firman Tuhan katakan (Gal 6:7-8 - Menabur dalam roh, hidup menurut kehendak Allah).

Oleh karena itu Tuhan meminta setiap anak-anak-Nya berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi mereka (Ibr 12:1 » dalam kebajikan – lih. Warta No. 135/VII/2016, 7 Pilar dasar kehidupan Kristiani). Pribadi anak Tuhan yang pikirannya selalu tertuju pada pekara sorgawi, dia akan memiliki kebajikan.

Maka Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jadi, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya. Jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang (ilegal) (Ibr 12:5-8).

Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, harus menguasai dirinya dalam segala hal, melatih tubuh (1 Kor 9:24-27).  

Jadi, semua yang kita alami dalam kehidupan ini dapat diandaikan seperti besi menajamkan besi (Ams 27:17), apakah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan dipakai Tuhan sebagai sarana pembelajaran dalam sekolah kehidupan.

Tujuan pendidikan Tuhan dalam hidup kita adalah agar kita memiliki yang namanya "kecerdasan roh" (kemampuan berpikir seperti Allah berpikir - membagikan kasih agape).

Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini (Why 2:7, 11, 17, 26-28; Why 3:5, 12, 21 ) dan Aku akan menjadi Allahnya dan ia akan menjadi anak-Ku (Why 21:7). Jadi, tujuan akhir dari sekolah kehidupan adalah agar kita layak dan pantas menjadi anak Bapa di sorga.

(Sumber: Warta KPI TL No.140/XII/2016 » Renungan KPI  TL Tgl 10 dan 17 November 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).