Selasa, 01 November 2016

20.47 -

Selain aksi, dunia juga butuh kontemplasi

Dewasa ini kita hidup di tengah banyak krisis besar. Skalanya tidak saja lokal tapi juga mendunia (global). Misalnya: terorisme, krisis ekologis/lingkungan seperti pemanasan global dan krisis keuangan global. 

Belum lagi soal bencana-bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi yang membuat banyak orang terpuruk, kehilangan tidak hanya orang yang dicintai tapi juga iman dan pegangan hidup. Parahnya, saat ini sesungguhnya bahaya besar juga tengah mengintai Gereja dan dunia. 

Dunia berada diambang keruntuhan moral yang begitu parah, kejahatan besar dan sadis muncul tiada hentinya. Kekuatan dosa dan kuasa si jahat begitu merajarela merasuki banyak orang sehingga banyak jiwa tenggelam dalam dosa besar tanpa merasa bersalah. 

Banyak jiwa kini tidak lagi memiliki kepekaan hati nurani dan mengalami hilangnya “rasa berdosa” (sense of sins). 

Misalnya dengan maraknya korupsi, aborsi, dan bom bunuh diri. Krisis-krisis ini menciptakan kerusakan, defisiensi, kemerosotan dan kemelaratan, baik fisik maupun spiritual. 

Kini banyak orang menjadi lebih mudah stress, depresi, merasa kesepian dan kehilangan makna hidup, bahkan cukup banyak ujung-ujungnya mengambil jalan pintas lewat bunuh diri.



Bagaimana kita menyikapi gejala-gejala ini? Kebanyakan orang biasanya memberikan penekanan pada aksi. Maksudnya, pada aktifitas fisik yang benar-benar kelihatan dan nyata. 

Misalnya gerakan proaktif lewat demonstrasi, terlibat langsung dalam gerakan menuntaskan kemiskinan (option for the poor), gerakan keadilan dan perdamaian (justice and peace), gerakan pro-life, gerakan green-peace dan gerakan ekologis lainnya. 

Aksi-aksi semacam itu memang perlu dilakukan dan diperjuangkan. Dunia tidak hanya perlu memperbaharui diri dari luar lewat aksi-aksi nyata itu (revolusi = perubahan), namun dunia juga membutuhkan pembaharuan dari dalam (revolusi batin).

Bukankah ini juga yang dilakukan oleh Yesus semasa Dia berkarya mewartakan Kerajaan Allah dua ribu tahun yang lalu? 

Yesus tidak begitu antusias untuk menggalang aksi sosial dan aksi politis ini dan itu, tetapi Dia lebih tertarik mengubah “hati orang” dari dalam. 

Ini diawalinya dengan mengubah hati sekelompok kecil orang pada zamannya, yakni hati dari kedua belas murid-Nya yang pertama. 

Lalu merembet kepada ketujuhpuluh murid lainnya dan seterusnya. Mulai dari karya kecil tersembunyi dan batiniah ini, Yesus berhasil menanamkan kekuatan cinta-Nya pada hati para murid pertama-Nya itu. Dengan kekuatan cinta-Nya yang sudah membatin di hati para pengikut-Nya yang awali itulah, dunia perlahan-lahan diubah.

Begitulah juga di zaman ini. Dunia butuh pembaharuan “dari dalam diri”. Untuk itu kita butuh kekuatan “dari atas” untuk meredam, meredakan, mengobati, menyembuhkan dan memulihkan gejolak krisis tanpa henti ini. 

Bagaimana caranya mengalirkan kekuatan ilahi ini atas dunia? Ini kita bisa timba lewat doa yang lebih serius, konsisten, batiniah dan mendalam. Dunia butuh pengalaman kesatuan akan Allah (mistisisme). 

Jadi, dunia butuh aktivis-aktivis (biasanya bekerja dengan kekuatan sendiri) dan juga kontemplatif-kontemplatif sejati (bekerja dengan diri sendiri dan kekuatan ilahi karena persatuannya yang mendalam dan kuat dengan Allah). 

Seorang kontemplatif sejati bukanlah seorang yang pasif dan pengangguran tetapi dia seorang yang peduli sekali dengan keadaan sekitarnya. 

Waktu yang sering dihabiskan dalam kesendirian untuk tenggelam dalam keheningan doa, bukanlah suatu pengangguran. 

Justru itulah kekuatannya, yang didalamnya dia menerima banyak dari Allah. Akibatnya, dia akan lebih berguna dan punya kuasa dalam perkataan dan tindakannya.

Gereja dewasa ini sedang mengalami curahan rahmat yang begitu besar dan melimpah melalui apa yang dinamakan Gerakan Pembaharuan Karismatik atau Spiritualitas Hidup dalam Roh. 

Banyak buah Roh yang bisa kita alami, seperti pertobatan, melayani secara baru, gairah untuk memberi kesaksian, gairah yang besar untuk membaca Kitab Suci, menghayati sakramen-sakramen dan berdoa (benih-benih kontemplasi = memandang Yesus dengan penuh imanKGK 2715).

Benih-benih kontemplasi bisa bertumbuh dan berkembang lewat jalan-jalan berikut:

1. Hidup di hadirat Allah

Kita dapat menghayati hidup di hadirat Allah seturut teladan St. Theresia dari Lisieux, Beata Elisabeth dari Trinitas maupun Bruder Laurensius dari Kebangkitan. 

Ketiganya bicara hal yang sama, yakni suatu upaya untuk terus menerus mengarahkan hati dan budi kepada Allah yang hadir bersemayan pada lubuk hati kita yang terdalam. Selalu terbuka dan terarah kepada Allah. 

Caranya: melakukan segala sesuatu dalam sikap terjaga, dengan penuh cinta dan kesadaran demi kemuliaan Tuhan semata (1 Kor 10:31) dan demi kasih kepada Tuhan dan sesama (1 Kor 16:14).

2. Waktu khusus untuk doa pribadi

Menghayati hidup kontemplatif berarti kita secara tekun, serius dan teratur membina hidup doa. Harus ada waktu khusus yang memang dibaktikan untuk berduaan dengan Tuhan dalam doa yang mendalam (janganlah banyak berpikir, melainkan banyaklah mencinta).

3. Doa tak kunjung putus

Setelah bermistik (bersatu secara mendalam) dengan Tuhan dalam waktu yang memang dikhususkan sebagai jam-doa, kita juga perlu memiliki sikap batin yang terus berdoa. Dengan kata lain, dilanjutkan dengan doa yang tak kunjung putus. 

Caranya: lewat hidup di hadirat Allah seturut ketiga karmelit di atas. Atau juga lewat mendaraskan Doa Yesus yang terus menerus di mana pun dan kapan pun dalam hati. Tentunya saat di mana aktivitas pikiran dan perhatian sedang tidak terlalu dibutuhkan.

4. Berani memasuki keheningan-kesunyian-kesendirian

Pengalaman akan Allah yang mendalam hanya mungkin dirasakan dalam keheningan-kesunyian-kesendirian. Oleh karena itu, kita perlu berani memasuki saat-saat hening dan sendirian. 

Misalnya: dengan secara rutin pergi ziarah atau retret, yang di dalamnya kita mengambil waktu luang yang cukup banyak untuk sendirian dengan Allah (alone with the Lord).

Kita butuh mencari Tuhan, dan Dia tidak dapat diketemukan dalam kebisingan dan ketergesaan, Tuhan adalah sahabat dari keheningan

Lihatlah pepohonan, bunga, rumput – mereka tumbuh dalam keheningan, lihatlah bintang, bulan dan matahari – bagaimana mereka bergerak dalam keheningan. … Kita membutuhkan keheningan agar dapat menyentuh jiwa (Mother Teresa dari Kalkuta).

Selain itu, orang butuh rekan seperjalanan atau pendamping. Maka dibutuhkan tempat atau komunitas yang di dalamnya orang dapat belajar berdoa atau melakukan latihan-latihan rohani untuk mengembangkan jiwa kontemplatif.

Makin banyak yang kita terima dari doa-doa yang hening, makin banyaklah yang dapat kita berikan dalam kehidupan kita yang aktif (Muder Teresa dari Kalkuta).

(Sumber: Warta KPI TL No. 87/VII/2011 » Selain Aksi, Dunia juga Butuh Kontemplasi, HDR Mei-Juni 2011).